ETP | 56

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Kerapkali bersembunyi di balik kata basa-basi, padahal tindakan tersebut berhasil melukai banyak hati."

⏭️⏸️⏮️

CARILAH lelaki yang menyayangi ibu serta saudara perempuannya, karena dengan begitu ia tidak akan menyakiti hati pasangannya. Namun, bagi saya itu tidaklah bisa dijadikan sebagai tolak ukur.

Sebab, rasa sayang yang berlebihan bisa menjadi bomerang yang mematikan. Pastikan dulu, apakah ia mampu berlaku adil atau tidak?

Karena terkadang 'sikap terlalu sayang' bisa menghadirkan luka di hati pasangan. Bukan perihal ingin diprioritaskan, ataupun merasa memiliki saingan. Namun, ini berbicara tentang keadilan.

"Saya cari-cari dari tadi, tahunya malah bengong di sini. Kenapa, hm?"

Saya tersentak kala mendapati suara Mas Dipta tepat berada di belakang saya. Bahkan yang semakin membuat saya terkejut ialah suara itu dibarengi dengan sebuah tepukan lembut di bahu.

"Zani baik-baik saja, kan?"

Sebisa mungkin saya mengukir senyuman. "Kenapa, Mas?"

Dia geleng-geleng kepala. "Ditanya malah balik nanya. Ada yang mengganggu pikiran kamu?"

"Mas perlu sesuatu?"

Dia mengangguk lalu menggandeng tangan saya. "Saya tahu kamu pasti belum makan, kan? Mari makan bersama saya. Sudah saya siapkan."

Saya menurut sampai akhirnya kami duduk di tempat yang sudah tersedia.

"Kata Mama kamu suka capcay, tapi tidak suka wortel. Sudah saya pisahkan, Zani tinggal memakannya."

Saya menggeleng beberapa kali saat bayangan masa lalu hadir tanpa diminta. Dengan cepat saya enyahkan dan coba alihkan dengan banyak mengucap istighfar.

"Kenapa?"

Saya menggeleng pelan. "Saya hanya tidak menyangka Mas bisa notice dengan hal sekecil ini."

Dia terkekeh kecil. "Ya sudah makan dulu."

Kami pun fokus pada hidangan masing-masing, sesekali Mas Dipta mengajukan pertanyaan dan mengajak saya berbincang. Hal itu cukup bisa mengalihkan pikiran saya.

"Tha!"

Sebuah seruan menghentikan kegiatan kami. Saya tersenyum canggung kala melihat kedatangan Hanin, di belakangnya ada Hamzah yang mengintil.

"Selamat yah, Tha, sudah sah sekarang mah," ujarnya begitu riang.

Saya mendadak bingung menanggapi hal tersebut. Alhasil hanya sebuah anggukan kecil yang mampu saya berikan.

"Kamu ke sini sendiri? Anak sama suami kamu di mana?" tanya saya setelah bisa menguasai diri.

"Mas Suami kerja, Tha. Masa iya harus aku ingatkan, kamu itu nikahnya week day bukan weekend. Kalau anak aku, sengaja dititipin dulu ke mertua. Takutnya rewel kalau dibawa ke acara yang ramai orang."

Saya manggut-manggut. "Lupa, Haikal, kan PNS yah. Liburnya hanya Sabtu dan Minggu," sahut saya seraya terkekeh kecil.

Dia mengangguk singkat. "Enggak make up, Tha?" tanyanya kemudian.

"Make up, tapi sudah saya hapus lagi."

Hanin berdecak pelan. "Aneh kamu! Diomongin orang tahu rasa, dikira nggak mampu bayar MUA."

"Hanya dikira, bukan benar-benar tidak bisa bayar MUA. Lagi pula, itu bukanlah masalah," ujar Mas Dipta menimpali.

"Ya deh, terserah yang punya hajat saja."

Menyerah juga akhirnya ibu satu anak ini. Biasanya dia paling enggan untuk mengalah.

"Launching buku ngundang media, nikahan kok nggak? Ini sengaja dirahasiakan atau gimana?" selorohnya.

"Namanya juga intimate wedding, Nin. Lagi pula untuk apa undang media, memangnya saya ini siapa?"

"Si paling private dan minimalis emang kamu ini, Tha," ledeknya.

"Pernikahan saya dan Zanitha bukan untuk konsumsi publik. Selagi keluarga, sanak saudara, dan para tetangga tahu, itu sudah lebih dari cukup. Yang penting tidak akan menimbulkan fitnah di lingkungan sekitar dan masyarakat umum," imbuh Mas Dipta.

"A Dipta, kan cukup dikenal media. Apa nggak jadi gosip kalau dinilai diam-diam menggelar pernikahan?"

Terdengar tawa renyah Mas Dipta. "Itu bukan menjadi urusan saya. Saya tidak akan dihisab karena prasangka orang lain terhadap saya. Jadi, untuk apa diambil pusing? Toh, yang menjalani pernikahan saya dan Zanitha. Kenapa harus memikirkan ihwal media yang tak tahu apa-apa."

"Iya juga sih, tapi, kan bikin sakit hati."

"Malah bahas soal sakit hati, ini hari bahagia. Bahas yang manis-manis saja," ujar Hamzah akhirnya angkat suara.

Saya dan Mas Dipta berpandangan sejenak, hanya sekian detik lalu kami sama-sama diam.

Bisa-bisanya Hamzah mengatakan hal yang demikian, padahal tadi saya mendengar langsung dia mengatakan hal sebaliknya. Sehebat itu, dia membalut luka dengan senyum ceria.

"Rencana punya anak berapa?" tanyanya begitu santai, bahkan kini mulutnya mulai menguyah kue yang terhidang di meja.

Saya sontak terbatuk-batuk dibuatnya.

"Baru sah, bahasannya sudah ke sana saja," sahut Mas Dipta diakhiri kekehan ringan.

Hamzah tertawa kecil. "Hanya sekadar bertanya, kalau orang-orang bilangnya basa-basi."

"Masih minat jadi fotografer atau sudah benar-benar alih profesi, Ham?" seloroh Mas Dipta seolah mengalihkan topik pembicaraan.

"Sepertinya tidak, saya sudah kadung jatuh hati pada dunia fotografi."

"Apa pun itu, semoga menjadi pilihan terbaik."

Hanin menyenggol lengan Hamzah, karena fokus lelaki itu teralihkan pada kamera. Entah apa yang tengah dilihatnya.

"A Hamzah suka lupa sama sekitar kalau sudah pegang kamera," ocehnya.

"Aa baru pegang lagi kamera ini. Dua tahun lho Aa LDR-an sama kamera."

Hanin memutar bola mata malas. "Kamera atau kamera, hm?"

Perdebatan kecil semacam ini mungkin tidak akan lagi saya jumpai, atau bahkan ini adalah yang terakhir kali.

"Selesai acara langsung pindahan atau gimana, Dip?" Kini malah Hamzah yang terkesan mengalihkan pembicaraan.

Kenapa suasana yang tercipta jadi secanggung dan seasing ini?

"Menginap dulu di kediaman Mama Zakiyah sehari, terus menginap di rumah orang tua saya."

"Setelah itu?"

Mas Dipta melirik sekilas ke arah saya. "Umrah sebentar, sepulangnya dari Baitullah baru kami fokus untuk membangun rumah. Selagi menunggu, kami putuskan untuk menyewa rumah dulu."

"Pantes nikahnya cuma di KUA, budgetnya dialih fungsikan ke hal yang lebih berguna tahunya. Mantap!" seru Hanin seraya menunjukkan dua jempolnya.

"Fokus kami bukan pada persiapan pernikahan, melainkan pada persiapan membangun sebuah mahligai, karena itu yang jauh lebih diutamakan," tutur saya menjelaskan.

"Definisi jodoh cerminan diri ya kayak gini. Sudah sama-sama satu frekuensi," cetus Hanin.

Saya menggeleng lemah. "Justru saya harus banyak belajar dari kamu, Nin. Kapal kamu sudah lebih dulu berlayar, sudah mencicipi derasnya terjangan ombak dan badai, tapi masih bisa tetap berlayar hingga menepi di pelabuhan. Sedangkan saya? Sehari menyandang status sebagai istri pun belum."

Dia tertawa puas. "Ya, sudah nanti aku buka sesi konseling."

"Jangan mau, Tha, rumah tangga Hanin banyak dramanya!" cegah Hamzah.

Hanin mendengkus. "Iri itu Tha, karena cuma A Hamzah doang yang belum sebar undangan."

Perkataan Hanin berhasil membungkam mulut Hamzah. Perempuan itu mungkin bermaksud untuk bercanda, tapi apakah dia lupa kalau kondisi kakaknya sekarang sedang tidak baik-baik saja.

Hanin ini memang kalau bicara terlalu spontan dan frontal.

Mas Dipta menepuk bahu Hamzah. "Kamu baik-baik saja, kan, Ham?"

Hamzah mengukir senyum yang terlihat sedikit dipaksakan. "Alhamdulillah sehat wal afiat."

"Bismillah semoga Allah segerakan bertemu jodoh. Saya hanya bisa bantu doa," ungkapnya.

Terdengar tawa garing yang dia keluarkan. "Santai, saya belum memiliki keinginan untuk menikah."

⏮️◀️⏭️

Padalarang, 27 Oktober 2023

Saya harap masih ada yang menunggu kelanjutan kisah mereka ☺️🙃 ... Masih mau dilanjut nggak nih?

Oh, ya boleh ditengok foto-foto Dipta dan Zanitha yang saya post di mulmed 👆

Dukung selalu cerita Epilog Tanpa Prolog dalam Event GMG Branding Challenge 2023 ✨

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro