ETP | 34

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Mengkhawatirkan sesuatu yang belum tentu terjadi hanya akan membuat resah hati."

⏭️⏸️⏮️

KEGIATAN saya yang tengah melayani pembeli terhenti kala melihat kedatangan seseorang. Saya persilakan dia untuk duduk, lantas kembali fokus menghitung belanjaan pembeli.

"Ada yang lain?" tanya saya memastikan.

"Satu saja saya nggak dapat, Teh, apalagi yang lain."

"Hah? Maksudnya bagaimana?"

Remaja SMA itu malah cengengesan seraya menggaruk tengkuknya. "Salah sasaran saya, Tetehnya kurang peka!" katanya seraya menyerahkan selembar uang pecahan dua puluh ribu.

Saya tersenyum tipis. "Terima kasih, uangnya pas yah."

Dia mengangguk lantas melesat pergi.

"Maaf menunggu lama. Ada kepentingan apa sampai Mas Dipta datang kemari?" tanya saya setelah menyerahkan minuman dingin padanya.

Dia tersenyum dan mengatakan terima kasih. "Apa saya bisa bertemu dengan Ibu kamu, Zani?"

"Untuk apa?"

"Saya mau minta izin untuk membawa kamu. Apa kamu bersedia ikut dengan saya?"

"Ke mana?"

"Menemui Ibu saya."

Mata saya membulat sempurna. "Untuk apa, Mas?"

"Ada hal urgent yang nggak bisa saya jelaskan di sini. Tapi nanti kamu juga akan tahu kalau bersedia ikut dengan saya."

Saya melirik arloji. "Ini sudah sore, Mas, lagi pula saya harus membantu Mama menutup toko. Beliau sedang keluar, mencari teman nasi."

"Saya tahu, tapi ini darurat, Zani. Bisakah bantu saya untuk kali ini saja?"

Akhirnya saya pun mengangguk pasrah. "Tapi tunggu Mama dulu. Kalau beliau izinkan, saya ikut dengan, Mas."

Beberapa saat kemudian Mama datang seraya menjinjing keresek putih. "Lho ada tamu ternyata, sudah lama Nak Dipta?"

Mas Dipta berdiri dan menangkupkan tangan di depan dada, seraya tersenyum dengan begitu lebarnya lantas berkata, "Enggak, Bu, baru beberapa menit yang lalu."

Mama manggut-manggut. "Mama beli fried chicken untuk makan malam nanti. Enggak papa, kan, Tha?"

"Iya, Ma nggak papa."

"Maaf, Bu apa boleh saya izin membawa Zani sebentar?" selorohnya.

"Ke mana, Nak Dipta?"

"Menemui Ibu saya."

Sontak Mama langsung menatap ke arah saya. "Ada kepentingan apa memangnya, Nak Dipta?"

"Ibu saya ingin bertemu dengan Zani, hanya sebentar tidak akan lama."

"Kamu gimana, Tha?" Beliau malah mempertanyakan kesediaan saya.

"Nitha ikut Mama."

Mama mengangguk singkat. "Silakan, tapi jangan sampai pulang telat. Maksimal jam delapan malam sudah ada di rumah. Saya izinkan hanya untuk menemui Ibu Nak Dipta, jangan mampir ke mana-mana."

"Baik, Bu, terima kasih banyak."

Sebagai respons Mama pun tersenyum simpul.

Kami akhirnya berpamitan pada Mama, saya pergi menumpang di mobil Mas Dipta. Semula akan menaiki motor, tapi tidak jadi karena Mama khawatir jika saya harus mengintili mobil Mas Dipta.

Alhasil kini saya duduk di kursi penumpang seorang diri, dengan Mas Dipta yang duduk di belakang kemudi. Kaca mobil pun dibiarkan terbuka, saya benar-benar kurang nyaman jika hanya berduaan di mobil dengan yang bukan mahram.

"Saya tidak terbiasa menggunakan sopir, nanti pulangnya saya akan pinjam sopir Papa."

"Iya, Mas."

Hanya perbincangan singkat itu yang mewarnai perjalanan kami. Baik saya maupun Mas Dipta saling diam membisu, tapi sebagai pemecah keheningan dia menyalakan murottal.

Kening saya mengernyit kala mobil berhenti di depan lobi rumah sakit. Saya pun turun mengikuti langkahnya.

"Pak tolong parkirkan mobil saya seperti biasanya," tutur Mas Dipta pada seorang satpam.

Saya tak banyak berkomentar, lebih memilih untuk mengekor di belakangnya. Saya dibuat terperangah kala dibawa ke sebuah ruang rawat inap VVIP.

Dia membuka lebar pintunya, mempersilakan saya untuk masuk lebih dulu. Saya pun menurut tanpa kata.

"Ini Zanitha, Ma," katanya seraya melirik ke arah saya sekilas.

Saya menyalami beliau sebagai bentuk hormat. Namun, saya seperti merasa tidak asing, rasanya saya pernah bertemu. Tapi, lupa entah di mana.

Beliau berusaha untuk duduk, dengan cekatan Mas Dipta membantunya.

"Sudah sejak lama Mama ingin bertemu kamu, Nak," katanya seraya menggenggam tangan saya.

Mama? Apa saya tidak salah dengar?

Atas dasar apa beliau mengatasnamakan dirinya sebagai 'Mama' yang notabenenya bukanlah siapa-siapa.

"Mohon maaf sebelumnya apa kita pernah bertemu? Saya merasa tidak asing dengan Ibu," sahut saya sedikit ragu.

Beliau mengukir senyum tipis. "Kita pernah bertemu di kajian. Masih ingat?"

"Kajian?"

Beliau mengangguk semangat.

Terlalu banyak ibu-ibu yang saya jumpai, alhasil saya tidak bisa mengingat dengan baik satu per satu.

"Kita pernah bertemu beberapa kali, Mama juga pernah menawari kamu untuk jadi menantunya Mama. Apa kamu ingat?"

Sesaat saya terdiam, tapi detik berikutnya saya pun mampu untuk mengingat. Beliau adalah Bu Dinara, beberapa kali kami duduk bersisian saat kajian.

Tak jarang juga berbincang singkat sebelum kajian dimulai. Sampai akhirnya saya teringat akan kalimat singkat yang beliau tuturkan.

Kalimat yang saya kira hanya sebatas guyonan, sebab di kajian selanjutnya beliau justru menghilang.

"Sudah ada calon belum? Ibu punya anak bujang, mau nggak jadi mantu Ibu?"

Dulu beliau mengatasnamakan dirinya sebagai 'Ibu' lantas kenapa sekarang berubah menjadi 'Mama'. Apa mungkin pengaruh dari obat?

Saya menggeleng beberapa kali. Tidak percaya. Apa benar Bu Dinara ini ibunya Mas Dipta? Sesempit inikah dunia.

"Zani, apa kamu baik-baik saja?"

Saya terlonjak dan beristighfar berulang kali. "Aman, Mas."

Saya membatu kala tangan hangat beliau membawa tangan saya dalam genggaman. "Tawaran Mama waktu itu sungguh-sungguh. Seharusnya kita bisa bertemu lagi untuk membahasnya lebih lanjut, tapi kondisi Mama drop dan sering bolak-balik rumah sakit."

"Ibu sakit apa?" tanya saya lebih aware dengan kesehatannya.

"Lambung Mama sedikit bermasalah."

"Bukan sedikit, tapi memang bermasalah," ralat Mas Dipta.

Ternyata benar, seorang ibu itu ingin selalu terlihat baik-baik saja di depan anaknya. Padahal, pada nyatanya tidaklah demikian.

"Mama menunggu jawaban kamu, apa kamu mau jadi mantunya Mama, istri Dipta?"

Lidah saya mendadak kelu, bingung harus menjawab apa. Perasaan baru seminggu lalu Mas Dipta melayangkan lamaran dadakan. Lantas sekarang sudah dihadapkan lagi dengan hal yang demikian.

"Mau, kan?" ulangnya dengan suara memohon.

Saya mengelus lembut lengan bagian atas beliau. "Lebih baik Ibu fokus pada kesehatan dulu, jangan pikirkan hal lain."

Beliau menggeleng. "Mama selalu kepikiran sama kamu, Mama ingin melihat kalian menikah. Mama merasa tenang kalau Dipta bersama kamu. Mau, kan, Nak?"

"Sudah yah, Ma, jangan paksa dan desak Zanitha seperti itu. Mama, kan sudah janji sama Dipta hanya ingin bertemu Zanitha," pinta Mas Dipta.

Beliau menurut patuh. "Maafkan Mama yah, Nak sudah membuat kamu nggak nyaman."

Saya tersenyum samar. "Enggak papa, Bu. Lebih baik sekarang Ibu fokus pada kesehatan, agar bisa segera pulih."

Sebuah anggukan beliau berikan.

"Sebentar lagi magrib, Dipta harus ke masjid. Mama mau wudu sekarang?" tanyanya.

"Mas Dipta ke masjid saja, Bu Dinara biar saya yang bantu," kata saya.

"Apa kamu tidak keberatan?"

Saya menggeleng.

Sebelum pergi, Mas Dipta mengucapkan terima kasih dan juga berpamitan pada Bu Dinara. Sekarang hanya tersisa kami berdua.

"Saya bantu yah, Bu," ucap saya seraya mematikan selang infus, lantas memapah beliau untuk menuju kamar mandi.

Saya pun membantunya berwudu. Setelah selesai saya kembali memapah beliau untuk menaiki ranjang, serta memasangkan sebuah mukena.

Saya mematung saat tengah mengencangkan tali mukena di belakang kepala Bu Dinara, beliau malah memeluk saya dengan begitu erat.

"Ibu kenapa?" Saya elus punggungnya secara perlahan saat mendengar suara isak tangis yang begitu memilukan.

"Mama takut nggak bisa menyaksikan putra bungsu Mama menikah. Kondisi Mama semakin parah dan selalu bolak-balik rumah sakit. Bahkan, Mama pun takut nggak bisa mendampingi Tetehnya Dipta melahirkan. Takut umur Mama nggak sampai."

"Ibu jangan bicara seperti itu, sakit bukan syarat utama untuk meninggal. Insyaallah Ibu akan pulih lagi," sahut saya menyemangati beliau.

⏮️◀️⏭️

Padalarang, 04 Oktober 2023

Ada apaan lagi, tuh🙈

Dukung selalu cerita Epilog Tanpa Prolog dalam Event GMG Branding Challenge 2023 ✨

Lanjut nggak nih?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro