Epilog

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

|| Epilog | 340 words || 

Tahun 2166, aku berhasil membobol tembok untuk pertama kalinya. Aku, T17-85, tidak bisa gagal seperti yang lainnya.

Tahun 2167, aku menginfeksi 200 warga desa dan mengonsumsi 100 otak sesuai yang telah ditargetkannya.

Tahun 2168, aku menciptakan bala tentara mayat hidup dan mempersiapkan mereka di tempat yang telah disediakan olehnya.

Tahun 2169, aku melepaskan gelombang pertama di hari perayaan jadi Nusa yang ke-70 sesuai yang diperintahkan olehnya.

Tahun 2170, aku menemukan target utama yang harus kubawa kepadanya.

Anak itu bersama dua anak lain. Sulit memisahkan mereka. Aku harus mengikuti mereka bertiga sampai aku bisa mengantarkan target kepadanya.

Anak itu kini dalam genggamanku. Mereka mulai rentan sekarang. Sedikit lagi mereka akan lengah, jadi aku bisa—

"Kau bukan ayahku." Salah satu anak itu menudingku. Dia tengah terbaring di ranjang rumah sakit, tak mampu berjalan, kesulitan mengangkat badan, dan sepenuhnya bukan lagi ancaman. Nekat sekali dia menudingku menggunakan jarinya sedekat ini dengan mulutku. "Kau zombie peliharaannya Emma, si Jojoo. Uuh, kenapa pula kau di sini? Emma dan anakmu si Zarah itu cuma mirip."

Siapa Zarah?

"Zarah ...." Dia tersenyum sedih saat pertama kali memberiku perintah mencari target. "Zohrah, kau ingat Zarah? Dia anakmu. Ingat? Aku juga punya anak ...."

Si anak perempuan yang terbaring di ranjang rumah sakit itu mencoba meraih sesuatu di atas nakas. Aku mendorong salah satu benda di atasnya, mengira dia menginginkan itu, lalu dia mulai menangis dan menyumpahiku. Kemudian, dia menyebut satu nama lagi: "Ilyas ...."

Siapa Ilyas?

"Namanya Ilyas." Dia menahan suara isakan. Tangannya saling cengkram. Bekas luka di sekitar lengan, wajah, dan kepalanya mulai memudar, tetapi aku masih bisa melihat kepedihan di sepasang matanya. Sudah berapa lama dia terjebak di sini? Kenapa dia menolak dibebaskan? Kenapa dia membiarkan keluarganya mengira dia sudah mati?

"Dan rupanya aku juga punya anak perempuan." Dia mendesah berat. Kedua tangannya tertadah, menangkup dahinya. Aku hampir mengira dia menangis. "Namanya Emma."

Kenapa dia selalu ragu-ragu saat akan memberi perintah padaku? Dari mana kepedihan itu berasal?

Gunawan ... apa sebetulnya yang kau dan para Escapade itu inginkan?

"Berjanjilah, Zohrah," mohonnya lagi. "Bawa anak itu padaku."

Terima kasih, Pembaca yang Luar biasa

Telah mengikuti perjalanan
Ilyas, Cal, Emma, dan Jo
sampai sejauh ini

Mari kita simak kelanjutannya di buku 2

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro