[Oneshot] - On a Moonless Night

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Gadis dengan tongkat bantu itu berjalan dengan hati-hati di tengah jalan setapak. Dedaunan mendesau di sekeliling mereka. Daun-daun kering bergemerisik di bawah sepatunya. Angin sepoi-sepoi yang membawa aroma sejuk hutan di musim gugur berembus di sekelilingnya, menerbangkan helai rambut panjang sang gadis yang dibiarkan tergerai. Gadis itu membuka mata dan mendongak, menatap bulan yang pucat di angkasa. Putihnya rembulan tidak terpantul di mata kelabunya yang sepucat susu.

"Malam ini ... purnama kah, Eliot?"

Suara gonggongan pelan terdengar di sisi sang gadis.

Gadis itu terkekeh pelan. "Ya, ya, aku tahu." Ia lantas memasukkan rambutnya kembali ke dalam dekapan syal hangatnya yang menutupi leher. "Tidak boleh membiarkan aroma tubuhku terbawa angin, kan?"

Eliot sang anjing sekali lagi menggongonggong di sisinya. Terdengar kesal. Gadis itu tersenyum.

"Tapi malam ini indah, kan?" Eliot menggongongg lagi. "Hm? Dari mana aku tahu? Hei, walaupun aku tidak bisa melihat, aku masih bisa merasakan, kau tahu!"

Sang gadis berkacak pinggang.

"Dan kau terdengar sedikit lebih tenang dari biasa," ujarnya. "Apa aku tidak boleh senang sebentar?" Ia mendengkus.

Anjing besar di sebelahnya gantian mendengkus. Tapi kemudian anjing itu kembali mengendus jalan dan mengendus udara di sekeliling hutan. Tali kekang sang anjing mengetat dan tertarik ke depan ketika sang anjing kembali berjalan.

"Ya, ya, aku paham, kita lanjutkan perjalanan—hei, tunggu, jangan buru-buru!" Gadis itu protes, tapi tidak diindahkan oleh sang anjing yang terus berjalan semakin cepat meninggalkan kegelapan yang entah kenapa, semakin pekat di sekeliling mereka, tanpa gadis itu pernah sadari.

Diam-diam, sekelebat bayang-bayang melintas di tengah pepohonan di belakang mereka.

***

"Hei, Elit, ayo kita cari tempat beristirahat!" Gadis itu mengeluh. "Malam sudah semakin larut, kalau kita lanjutkan...."

Tapi Elliot sang anjing penuntun tidak mendengarkan keluhan gadis yang memegang tali kekangnya. Alih-alih, ia semakin kencang berjalan. Merasa tidak didengarkan, gadis itu pun berjongkok dengan napas terengah-engah. Menunjukkan dengan jelas bahwa ia tidak sanggup melanjutkan perjalanan. Dan memutuskan untuk berhenti.

Sang gadis mendongak. Mata kelabu susunya menatap kosong ke depan. Pandangannya kosong, tapi kepalanya menatap ke depan tanpa ragu. Tanpa perlu mendongak ke atas dan mencari-cari.

"Hei, Eliot, boleh, ya? Ya?" pintanya.

Eliot tidak membeli permohonan itu. Sang anjing tetap menarik tali kekangnya, meminta sang gadis untuk terus berjalan. Kali ini bahkan Eliot menggeram. Tampak gelisah dan tidak tenang. Ia tampak gusar. Sang gadis menyadari ini.

"Ada apa?" Gadis itu pun bangun. Dengan tongkat bantunya berjalan, ia kembali berdiri tegap. "Hei, Eliot?"

Suara bergemerisik di semak-semak tiba-tiba terdengar.

Gadis itu menoleh dengan cepat. Eliot menggeram dan menggonggong marah di sebelahnya. Anjing itu maju ke depannya, mencoba melindunginya. Gadis itu pun sudah mengangkat tongkat bantu jalannya dan bersiaga untuk memukul siapa pun atau apa pun yang tadi menimbulkan suara. Jelas-jelas itu bukan suara yang berasal dari mereka! Itu suara yang berasal dari belakang mereka.

"Ma-maafkan aku!"

Sang gadis mengarahkan telinganya ke sumber suara sementara anjing di sebelahnya terus menggeram tak senang.

Itu suara laki-laki. Suara tenor laki-laki.

"Siapa kau?" Sang gadis bertanya.

"A-aku Alan ... aku ... aku berasal dari dekat sini, tapi ... karena aku terlalu jauh dan terlalu larut keluar, aku ... tersesat," ujar lelaki itu dengan suara terbata-bata dan nada yang jelas tidak menunjukkan bahwa ia dalam keadaan tenang. "M-maaf, aku tidak bermaksud menakutimu."

***

Pemuda bernama Alan itu makan dengan lahap di sebelah sang gadis dan anjingnya yang tetap menatap pemuda itu dengan curiga. Pemuda itu tidak tampak peduli dan melahap ransum makanan sang gadis.

"Ah, aku kenyang!" Alan berkata dengan riang. "Terima kasih untuk makanannya! Aku benar-benar berhutang nyawa padamu, Nona!"

Sang gadis tersenyum dan mengangguk. Siluet wajahnya tampak seperti patung perunggu yang cantik di sebelah api unggun yang mulai padam. "Sama-sama."

Pemuda bernama Alan itu terdiam sejenak. Konsentrasinya terserap ke betapa magisnya perempuan itu terlihat. Ia berpakaian seperti gadis yang siap untuk mendaki gunung dengan jaket tebal, syal, dan celana jeans yang tebal. Tapi perlengkapan yang ia bawa begitu sedikit. Hanya sebuah sling bag yang ia bawa yang senantiasa terikat di pinggangnya. Di tengah hutan yang gelap dan berbahaya di tengah malam, gadis ini, hanya ditemani oleh anjingnya, dengan gagah berani berjalan menembus pekatnya hutan yang konon akan menyesatkan siapa pun yang berani melintasinya kala bulan sudah bertakhta di atas langit.

"Anda benar-benar pemberani, Nona." Alan berkata.

"Hm?" Gadis itu menoleh kepada Alan. "Kenapa Anda bilang begitu?"

Sekali lagi, Alan terhipnotis. Ia tidak pernah melihat mata kelabu yang begitu tampak fokus. Mata gadis ini jelas-jelas bukan mata orang yang bisa melihat. Iris dan pupil mata itu kelabu sepenuhnya. Tidak bisa melihat apa pun. Tapi entah kenapa, mata itu bisa menatap ke arahnya dengan fokus, sekalipun tidak bisa menjaga pandangannya untuk tetap menatap matanya. Pandangan gadis itu selalu dengan cepat menunduk.

"A-ah, tidak, saya tidak bermaksud menyinggung, maaf jika saya....." Dengan salah tingkah, Alan buru-buru mengalihkan pandang.

Gadis itu terkekeh. "Saya sama sekali tidak tersinggung, kok," hiburnya. "Saya hanya .... Terkejut saja. Ternyata ada yang bisa memuji saya."

"T-tentu saja saya akan memuji Anda, Nona!" ujar Alan semangat. "Memangnya ada yang mencela Nona? Saya akan cari orangnya kalau memang dia ada!"

Gadis itu tertawa. "Oh, ya? Memangnya apa yang akan Anda lakukan jika bertemu orang seperti itu?"

Alan membelalak. Mulutnya bergerak sebelum ia sempat berpikir: "Saya akan me...." Membunuhnya.

Tapi Alan sempat menutup mulutnya rapat-rapat sebelum kata itu benar-benar keluar dari mulutnya.

"Hm?" Gadis itu mengulang. "Me-apa?"

"Memberitahunya kalau Nona itu luar biasa!" Alan meneruskan kata-katanya dengan kebenaran yang jauh dari kebenaran yang asli. Alan tertawa, tapi ia buru-buru menghentikannya saat sadar suara tawanya terdengar sangat canggung.

Terutama karena sang gadis tampak tidak terbuai oleh kata-katanya.

"Sa-saya bersungguh-sungguh, lho." Alan meyakinkan. "Saya tidak berbohong ketika saya bilang Nona luar biasa! Nona benar-benar pemberani yang luar biasa!"

Gadis itu tersenyum lagi. "Terima kasih."

Sayanya ucapan terima kasih itu, tidak berdampak sama seperti yang seharusnya.

Alan terdiam, memerhatikan gadis itu lebih seksama lagi di tengah api unggun. Gadis yang sedang duduk dengan kaki lurus di depan bara api yang hangat itu terdiam. Jika tidak bergerak, ia tampak seperti patung cantik yang rapuh. Ia sempurna jika dilihat seperti itu.

Tapi ia berbeda. Gadis ini hidup. Gadis ini bernapas, bicara, dan baru saja memberinya makan.

Sekarang setelah diperhatikan, gadis itu tidak tampak memiliki ekspresi yang berarti. Ia tersenyum, tapi tidak benar-benar tersenyum kepadanya atau kepada siapa pun secara spesifik. Gadis itu membuka mata, tapi tidak ada yang ia tatap. Dan gadis itu memberinya makan, tanpa pernah memakan apa pun.

Tidak nyaman.

Mengganggu.

Rasanya seolah gadis itu ada di sini, tapi di saat yang sama, juga tidak ada di sini.

Ada dan hidup, tapi tidak terasa hidup. Tidak terasa ada di sisinya.

Tiba-tiba gadis itu menoleh kepadanya. Di tangannya sebuah kantung plastik hitam terbuka. "Kemarikan sampahnya, saya ingin menguburnya."

Alan menengok ke arah ransumnya yang terbuka. "A-ah, tidak apa-apa." Alan buru-buru bangkit berdiri, menyembunyikan sampah ransum itu dari jangkauan sang gadis. "Saya akan membuangnya sendiri. Nona di sini saja dan berjaga."

"Ah." Gadis itu tampak lesu mendengar penolakannya. "Saya paham....."

Seketika segala perasaan tidak nyaman tadi pudar. Rupanya gadis ini tidak seberapa tidak manusiawi. Ia masih bisa tampak sedih. Mungkin tadi, hanya karena mereka belum terlalu saling mengenal dekat. Gadis ini masih tampak waspada.

"Sungguh, tidak apa-apa!" Pemuda itu lantas bangkit dan bersiap membuang sampahnya.

"Pastikan Anda menguburnya ya, bukan membuangnya di sembarang tempat." Gadis itu berpesan.

Tanpa banyak bicara lagi, pemuda itu segera pergi. Ia berjalan biasa, tapi saat cahaya dari bara api dan aroma asap tidak lagi tercium, pemuda itu lenyap di tengah kegelapan hutan.

Tidak lama kemudian, bunyi berkecipluk terdengar di aliran sungai tidak jauh dari tempat gadis itu berkemah.

***

Gadis itu memandangi cahaya temaram yang menerangi dunianya yang dikelilingi kabut yang tidak bisa pergi. Cahaya dari api. Ia tidak bisa melihat dengan baik sejak beberapa tahun lalu. Penglihatannya perlahan-lahan memudar seiring dengan usia yang bertambah dan waktu yang semakin menipis. Tubuhnya tidak akan bisa bertahan lebih lama lagi.

Jadi sebelum waktu datang menjemput, ia harus menyelesaikan misinya.

"Apa Anda menunggu terlalu lama?" Suara Alan terdengar di sisinya.

Gadis itu menggeleng. "Tidak sama sekali." Tangannya terulur ke sebelah, meraba kepala Eliot yang sedang tertidur pulas di sisinya.

"Anjing Anda sudah tidur, ya?" Gadis itu mengangguk. "Maaf, tadi saya sekalian buang air di sungai di dekat sini, jadi agak lama."

Alan tertawa canggung, tapi gadis itu tidak menanggapi.

"Anda ... tidak apa-apa, kan?" ujarnya lagi, kali ini dengan takut-takut. "Tidak bertemu ... atau diganggu sesuatu yang aneh?"

Gadis itu menggeleng. Ia lantas terdiam. "Kenapa ... Anda bertanya seperti itu, Tuan Alan?"

"A-ah, tidak," Alan menyanggah. "Seperti yang saya bilang ... saya tinggal di dekat sini, jadi cerita-cerita lokal di sini ... saya sudah menghapalnya sedari saya kecil."

Gadis itu mendengarkan dengan seksama.

"A-ah, tapi sebaiknya saya jangan cerita," Gadis itu merasakan gerakan gelisah dari Alan. "Di sini gelap dan ... Anda melakukan perjalanan hanya dengan anjing Anda. Jika saya membuat Anda ketakutan...."

"Ah, ini cerita horror?" Gadis itu menebak.

***

Alan mengeluh pada dirinya sendiri. Ia tanpa sengaja sudah membocorkan isi cerita. "Ya ... Anda bisa bilang begitu."

"Saya suka cerita horror." Gadis itu menyahut. "Apalagi di tengah-tengah suasana yang mendukung seperti ini. Rasanya ceritanya akan lebih hidup, bukan Anda pikir begitu, Tuan Alan?"

Alan tertawa canggung. Selama sesaat, ia hampir tidak memercayai telinga dan penglihatannya sendiri. Gadis itu tampak begitu cerah ceria dan antusias saat ia bilang akan menceritakan kisah horror. Bukankah biasanya, gadis-gadis akan meringkuk ketakutan jika seseorang menceritakan kisah horror di tengah malam, di tengah hutan, dengan hanya mereka berdua yang terjaga di sini sekarang?

"Anda benar-benar gadis pemberani," gumam Alan. "Sayang sekali...."

"Hm?" Gadis itu menelengkan kepala. "Apa Anda bilang sesuatu?"

"A-ah, tidak." Alan mengutuk diri sendiri. Ia lupa gadis ini tidak bisa melihat. Gadis ini akan mengandalkan pendengarannya. Ia harus hati-hati ketika bicara di depan gadis ini! "Saya hanya bilang Anda pemberani."

Gadis itu terkekeh. "Terima kasih," ujarnya tulus. "Jadi ... kisah horror apa yang Anda punya malam ini, Tuan Alan?"

"E-eh? Anda masih mau mendengarnya? Anda yakin?" Alan mencoba mengingatkan. "Ini sudah malam dan Anda ... saya tidak mau membuat Anda bermimpi buruk."

"Saya tidak akan bermimpi buruk, kok," Gadis itu meyakinkan. "Ayo, saya jadi tidak sabar! Saya baru hari ini tiba di hutan ini, jadi saya benar-benar menantikan kisah apa yang disimpan hutan ini dan para penduduk lokal!"

"A-ah, begitu rupanya...." Sesuatu yang tidak enak merayapi hati Alan. Ia tidak tega. Tapi ini harus dilakukan. "Sebenarnya ... ini kisah turun temurun di hutan ini. Kisah tentang Si Putih, penjaga wilayah ini."

Gadis itu, anehnya, bukan tampak takut. Ia malah kelihatan tertarik. "Si P—

"Ssst!" Alan buru-buru memperingatkan. "Nama itu hanya boleh diucapkan orang lokal di sini! Tabu diucapkan oleh orang luar. Katanya, jika bukan keturunan orang di wilayah ini yang menyebutnya, panggilan itu akan terdengar sebagai undangan yang menghina."

"O-oh...." Gadis itu tampak terkejut untuk pertama kalinya. "Lalu kenapa Anda memberitahu saya nama itu?"

"I-itu karena nama itu bagian dari ceritanya!" Alan membela diri. "S-saya tidak pernah bermaksud menyesatkan apalagi mencelakai Anda, Nona, sungguh. Sa-saya hanya—

Sang gadis tertawa. "Ya, saya paham," ujarnya penuh pengertian. Hal ini membuat Alan lega luar biasa. Gadis itu tidak marah. Ia gadis baik hati. Gadis berhati lurus yang dengan malang masuk ke hutan ini di malam yang salah. "Tolong lanjutkan kisahnya, Tuan. Saya jdai semakin antusias!"

Alan berdeham. Mengikuti antusiasme gadis itu, Alan mencoba sedikit dramatis. "Saya hanya pernah mendengar ini dari orang tua dan nenek saya. Saya sendiri belum pernah melihatnya, tapi ... mitos ini diyakini oleh seluruh penduduk lokal di sini."

Alan diam sejenak untuk menaikkan ketegangan. Gadis di hadapannya tampak semakin antusias. Bara yang tadi mereka gunakan telah lenyap sepenuhnya.

"Konon katanya, di malam-malam bulan purnama, di tengah malam, kau akan mendengar suara lolongan panjang melengking. Lebih tinggi dari lolongan serigala mana pun. Lebih gahar dari gonggongan anjing paling liar," terangnya. "Itulah Si Putih, Nahali, begitu orang-orang kami menyebut makhluk itu."

Gadis di hadapannya bergerak, mulai tampak gelisah. Ia memeluk dirinya sendiri, memegang tongkat bantu berjalannya erat-erat.

Sesuai dugaan Alan, gadis itu hanya berpura-pura kuat dan berani saat mendengar kisah horror. Tidak peduli seberani apa pun, seseorang akan menghadapi ketakutan ketika berhadapan dengan yang tidak ia ketahui. Apalagi gadis ini tidak bisa melihat. Ada lebih banyak hal yang bisa dan berhak ia takuti di hutan ini.

"Nahali tidak mengenal ampun. Tidak mengenal kawan atau lawan. Ia akan menyerang siapa pun yang ia lihat," Alan lanjut bercerita. "Tapi ia hanya akan beraksi di malam hari. Dan ketika malam jatuh purnama seperti malam inilah, aksinya akan berada pada puncak keberingasan. Dia akan beraksi lebih brutal. Saking brutalnya, tidak ada orang yang masih hidup untuk bisa menyaksikan dan menceritakan detail kisah itu."

Alan menyaksikan gadis itu bergidik.

"Sebaiknya ... saya berhenti—

"Apa ... ada cara menghentikan makhluk itu?" Gadis itu tiba-tiba bertanya. Ia menunduk. "Cara agar ... ia tidak memangsa kita?"

Alan terdiam sejenak. "Para leluhur kami biasanya memasang perak di depan rumah, dalam bentuk apa pun," terangnya. "Dulu mereka memasangnya dalam bentuk pasak, pisau, dan mata tombak. Tapi sekarang, mereka biasanya menyamarkannya sebagai lonceng angin, gagang pintu, atau hiasan yang digantung di dinding. Semua ... agar terlihat normal di mata orang lain di luar tempat ini."

Gadis itu memegang tongkatnya semakin erat. Alan melirik tongkat itu, tidak merasakan perak sedikit pun dari sana. Gadis ini benar-benar tidak terlindung.

Ia semakin tidak tega.

Gadis ini benar-benar sempurna.

Tapi sisi lain dalam dirinya merangkak naik dan semakin tidak bisa dikendalikan.

Tiba-tiba Alan melihat telinga anjing milik gadis itu bergerak. Alan beringsut mundur lagi.

Benar, pertama-tama, ia harus menyingkirkan anjing itu jika ingin semuanya berlangsung cepat dan damai. Tanpa mengundang kecurigaan siapa pun. Atau apa pun.

"Lalu ... apa ada tanda-tanda kemunculannya?" Gadis itu bertanya lagi.

Alan tertegun sejenak. Ia mendongak ke langit, menatap bulan purnama di atas sana. Mendadak saja, energi mengalir di tubuhnya. Tangan-tangannya semakin kuat. Rasanya otot-otot di tubuhnya sepergi hidup, bergelenyar menyambut suara bulan yang mengalun merdu, semakin merdu di telinganya. Memanggilnya. Mengundangnya untuk memujanya sepenuh hati.

"Ada," Alan menyahut, berusaha tampak normal, meski ia menyadari gigi-gigi taring mulai memenuhi bagian dalam mulutnya. "Pertama, tentu saja, bulan purnama. Tapi di malam tanpa bulan pun, Anda tidak bisa ... tidak waspada. Karena setiap kesunyian datang, setiap binatang Anda menggeram tanpa diminta ke dalam kegelapan, tempat ... seharusnya tidak ada siapa pun di sana .... Saat itulah Anda seharusnya waspada."

Angin berembus dingin dan gadis itu memeluk dirinya semakin erat. Sementara Alan merasakan air liur menumpuk di dalam mulutnya ketika aroma dari gadis itu terlalu sedikit terbawa angin.

Sedikit, tapi ia bisa sudah bisa meraskaan darah dan segarnya daging gadis itu di mulutnya.

Tapi melihat betapa gadis itu rapuh, Alan segera mencakar dirinya sendiri.

Jika ia berusaha, jika ia berusaha lebih keras, mungkin saja ... mungkin saja gadis malang nan sendirian ini tidak perlu....

"Kenapa?" Alan terlonjak. "Kenapa ... makhluk itu memangsa sebegitu buasnya? Apa ... ada alasan tertentu baginya melakukan semua itu?" Gadis itu menatap ke arah bara yang telah padam. Mata kelabunya tampak lesu.

Alan pun menatap ke arah yang sama. Sekadar mengalihkan pandangannya dari wajah dan rona kehidupan yang memancar terang dari gadis di sisinya.

Kenapa, ia pun juga ingin tahu.

Tapi yang jelas, Alan tidak bisa mengendalikannya.

"Mungkin itu naluri," ujarnya. "Naluri untuk menjaga wilayah. Naluri untuk menyingkirkan siapa pun yang mencoba masuk. Mungkin ... makhluk itu hanya tidak begitu pintar ... membedakan kawan dan lawan."

Alan merasakan serangan balik di dalam tubuhnya. Sebuah perlawanan dari apa yang ia ucapkan. Protes dari dalam tubuhnya. Tapi Alan tidak peduli. Ia memang sekotor itu. Ia memang tidak begitu pandai. Tidak bisa sama sekali mengendalikan diri.

"Itu ... naluri yang tidak baik."

Alan setuju. Alan sangat setuju. Tapi ia tidak punya daya untuk menyetujui semua itu. Ia tidak pernah memiliki daya untuk melawan.

"A-anda sebaiknya beristirahat di sini sampai pagi, Nona." Alan berkata, berusaha keras untuk menjaga diri.

"A-ah, ya, tentu saja," Gadis itu tersenyum dengan senang hati. "Terima kasih, Tuan Alan."

"Sama-sama ... err...." Alan baru ingat, ia tidak tahu nama gadis ini. "Maaf ... nama Anda....."

"Ah, maaf, di mana sopan santun saya?" Gadis itu lantas mendongak, menatapnya dengan sepasang mata kelabu itu. "Nama saya Zi."

"Zi?" Alan tertegun. Hanya satu kata?

"Benar, seperti huruf terakhir dalam alfabet," ujarnya, lalu Zi menurunkan tangan ke arah tanah di sampingnya. Tepat di bawah tubuh anjingnya yang tertidur. "Seperti seharusnya ... orang terakhir yang akan menjalani semua ini."

Alan membelalak saat melihat kaleng makanan yang seharusnya telah ia buang di sungai, ternyata ada di tangan Zi. Dalam keadaan kosong melompong.

Alan langsung melompat mundur. Dan gadis bernama Zi itu pun tertawa.

***

Zi tidak pernah berhenti merasakan kepuasan dari mengerjai para Therian. Makhluk-makhluk itu selalu merasa superior karena berada di tingkat rantai makanan yang berbeda. Sehingga ketika mereka menemukan mangsa yang jelas berada di bawah mereka, kewaspadaan mereka akan langsung luntur.

Tanpa mereka sadari, posisi mangsa dan pemangsa mungkin sudah berubah.

"Dari mana—bagaimana kau bisa—

"Terkejut?" Zi membuang kaleng itu ke tanah, lalu menginjaknya dengan sepatu bot. "Aku mengambilnya ketika kau ke sungai. Yah, aku hargai itu. Setidaknya kau jujur bilang akan pergi ke sungai ... walau kau juga tidak jujur, karena membuang—

"Tidak, itu tidak mungkin!" Alan menukas. "Aku kembali cepat, aku membuangnya, aku menguburnya! Tidak mungkin kau bisa mengambilnya kecuali ... kecuali kau...."

Zi tersenyum. Dugaan yang selalu tidak terjawab, kalimat menggantung yang tidak pernah menemukan jawabannya. Sebagian dari dirinya menganggap semua ini adalah hiburan. Di tengah dunianya yang berputar tidak kenal kendali. Zi memegang tongkat bantu jalannya dengan erat. Di sampingnya, Eliot sudah kembali bangkit dari tidur pura-puranya dan menggeram ke arah Alan.

Rekannya sedari awal memang tidak senang pada keputusannya untuk memberi Alan waktu.

Yah, Zi tidak bisa menyalahkannya.

Zi kadang pun bisa sangat terkejut dengan egoismenya sendiri.

"Aku apa?" Zi mendengar desau angin di sekeliling mereka. Aroma kebingungan menyebar di udara. "Kau bingung? Aneh, bukan? Aromaku terasa seperti manusia. Tapi jika aku memang manusia ... bagaimana aku bisa menyita bukti yang seharusnya hanya bisa aku dapatkan jika aku bisa bergerak dalam sekejap?"

Alan terdiam.

Zi mencabut pedang yang tersembunyi di balik tongkat bantunya. "Tapi kita tidak membahas aku di sini," ujarnya. "Kita membahas tentangmu."

Terdengar suara geraman di depan Zi, tepat di posisi Alan seharusnya ebrada. Tekanan udara berubah. Atmosfer terasa semakin berat. Zi memasang posisi siaga. Ia familier dengan hawa keberadaan yang sangat kuat ini, kekuatan kuno yang memintanya untuk tunduk dan tidak melawan.

Kekuatan Alfa.

"Benar-benar disayangkan," ujar Zi. "Therian sekuat Anda, memangsa delapan anak kecil dan tiga belas orang dewasa. Belum lagi pembantaian yang Anda lakukan pada semua desa di sekeliling tempat ini."

"Milikku!" Geraman itu berubah menjadi raungan. "Tanah ini! Semuanya! Milikku! Mereka mencoba mengambilnya!"

"Benarkah begitu?" Zi malah balik bertanya.

Suara tulang yang berderak terdengar. Raungan manusia berubah menjadi raungan hewan. Dentuman dengan tenaga besar mengguncang tanah. Pandangan Zi yang berkabut tidak bisa melihat banyak hal. Tapi ketika ia membuka mata, Zi bisa melihat cahaya-cahaya yang beterbangan di sekeliling sosok raksasa di depannya.

Gadis itu bahkan perlu mendongak untuk melihat puncak kepala sosok itu.

"Astaga," ia menyumpah serapah. "Anda benar-benar Alfa."

Gonggongan Eliot terdengar. Zi langsung melompat, tepat waktu sebelum sebuah cakar melesat dan menghantam tanah. Debu dan tanah berhamburan, diiringi bebatuan, daun, dan ranting yang tercerabut dari pohon dan pohon yang tercerabut dari tanah. Zi menebas semua halangan yang menerpa, tapi ia tidak cukup cepat ketika sebuah bayangan hitam siap menimpanya.

Bayangan hitam penuh cahaya biru itu langsung menyingkir. Lolongan kesakitan langsung terdengar.

"Sekarang, Zi!" Terdengar suara di dalam kepala Zi. Suara Eliot.

"Aku tahu!" Dengan kekuatan penuh, Zi menjejak tanah hutan yang lembab, melompat ke dahan pohon, meraih batangnya dan melompat hingga dirinya mendarat di atas dahan itu.

Kemudian Zi memelesatkan dirinya mendekati sosok raksasa yang sedang bergulat itu. Zi menyabetkan pedangnya. Darah memercik dan tumpah ke tanah. Hidung Zi membaui cairan beraroma pekat itu. Aroma darah Therian. Kemudian angin berembus. Zi langsung melompat menghindar, tepat sebelum raksasa di bawah kakinya membenturkan tubuhnya ke pohon terdekat. Menimbulkan bunyi kencang saat pohon itu tumbang dengan heboh.

Bunyi yang membangunkan seluruh hutan.

Zi tidak berhenti menyerang. Setelah makhluk itu jatuh, ia kembali melompat. Di udara, ia berputar dan pedang di tangannya menyabet tangan sosok itu yang hendak meraihnya. Zi menyabetkan pedangnya dan melukai tangan Therian raksasa itu. Lolongan kesakitan kembali terdengar. Zi langsung berputar dan berlari, kali ini ia menyasar kakinya. Gadis itu menghunuskan pedang dan dalam satu langkah panjang, ia menyeretkan pedangnya untuk menebas urat kaki Therian Alfa itu.

Namun Therian itu berguling ke samping dan menghindar. Kemudian terdengar bunyi yang mirip seperti anjing yang berkaing-kaing dan tanah pun berdebum berkali-kali. Suara lolongan Therian tadi menjauh.

"Dia kabur?" Zi bertanya, kepada siapa pun yang hendak menjawab. Ia berharap akan ada jawaban yang ia terima. Sungguh, ia berharap.

"Seperti yang kau dengar." Zi mengembuskan napas lega ketika suara Eliot masih terdengar di dalam kepalanya. "Kau semakin lambat."

"Terima kasih," jawab Zi sarkastik. "Aku juga senang aku masih hidup."

Suara lolongan terdengar di kejauhan. Zi hendak mengejar, tapi tiba-tiba nyanyian di atas kepala Zi tiba-tiba melemah. Gadis itu mendongak dan melihat cahaya putih di atas kepalanya sudah memudar.

"Apa sudah hampir pagi?"

"Tidak," Eliot menjawab. "Mendung. Sepertinya akan hujan."

"Well, kalau begitu kita harus cepat-cepat atau kita akan kehilangan jejaknya...." Zi merasakan sesuatu menyenggol kakinya. Gadis itu berlutut dan meraba, merasakan gagang pedangnya di tangan. "Terima kasih."

"Tanpa cahaya bulan, ia tidak akan bisa berbuat banyak," Eliot berkata. "Makhluk malang itu kelihatannya tidak melakukannya dengan sengaja."

"Makhluk malang?" Zi mengerutkan alis. "Kau baru saja bilang Therian Alfa adalah makhluk ma—

Tiba-tiba, lengan Zi disengat rasa perih. Zi meraba, merasakna darah hangat mengalir dari luka yang menganga di lengannya. Luka yang tidak pulih. Zi membelalak kaget.

"Racun Lycan."

"Apa?" Gadis itu memekik. "Tadi itu ... tadi itu Lycan?"

"Dari ukuran dan caranya berdiri dengan kaki belakangnya, ya, sudah bisa dipastikan," Eliot menjelaskan. "Kemungkinan semua pembunuhan itu ia lakukan dengan tidak sengaja."

Zi memutar bola mata. "Kita akan lihat itu nanti," ujarnya. "Monster sebesar itu lepas, pastinya bukan sebuah kecelakaan. Apalagi kejadian ini terjadi berulang kali."

"Aku bilang dia." Eliot mengoreksi. "Hanya dia."

Helaan napas keluar dari mulut Zi. "Artinya kemungkinan kita akan berurusan dengan kawanan lagi."

"Yang lebih besar." Eliot mengoreksi lagi. "Di depan kita adalah kawasan kawanan Whitewood, wilayah terakhir sebelum ke Portlock."

"Yang terbesar dan terkuat," Zi berujar dengan muram. "Sang penjaga gerbang Alaska." Tangan Zi menyapu wajahnya dengan lelah. "Bukankah Lycan itu soliter?"

"Dengan sifat mereka yang serba menghancurkan, seharusnya tidak mungkin ada tiga kawanan yang ada dalam radius serratus kilometer," jelas Eliot. "Tapi di sinilah kita, harus berurusan dengan tiga kawanan penjaga Alaska."

"Seolah Lycan itu adalah peliharaan mereka."

Menyesal dengan kata-katanya sendiri, Zi langsung bergidik. Membayangkan ada kawanan Therian yang menjadikan monster seberbahaya Lycan sebagai peliharaan terlalu mengerikan untuk dibayangkan.

Bangkit berdiri, Zi mulai merapihkan semua barang-barangnya, dibantu oleh Eliot.

"Menurutmu Lycan itu akan mengadukan kita pada kawanannya?"

"Aku meragukannya," ujar Eliot. "Lycan seringkali melupakan apa yang menimpa mereka saat menjadi sosok lain mereka."

"Kalau begitu, kita bisa menyusup dengan aman?"

"Jika sosok manusianya tidak mengingat kita."

Zi berdecak. "Oh, bagus."

"Kau yang menghabiskan waktu untuk mengobrol dengannya."

Untuk yang itu, Zi tidak bisa melawan. Ini memang murni kesalahannya. "Aku hanya ... ingin berpura-pura sejenak."

Selama sejenak, tidak ada basalan dari Eliot. Zi hanya terdiam, memikirkan apa yang ia lakukan dan apa yang tidak ia lakukan kepada pemuda Therian bernama Alan itu kemarin. Jika saja Alan bukan target mereka, jika saja semua ini tidak terjadi....

"Dan kepura-puraan adalah senjata utama Cain."

Dan tentu saja, Eliot dan mulut pedasnya selalu berhasil merusak suasana.

"Ya, ya, aku paham ini kesalahanku dan aku akan menebusnya." Zi mengeluarkan amplop coklat dari saku jaketnya. "Ayo, satu stempel lagi dari kawanan terakhir dan kita akan menjebol markas Cain."

"Dan menghentikan dia untuk selamanya."

Dalam diam, Zi mengangguk. Kesendirian kadang memang sulit untuk ditanggung dan Zi berulang kali melakukan kesalahn yang sama. Dia memercayai Therian bisa berbuat baik sedikit saja kepada Manusia, berhenti untuk mencoba memusnahkan manusia.

Tapi Cain dan ajarannya sudah mengakar terlalu dalam dan Zi sudah terlalu lama diam. Dia harus menghentikan Cain sebelum kejahatannya menyebar dari Alaska yang terisolasi. Ia harus menghentikannya agar Manusia selamat dan ... perang tidak terjadi.

"Pertanyaanku masih sama, Zi." Eliot berkata sembari mereka berjalan.

"Hm?" Dan Zi akan terus bertanya seolah ia lupa pada pertanyaan itu.

"Apa kau akan sanggup melakukannya?" tanya Eliot. Dan atmosfer di sekeliling mereka pun berubah berat. "Membunuh orang yang pertama kali mengajarimu? Pertama kali menyayangimu ... dan memberimu seluruh dunia?"

Selalu, sekali lagi, dan seterusnya, pertanyana itu membawa Zi terlempar ke masa lalu, ketika dirinya masih naif. Ketika ia masih percaya segala yang dilakukan Cain adalah untuk kebaikan dirinya—mereka berdua—untuk dunia lebih baik bagi mereka. Dunia yang bisa menerima mereka apa adanya.

Tapi itu semua hanya kepalsuan Cain. Sebuah tipuan dan lelucon jahat yang tidak akan pernah berakhir. Sebuah mimpi semu yang terlalu membuai untuk hanya sekadar mimpi.

Tapi siapa pun, harus terbangun dari mimpi-mimpi indah mereka.

Zi memegang tongkat bantunya lebih erat. "Aku bisa," ujarnya, lebih kepada menguatkan dirinya sendiri daripada sebuah tekad sekuat baja. "Hanya aku yang bisa. Harus aku yang melakukannya."

Eliot terdenagr mendengkus di sebelahnya. "Aku harap pilihanmu tidak akan berubah sampai akhir, Zi Yue."

Doa yang sama. Doa yang sudah berulang kali Eliot panjatkan sebelum dan setelah mereka melalui bahaya yang hampir merenggut nyawa.

Semoga Zi tidak berpaling dari tujuannya. Semoga ... ia bisa menghentikan Cain, bukan ikut menjadi seperti Cain. Semoga kesamaan mereka, berhenti hanya pada kesamaan kecacatan yang mereka derita sejak lahir ... sebagai Therian yang tidak bisa berubah wujud.

"Ya," Zi menyahut. "Aku juga berharap begitu."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro