ETP | 39

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Terlalu percaya diri memang tidaklah baik, karena bisa menjadi sumber dari rasa sakit."

⏭️⏸️⏮️

MENJADI perempuan itu serba salah. Kala bersikap ramah dikira tengah tebar pesona dan jual murah, bersikap jutek malah dicap memiliki pribadi yang sombong.

Aneh memang!

Memikirkan stigma orang-orang tidak akan pernah ada ujungnya. Selalu ada yang dikomentari, dicela, dan masih banyak lagi macamnya. Ibarat kata, hidup sedang capek-capeknya masih saja direpotkan dengan omongan orang.

"Zani, apa boleh saya bertanya sesuatu?"

Saya mengangguk setuju.

"Terkait kelanjutan dari kegiatan tukar-menukar CV beberapa bulan lalu bagaimana?"

Saya tersedak ludah sendiri. Cukup terkejut dengan pertanyaan pembuka yang berhasil membuat saya jantungan.

"Mas menunggunya?"

Dia mengangguk mantap. "Maaf kalau membuat kamu tidak nyaman. Saya hanya ingin tahu, apa ada kelanjutan atau sekadar iseng dan penasaran. Takutnya hanya saya saja yang menganggap itu hal serius, tapi tidak dengan Zani."

"Tidak usah merasa sungkan, Mas, justru saya yang merasa tidak enak. Maaf kalau terkesan mempermainkan syariat, dari awal saya sudah katakan kalau hanya ingin melihat CV Mas. Tidak lebih."

"Tidak ada kelanjutan?"

Saya mengangguk pelan.

"Saya paham, sepertinya memang saya yang terlalu percaya diri. Saya kira, untuk sekarang akan menerima jawaban berupa huruf hijaiyah urutan ke-28, nyatanya masih berpegang teguh pada huruf hijaiyah urutan ketiga."

Saya tersenyum samar. "Mas berhak mendapatkan perempuan yang jauh lebih baik dari saya. Saya doakan semoga disegerakan bertemu jodohnya."

"Aamiin. Terima kasih karena beberapa bulan terakhir ini Zani sudah meluangkan banyak waktu untuk Ibu saya. Tak dapat dipungkiri, kesehatan beliau semakin membaik atas campur tangan Zani."

"Saya harap Bu Dinara bisa benar-benar pulih seperti semula," sahut saya.

"Aamiin allahuma aamiin."

Perbincangan kami terhenti, saat melihat kedatangan Bu Dinara. Beliau langsung duduk di sisi saya.

"Mama boleh berkunjung ke rumah kamu, Tha?" Tanya Bu Dinara begitu antusias.

Saya menoleh ke arah Mas Dipta, dia malah memalingkan wajah. Seolah tak ingin membantu saya untuk memberikan jawaban pada ibunya

"Ibu harus lebih banyak istirahat, jangan capek-capek dulu. Khawatirnya malah akan kambuh lagi," sahut saya sehati-hati mungkin.

Beliau tersenyum tipis. "Enggak boleh, kan. Mama tahu, nggak perlu kamu perhalus."

Saya menggeleng pelan. "Saya tidak bermaksud seperti itu."

"Ma, janganlah memaksa. Kita bukan siapa-siapa. Untuk apa juga Mama berkunjung ke rumah Zanitha? Apa tidak cukup dengan waktu yang telah Zanitha luangkan untuk Mama selama ini? Sudah yah, Ma. Jangan membatasi gerak Zanitha lagi."

"Memangnya salah kalau Mama menginginkan hal lebih dari kalian?"

"Dipta perlu bicara berdua sama Mama, nanti kita bahas lagi. Sekarang Dipta harus mengantar Zanitha pulang."

Bu Dinara malah memeluk saya dari samping, beliau seperti tak mengizinkan saya untuk pulang. "Jangan jauhkan Zanitha dari Mama!"

Terdengar helaan napas berat. "Dipta hanya ingin mengantarkan Zanitha pulang, Ma."

"Mama nggak percaya!"

"Bu Dinara perlu apa? Ada yang bisa saya bantu?" kata saya mencoba untuk sedikit membujuk.

Beliau mendongak. "Mama nggak perlu apa-apa selain kamu. Mama nggak butuh bantuan apa-apa, selain kesedian kamu menjadi mantu Mama."

Tubuh saya menegang seketika.

"Ma!" tegur Mas Dipta dengan suara tegas.

"Janganlah seperti anak kecil, Zanitha berhak menentukan pilihan. Kalau memang bukan Dipta yang Zanitha inginkan, ya harus ikhlas dan berlapang dada. Tak baik memaksakan kehendak seperti itu."

Saya tertegun kala mendengar kalimat bijak yang baru saja dilontarkan oleh Pak Nara Dharmawan. Beliau merupakan ayahnya Mas Dipta.

"Sebagai orang tua, alangkah baiknya kita tidak terlalu turut campur dalam urusan anak-anak. Mereka sudah dewasa, sudah tahu mana yang benar dan salah. Jangan banyak mengatur, nanti malah kabur!"

Secara perlahan pelukan Bu Dinara pun mulai mengendur. Saya bernapas lega akhirnya bisa terbebas dari kungkungan beliau.

"Dipta, antar Zanitha pulang," titah Pak Nara.

"Mari, Zani."

Saya mengangguk patuh.

"Bu Dinara saya pamit dulu, jaga kesehatan selalu, jangan sampai drop lagi," kata saya seraya mencium punggung tangannya.

Beliau malah memeluk saya, dan dengan senang hati saya pun membalas pelukannya.

"Kamu jangan lupakan Mama, kalau perlu setiap hari berkunjung kemari. Nanti Dipta yang akan antar jemput," katanya.

Saya hanya mengelus punggung beliau lembut. Tak ingin mengangguk ataupun menggeleng. Sebab, saya pun bingung harus memberikan jawaban apa.

Jatuhnya akan serba salah. Bila saya sering berkunjung, HTS jilid dua akan kembali terulang. Namun, jika saya langsung menolaknya mentah-mentah, khawatir menyinggung perasaan beliau.

Setelah mengucapkan salam, saya pun pamit pulang. Dengan diantar sopir, serta Mas Dipta.

Sebagaimana biasanya, hanya keheningan yang menemani perjalanan kami. Sebab, baik saya maupun Mas Dipta lebih memilih untuk bungkam.

Sesampainya di depan gerbang, Mas Dipta ikut turun dan mengantar saya sampai pintu, bahkan dia pun sengaja bertemu Mama untuk berbasa-basi terlebih dahulu.

"Mampir dulu, Nak Dipta?" tawar Mama ramah.

"Bukan bermaksud tidak sopan, tapi saya harus segera pulang. Kasihan Pak Ismail kalau menunggu terlalu lama," tolaknya.

Mama mengangguk paham.

"Terima kasih, Mas. Fii amanillah."

Dia tersenyum tipis. "Ma'assalamah, assalamualaikum."

"Wa'alaikumusalam warohmatulloh."

Mama menyenggol lengan saya. "Makin lengket saja kelihatannya."

"Hanya perasaan Mama saja."

Beliau mengejar langkah saya yang saat ini berjalan menuju ruang keluarga.

"Hanin tadi ke sini, nyariin kamu," beritahunya saat kami sudah duduk di sofa.

"Ada apa katanya, Ma? Kok Hanin nggak ngabarin Nitha dulu kalau mau ke sini."

"Pulang kontrol dari rumah sakit, mampir ke sini. Tapi kamunya nggak ada, jadi pulang lagi."

Saya pun manggut-manggut.

"Bu Anggi sebentar lagi punya cucu, Tha."

"Ya terus?"

"Mama kapan kamu kasih cucu?"

Saya bergidik ngeri. "Nauduzbilahimindzalik, Ma. Nitha nggak punya suami, masa iya tiba-tiba punya anak. Jangan aneh-aneh deh!"

Beliau mendengkus kasar. "Makanya buru-buru kasih Mama mantu, setelah itu baru cucu. Mama juga nggak mau kalau dikasih cucu tanpa kamu nikah dulu. Nauduzbilahimindzalik, Tha. Mulut kamu harus dijaga itu."

"Ya, lagian pertanyaan Mama juga ambigu!"

"Bukannya ambigu tapi kamu pura-pura nggak tahu!"

Saya pun menampilkan cengiran khas.

"Bagaimana kondisi Bu Dinara sekarang?"

"Alhamdulillah sudah lebih baik, tinggal pemulihan saja. Semoga nggak bolak-balik ke rumah sakit lagi."

"Aamiin, itu artinya kamu harus menepati janji kamu sama Mama," sahut beliau.

Saya menghela napas singkat. "Iya, Ma, Nitha masih belum pikun dan bisa mempertanggungjawabkan apa yang sudah Nitha katakan."

"Baguslah, lega Mama mendengarnya."

"Nitha heran sama Mama. Di depan orangnya ramah nggak tertolong, tapi di belakangnya lain lagi."

"Mama nggak benci sama orangnya, Mama hanya kurang suka kalau kamu punya hubungan lebih dari sekadar teman dan rekan kerja dengan Nak Dipta. Bedakan, jadi sangat wajar kalau Mama menjaga hubungan baik dengannya."

"Nitha akan menjaga jarak dengan Mas Dipta, sesuai kesepakatan kita," ungkap saya.

"Mama melakukan ini karena takut kamu terjebak HTS season dua. Kamu paham, kan, Tha?"

Saya mengangguk sebagai respons. "Nitha sangat tahu kekhwatiran Mama. Setelah ini Nitha akan kembali menjaga jarak, terlebih kondisi Bu Dinara pun sudah lebih baik. Nitha hanya ingin menolongnya, nggak mengharapkan hal apa pun."

⏮️◀️⏭️

Padalarang, 09 Oktober 2023

Dukung selalu cerita Epilog Tanpa Prolog dalam Event GMG Branding Challenge 2023 ✨

Masih mau lanjut?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro