Nona x Muda x Nostrade (HxH)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Headcanon/fanon (?)

Neon jangan pergi tanpa pengawal. Jangan main hujan. Jangan sakit. Jangan ini. Jangan itu.

Argh ... larangan papa memusingkan.

Sejak kapan papa peduli pada anak satu-satunya ini?

Oh. Sejak aku bisa meramal masa depan salah satu kliennya. Papa yang jarang ada pun mulai menyisihkan waktu, setidaknya satu menit di telepon.

Papa selalu menanyakan apa keinginanku dan berusaha menyanggupinya, walau tak masuk akal. Ia juga memperkerjakan pengawal yang selalu mengekoriku ke mana pergi.

Sungguh ... aku muak dengan segala ini.

Muak dengan perhatian palsu papa.

Di depannya dan para pengawal, aku bertopeng senyum polos. Andai mereka tahu ... aku benar-benar muak.

Aku tak lebih boneka yang diperalat Light Nostrade untuk menarik penghasilan yang berlimpah.

Aku lelah.

Muak.

Benci.

Ingin lari dari segala kepalsuan ini.

Eh? Kau tak bisa datang ke pesta ulang tahunku?

“Ya ... kata papa ada lima klien yang meminta ramalanku.”

Oh, oke. Hati-hati.”

Sahabat-sahabatku pun menjauh, mungkin karena mereka menganggapku penyihir atau pekerjaan meramal yang menyita banyak waktu.

Tidak.

Penyebabnya papa menganggap sahabat-sahabatku akan mencelakaiku dan menjauhkanku dari mereka.

Demi meraup untung yang banyak, papa rela melakukan apa saja.

Kalau aku tidak punya kemampuan meramal ini, mana mungkin papa peduli 'kan?

Tujuanku meramal awalnya untuk senang-senang saja, tidak tahu hasilnya akan selalu tepat.

Papa memanfatkannya untuk meraup untung yang banyak, ya.

“Astaga ... aku tak sanggup bekerja pada Tuan Putri manja itu!”

“Hei, kecilkan suaramu.”

“Kau betah kerja di sini? Dia selalu seenaknya saja. Belanja berjam-jam, lalu mengamuk kalau keinginannya tidak terpenuhi. Memangnya dia bocah lima tahun?”

Aku hentikan langkah, mencuri dengar percakapan dua orang pengawal itu.

Hah ... berbuat seenaknya bukanlah sifat asliku.

Setelah papa mengekangku, aku tidak benar-benar bahagia.

Menjahili pengawal, belanja berjam-jam, mengoleksi bagian-bagian tubuh manusia, dan bertingkah layaknya anak kecil caraku memperoleh kebahagiaan yang merapuh.

Ketika menangis permintaanku tak terpenuhi, itulah masa yang tepat melepas gejolak muak di hati.

Mereka tidak paham.

Tidak akan paham.

Sebentar lagi pelelangan dunia bawah di Kota Yorknew akan digelar. Lagi-lagi papa memerintah para pengawal tidak membawaku ke pelelangan.

Kata para pengawal, papa mencemaskan keselamatanku.

Haha ... lucu.

Lebih tepatnya papa mencemaskan penghasilan dari meramal akan hilang.

Memangnya sejak kapan tua bangka itu mencintai anaknya dengan tulus? Di pikirannya hanya uang, kekuasaan, uang, kekuasaan, dan kembali lagi ke awal.

Dasar pengawal-pengawal naif.

Aku menguping pembicaraan pengawal mengenai pelelangan yang tertunda dan diselenggarakan besok malam.

Sengaja aku menarik para pengawal berbelanja di Bandara Lingon keesokan malamnya. Untuk mengulur kepulanganku ke penjara yang disebut rumah, sekaligus merealisasikan rencana yang sudah dipetakan di otak.

Rencana ini harus berhasil.

“Tidak apa-apa Nona ke toilet sendiri?”

“Tidak apa-apa, Eliza. Aku akan kembali.”

Tentu itu kebohongan. Usai mengenakan wig dan pakaian samaran, langkah kaki mengikuti beberapa orang gadis keluar dari toilet. Para pengawal kulirik sekilas, mereka tidak sadar.

Baguslah.

“Aku akan tetap datang ke pelelangan! Persetan!” Tangan menarik cepat wig dan pakaian samaran, lalu melempar ke tong sampah.

Kaki berlari kecil, sesekali melirik ke belakang. Memastikan para pengawal tak menyertai.

Bagian tubuh manusia itu unik dan indah, diciptakan dengan kerumitan yang tak dapat ditiru teknologi secerdas apapun. Kekagumanku akan membuatku lupa sejenak dengan semua kemuakan ini.

Tiba di luar bandara, aku sadar akan sesuatu.

Aku buta arah! Di mana pelelangan itu disenggalarakan?

Untung ada seorang pria yang menawari tumpangan menuju lokasi pelelangan. Kami bisa lolos pemeriksaan polisi dengan mudah.

Menengok ke belakang, tidak ada penumpang maupun supir kendaraan yang berciri fisik para pengawal.

Aku terkikik.

Anakmu menang, papa.

Aku bukan anak kecil yang selalu berada di kendalimu. Aku bisa membebaskan diri.

“Terima kasih,” ucapku.

Dan dibalas senyum juga ucapan, “Sama-sama.”

Pilihan kabur tidak kusesali. Selain bisa datang ke pelelangan, aku juga bertemu pria tampan. Usiaku sudah tujuh belas tahun, tidak ada salahnya berkencan 'kan?

Ini kesempatan yang takkan aku sia-siakan.

Di restoran Cemetery Building, kami bercerita. Ia tersenyum ramah dan menanggapi hangat perkataanku.

Jantung mengetuk dada dengan meriah. Pipi memanas bak disinari mentari.

Inikah perasaan kencan? Terutama ... teman kencanku pria tampan. Tatapan lembutnya seakan menerbangkanku ke langit malam, bersama ribuan bintang.

“Kudengar kau bisa meramal.”

Pernyataannya segera aku benarkan. Kemudian memintanya menulis nama lengkap, tanggal lahir, dan golongan darah untuk meramal nasibnya.

Pria berkarisma dan setampan ini pasti sudah punya kekasih. Aku berharap apa, sih?

“Chrollo Lucilfer. 26 tahun. AB. Hm ... nama yang unik.”

Lucilfer ... membuatku teringat Raja Iblis Lucifer.

Nama yang unik dan sedikit mengundang ngeri.

Dengan wajah yang dipahat sempurna itu, mustahil dia Raja Iblis Lucifer berkepala kambing itu 'kan?

Aku amati gerakan Chrollo menarik kertas lamaran dan membacanya pelan. Matanya mengembun, diikuti setetes air jatuh.

Rasa cemas membalut hati.

Agaknya ramalanku membawa kesedihan.

Sesi makan malam berakhir, kami berbincang menuju lantai satu. Aku bersandar membelakangi silaunya Kota Yorknew, sedang Chrollo seperti menyaksikan sesuatu di bawah sana.

Meski baru kenal, aku bercerita dengan bebas. Ia menjaga percakapan terus mengalir santai, topik yang dibawanya sesuai minatku. Tidak menyebalkan seperti para pengawal yang hanya menanyakan kabar dan keinginanku tanpa setitik ketulusan.

Inilah yang aku inginkan sejak lama.

Bebas bicara. Teman mengobrol yang menyenangkan dan mengerti diriku ini. Tanpa tekanan.

Hidup yang aku inginkan.

Bukan terkurung di rumah besar dengan penjagaan ketat, terisolasi dari remaja-remaja seumuranku.

“Kalau aku percaya pada hantu.”

“Hah?”

“Karena itu akan kulakukan apa yang dia inginkan.”

“Apa maksudmu?”

Belum sempat mendengar penjelasan, suara di sekitarku melenyap disusul penglihatan yang menggelap.

Apa yang terjadi?

***

Aku gagal mendapat mumi, sebagai gantinya mata merah klan Kurta jatuh ke tanganku.

Sepasang bola mata semerah darah itu kutatap. Wajar saja banyak yang mengincarnya. Mata ini indah sekaligus mengintimidasi.

Apa yang terjadi di malam pelelangan, ya? Kenapa aku tiba-tiba pingsan? Kepingan ingatanku bertebaran di kepala dengan tidak teratur.

Oh iya ....

Chrollo Lucilfer! Di mana dia sekarang?

“Papa,” panggilku.

Papa yang duduk di sebelah ranjang pun menatapku dengan senyum tipisnya. “Apa kaubutuh sesuatu, Neon?”

Aku menggeleng.

“Papa kenal Chrollo Lucilfer? Dia yang bersamaku sewaktu malam pelelangan, dia pria yang baik dan menyenangkan.”

Ekspresi marah dan kaget melunturkan senyum papa.

“Neon! Apa yang dia lakukan padamu?” Papa memegang erat dua bahuku. Tubuhnya bergetar, entah itu karena marah atau takut.

“Tidak ada. Kami hanya makan malam, dia memintaku meramal nasibnya. Lalu kami turun dengan lift dan aku ping—”

“Neon, tubuhmu tidak terasa sakit 'kan? Atau ada sesuatu yang aneh?”

“Tidak, Papa.”

Papa tak mendengar jawabanku, ia memanggil dokter untuk memeriksa tubuhku. Papa selalu saja berlebihan, padahal aku baik-baik saja. Setakut itukah papa kehilangan uang-uangnya?

Ah, iya. Papa belum membayar sepasang bola mata seharga 2,9 miliar ini. Pantas saja papa butuh uang tambahan.

Sebelum keluar, papa berkata, “Chrollo Lucilfer, dia pemimpin Genei Ryodan. Tenang saja, dia sudah mati di tangan Zoldyck.”

Apa?

Haha ... lucu, ya.

Baru saja aku menemukan orang baik dan teman bicara menyenangkan.

Hidup itu ... panggung drama yang lucu.

[]

Aku lagi butuh ff HxH, tapi di wattpad dikit banget hiks. Makanya bikin sendiri aja dah :"

Ini aku lagi di kampung, susah sinyal. Cuma bentar buat nyempatin nyari sinyal :"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro