Chapter Eighteen✨

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Berkat semangat dari Anan, Ares akhirnya mampu melalui hari-hari beratnya di sekolah dengan baik. Tidak ada lagi tangisan dan raut keputusasaan yang menyelimuti wajah cantik Ares kala disebarnya gosip-gosip tidak jelas tentang dirinya. Gadis itu benar-benar menepati janjinya pada Anan untuk selalu tersenyum.

Hari sudah larut, Ares sudah bergelung dalam selimutnya, pertanda gadis itu siap untuk masuk ke dunia mimpi. Mungkin, Ares sudah pulas dalam tidurnya sekarang ini, jika saja tidak ada panggilan yang masuk di ponselnya yang menampilkan nama "Tante Tyas" di sana.

"Ngapain mamanya Raden nelpon? Ada hal penting kali, ya?" tanya Ares pada dirinya sendiri. Gadis itu lalu menggeser tombol hijau, dan menaruh ponselnya di dekat telinga.

"Halo, Tante," ucap Ares.

"Halo, Ares. Hiks, hiks."

"Tante, kenapa nangis? Apa yang terjadi, Tante?" tanya Ares panik kala mendengar isakan dari mama Raden.

"Raden ..., Raden masuk rumah sakit, Res."

"Apa, tante? Raden masuk rumah sakit?"

Jika saja, bukan mama Raden langsung yang memberitahukannya, maka tentunya Ares tidak akan percaya begitu saja. Tidak mungkin kan jika mama Raden hanya menge-prank dirinya?

"Iya, Ares. Sekarang kamu kesini, ya? Nanti tante kirimin alamat rumah sakitnya."

Baru saja Ares ingin menanyakan perihal penyakit Raden, sambungan telepon itu sudah diputuskan secara sepihak oleh mama Raden. Masa bodoh dengan semua itu, Ares segera mengganti baju tidurnya, dan bersiap menuju rumah sakit. Setelah mendapat pesan dari mama Raden. Sambil memasang sepatunya, gadis itu segera memesan ojek dari aplikasi online.

Setelah tiba di rumah sakit, Ares segera mencari kamar dimana Raden dirawat.

"Kamar Melati, nomor 30B. Ah itu dia," gumam Ares kala melihat kamar dengan papan nomor yang sama dengan yang diberitahu oleh mama Raden.

"Mama sama papa Raden didalam, gak enak langsung masuk. Aku tunggu aja deh," ucapnya kala melihat kedua orangtua Raden tengah berada di dalam kamar itu. Ares memilih duduk di kursi tunggu yang tak jauh darisana.

"Ares."

Panggilan itu membuat Ares seketika menoleh. "Tante?"

Ares bangkit dari duduknya kemudian berjalan mendekat ke arah mama Raden. "Keadaan Raden gimana, tante? Kenapa Raden bisa masuk rumah sakit? Raden sakit apa, tante?"

Pertanyaan bertubi-tubi dari Ares itu membuat Tyas— mama Raden tersenyum. Anaknya itu beruntung sekali memiliki pacar seperti Ares yang sangat perhatian.

Seandainya saja, Tyas tahu bahwa kini Ares dan Raden sudah tidak bersama lagi. Pastinya, wanita paruh baya itu akan kecewa.

"Tadi dokter bilang, keadaan Raden semakin drop. Kanker di tubuh Raden semakin ganas dan sulit untuk dibunuh."

Ares tidak bisa menahan keterkejutannya kala mendengar kata 'kanker' disebut oleh Tyas.

"Kanker? Maksud tante, Raden kena penyakit kanker?"

"Memangnya, selama ini Raden tidak pernah memberitahu kamu sebagai pacarnya?"

"Maaf, tante. Tapi, kami berdua udah gak ada hubungan apa-apa lagi."

Kini, giliran Tyas yang terkejut mendengar pernyataan dari Ares.

"Kalian sudah putus?"

Ares hanya mengangguk.

Terlihat ada gurat kekecewaan yang terpampang di wajah wanita paruh baya itu.

"Sejak kapan Raden menderita kanker, Tante?"

"Belum lama. Kira-kira sebulan yang lalu, Raden didiagnosa oleh dokter mengidap penyakit kanker otak. Kami langsung membawa Raden ke Singapura untuk membunuh sel kanker itu," ucap Tyas.

'Sebulan yang lalu, berarti waktunya kurang lebih dengan waktu Raden menghilang selama beberapa hari itu. Jangan-jangan waktu itu, dia bukan menghilang, tapi dia ke Singapura untuk berobat," batin Ares.

"Sel kanker itu berhasil hilang. Tapi kata dokter, sel kanker itu bisa datang kapan saja.  Maka dari itu, Raden diminta untuk mengonsumsi beberapa obat."

Ares seketika teringat, dengan hari dimana Raden mengakhiri hubungan mereka. Apa jangan-jangan, alasan Raden mengakhiri hubungan mereka juga berkaitan dengan penyakitnya ini?

"Selama beberapa minggu, sel kanker Raden tidak tumbuh lagi. Namun, tadi tubuh Raden kembali drop, dan akhirnya sel kanker itu tumbuh menjadi lebih ganas lagi," ucap Tyas kemudian meneteskan air matanya.

"Ehm, tante. Apa Ares boleh ngelihat kondisi Raden?" tanya Ares.

Tyas mengangguk. "Tentu boleh, sayang. Silakan masuk."

Setelah mendapat izin dari Tyas, Ares membuka pintu tersebut dan masuk ke dalam ruangan tersebut.

"Ares, kamu mau ngelihat kondisi Raden ya?" tanya Erol— papa Raden yang berada di dalam ruangan itu.

"Iya, Om."

"Kalau begitu, Om permisi keluar dulu. Mau ngurus administrasi. Kamu jagain Raden sebentar, ya."

"Iya, Om."

Setelah Erol keluar, Ares mengambil posisi duduk di kursi sebelah ranjang Raden. Setetes demi setetes air mata gadis itu turun ketika melihat kondisi Raden yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit.

"Raden, kenapa bisa kamu sampai kayak gini? Perasaan, kemarin-kemarin kamu masih fit, kamu masih sehat. Bahkan, kamu sempat membentak aku. Kamu masih sehat, Den. Tapi, kenapa sekarang kamu malah terbaring lemah disini?"

Ares mengelus lembut tangan Raden, gadis itu menatap sendu wajah Raden yang pucat itu.

"Den, please bangun. Kamu gak kasihan apa sama mama dan papa kamu? Mereka sampai nangis, gara-gara takut kehilangan kamu."

Drrtt.. Drrtt..

Ponsel Ares bergetar, Ares berjalan sedikit menjauh dari ranjang Raden, kemudian mengangkat telponnya.

"Halo, Nan."

"Halo, kamu dimana, Res? Tadi aku ke rumah kamu, kata mama kamu, kamu lagi keluar."

"Aku lagi di rumah sakit, Nan."

"Rumah sakit? Ngapain kamu ke rumah sakit? Siapa yang sakit? Kamu sakit, ya? Kok gak kasi tahu sih. Aku kesana sekarang ya, kamu kasi tahu alamat rumah sakitnya sekarang juga," ucap Anan bertubi-tubi.

"Satu-satu elah nanyanya," kesal Ares.

"Iya-iya. Aku lagi panik, jadinya ya gitu," ucap Anan terkekeh.

"Aku lagi di rumah sakit, Raden masuk rumah sakit."

"Apa? Raden? Dia masuk rumah sakit?"

"Iya."

"Ngapain kamu jengukin dia?" tanya Anan ketus.

"Loh, kamu kok ketus gitu sih? Lagian, salah ya kalau aku jengukin orang yang lagi sakit?"

"Jengukin orang yang sakit itu gak masalah. Tapi, kalau yang sakit itu orang semacam Raden ngapain dijenguk?"

"Kamu kenapa sih, Nan? Kok benci banget sama Raden kelihatannya."

"Kamu gak ingat, Res? Raden itu orang kedua setelah Rea yang gak suka sama kamu. Apalagi, kemarin dia ngebentak kamu cuma karena ngebelain Rea yang jelas-jelas udah salah. Kamu gak ingat apa?"

Ares menghela napasnya, di saat seperti ini, Anan masih saja mengungkit perihal masalah kemarin. Ares memang tidak lupa dengan bentakan dari Raden, akan tetapi gadis itu tetap tidak bisa untuk tidak peduli ketika lelaki itu sedang sakit seperti ini.

"Udah ya, Nan. Kalau kamu mau ngungkit masalah kemarin, sekarang bukan waktu yang tepat. Aku tutup dulu telponnya."

"Eh, Res, bentar."

"Apalagi?" ucap Ares jengah.

"Kirimin alamat rumah sakitnya. Sekarang juga aku kesana."

"Loh, katanya gak mau jengukin?"

"Aku kesana bukan mau jengukin si Raden, aku kesana mau jemput kamu pulang."

"Tapi, aku bisa pulang sendiri, Nan."

"Aku gak terima penolakan. Sekarang juga, kamu kirimin aku alamatnya," ucap Anan kemudian menutup sambungan telponnya secara sepihak.

'Enggak tante Tyas, enggak Anan, sama aja. Sama-sama suka nutup telponnya sepihak," kesal Ares.

⊱ ────── {⋆⌘⋆} ────── ⊰

Aku tidak akan pernah melupakan, saat dimana kalian menghinaku dengan begitu kejamnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro