Chapter Fifteen✨

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dengan lincahnya, Anan berlari sambil menggiring bola dengan kakinya, melewati beberapa lawannya yang berusaha merebut bola dari jangkauan kakinya. Langkah kakinya semakin dekat dengan gawang, dan dalam sekali tendangan bola tersebut berhasil masuk ke gawang lawan.

"Mantap, Nan!" teriak Rendi, teman satu tim dari Anan. Anan hanya tersenyum membalas pujian dari Rendi.

"Aku mau ke rooftop dulu. Mau ngademin diri di atas. Duluan semua," ucap Anan kepada teman satu timnya beserta lawannya yang juga sekelas dengan Anan.

"Oke, Nan."

Anan berjalan sambil mengelap wajah dan lehernya yang dipenuhi oleh keringat dengan handuk kecil yang selalu dibawanya. Langkah tegapnya membawa Anan ke rooftop, tempat yang jarang dikunjungi oleh teman-teman satu sekolahnya, sehingga keadaan disana sudah terjamin sepi.

Selain untuk mengademkan diri disana, Anan juga ingin mengademkan pikirannya. Akhir-akhir ini, lelaki itu selalu memikirkan keadaan Ares. Berita perihal pertengkaran antara Ares dan Rea sudah tersebar di satu sekolahan, bahkan video Ares yang menampar Rea juga sudah tersebar. Padahal, belum sehari kejadian itu berlangsung, namun sudah menggemparkan satu sekolah saja.

"Ares?"

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Baru saja, Anan memikirkan Ares, namun sekarang gadis itu sudah di depan matanya saja. Walaupun hanya melihat punggung dari gadis itu, akan tetapi Anan sudah dapat memastikan bahwa gadis itu ialah Ares. Rambut panjangnya terbang begitu saja karena perbuatan sang angin. Membuat Ares terlihat sempurna, meski Anan hanya melihat gadis itu dari belakang.

"Kamu kenapa disini?" tanya Anan.

"Eh, Anan. Ada kamu toh di sini."

Ares yang terkejut segera menetralkan keterkejutannya.

"Kamu nangis?" tanya Anan lagi. Lelaki itu mengambil posisi di sebelah kiri Ares dan duduk disana.

"Eh, enggak," ucap Ares lalu kembali menunduk, membiarkan rambut panjangnya menutupi wajahnya. Berharap Anan belum sempat melihat matanya yang membengkak karena menangis tadi.

"Gak usah ditutupin gitu, aku udah lihat kok. Mata kamu bengkak, pasti habis nangis. Iya, kan?"

Terlambat. Anan sudah terlebih dahulu melihat mata bengkak Ares.

"Kamu pasti nangis karena masalah kamu dengan Rea. Aku yakin, tebakan aku pasti benar," ucap Anan dengan percaya dirinya.

"Pede amat sih," ucap Ares terkekeh.

"Lah memang kenyataannya seperti itu," ucap Anan kemudian tersenyum kecil.

"Kalau kamu punya masalah, cerita aja sama aku. Kali aja aku bisa bantu. Ya, itupun kalau kamu mau cerita sama aku," lanjut Anan.

"Memangnya ada alasan apa aku gak mau cerita sama kamu?"

"Ya, kali aja kita kan udah jadi mantan. Mungkin, kamu agak canggung buat cerita sama aku."

Ares terhenyak. Kata mantan yang diucapkan oleh Anan sedikit menusuk hatinya. Seandainya saja, kata mantan itu bisa dihapus. Mungkin, masalahnya dengan Rea tidak akan ada. Rea tidak akan mengorbankan perasaannya hanya untuk Ares.

"Jadi, kamu mau cerita sama aku? Aku siap kok jadi pendengar yang baik untuk kamu."

Ares menimang sejenak tawaran Anan, kemudian mengangguk, pertanda gadis itu siap bercerita.

"Pertama-tama, aku minta maaf. Waktu itu, aku udah putusin kamu. Sebenarnya, itu bukan kemauan aku, itu.... " Perkataan Ares terhenti kala Anan menyela.

"Udah, itu gak usah dibahas. Aku udah tahu alasan kamu mutusin aku. Semua itu karena mama kamu yang gak setuju kan? Karena nama aku yang enggak estetik. Iya, kan?"

"Kamu tahu darimana?"

"Aku tahu itu dari Rea."

"Rea? Rea cerita sama kamu?"

"Iya. Dia cerita sama aku kemarin. Entah apa tujuan aslinya, tapi aku yakin banget dia cerita sama aku karena pengen aku jadi benci sama kamu."

"Trus, kamu benci sama aku?"

"Menurut kamu, kalau aku benci sama kamu, buat apa aku berada disini? Kalau aku benci sama kamu, ngapain aku ngehabisin waktu aku dengan sia-sia hanya untuk ngomong sama kamu disini?"

"Jadi, kamu gak benci sama aku?"

Anan tersenyum, lalu mengelus puncak kepala Ares dengan lembut. "Aku sama sekali gak pernah benci sama kamu. Meski pada saat kamu putusin aku, terselip sedikit rasa tidak rela. Tapi, aku segera ngelupain masalah itu, sebelum rasa benci akhirnya menjalari seluruh pikiran aku. Aku gak mau sampai hal itu terjadi."

"Makasih banyak, Nan. Aku beruntung pernah kenal sama kamu. Aku benar-benar sangat beruntung, karena kamu gak pernah benci sama aku."

"Sama-sama, Res. Hanya satu pintaku, meski banyak orang diluar sana yang berusaha menjatuhkan kamu, tetaplah jadi Ares yang aku kenal. Ares yang tegar, Ares yang selalu tersenyum, dan Ares yang tetap baik hatinya."

Ucapan Anan barusan membuat hati Ares terenyuh. Seandainya saja, lelaki itu masih berstatus sebagai kekasih Ares. Maka, sudah sedari tadi, Ares ingin memeluk lelaki itu.

"Sekali lagi, terima kasih," ucap Ares tersenyum.

"Udah berapa kali kamu ucapin terima kasih?" tanya Anan. "Kalau kamu ucapin terima kasih melulu, kapan kamu mau cerita?"

"Hehe, maaf. Oke, sekarang aku bakal cerita."

Ares tersenyum sejenak, lalu mengambil napasnya banyak-banyak sebelum memulai ceritanya. Lebih tepatnya, sebelum memulai acara curhatnya.

"Semua dimulai dari kejadian Raden menghilang tanpa kabar selama beberapa hari. Kemudian, pada saat Raden ajak aku ketemuan di taman. Di sana, dia putusin aku tanpa alasan.... " Cerita Ares berlanjut hingga masalahnya dengan Rea. Semua diceritakan oleh Ares dengan lengkap, tidak dilebihkan, juga tidak dikurangi.

"Sekarang aku paham sama masalahnya. Rea salah paham. Rea mengira bahwa kamu yang mutusin Raden. Iya, kan?" tanya Anan.

Ares mengangguk. "Entahlah Rea dapat informasi darimana."

"Mungkin dari Raden?"

Ares terdiam. Apa mungkin Raden membalikkan fakta dan berbicara seolah dialah yang tersakiti? Tapi, apa mungkin Raden sejahat itu?

"Saran aku, kamu gak usah terlalu mikirin masalah itu. Mending kamu fokus sama sekolah aja, fokus sama pelajaran. Jangan sampai masalah ini bisa mengganggu sekolah kamu."

"Iya, gak bakal ganggu kok," ucap Ares.

"Yakin gak ganggu? Buktinya, sekarang aja kamu udah bisa bolos. Bolosnya ke rooftop lagi," ucap Anan yang membuat Ares mengernyitkan dahinya. Darimana Anan tahu bahwa dirinya tengah membolos?

"Aku tahu kamu bolos, karena hari ini yang olahraga cuma kelas aku. Jadi, kalau kamu bisa ke rooftop kayak gini, artinya kamu sedang bolos." Anan menjawab, seolah ia  bisa mengetahui isi pikiran gadis itu.

"Ya, bisa aja kan kelas aku lagi jam kosong," ucap Ares, berusaha mengelak.

"Kalau emang kamu lagi free-class, lalu dimana teman-teman kamu yang lain? Gak mungkin kan diantara sekian banyak teman kamu, gak ada satupun yang pergi ke kantin?"

Skakmat. Kali ini Ares tidak bisa mengelak lagi. Bagaikan penjahat yang telah tertangkap polisi, Ares hanya bisa pasrah. "Iya-iya, aku ngaku aku bolos."

"Ngaku juga akhirnya kamu," ledek Anan.

"Ngeledekin aku aja kamu, gak seru ah," ucap Ares lalu berpura-pura ngambek.

"Hehe, ampun, Res. Jangan ngambek gitu nanti jelekloh mukanya," ucap Anan lalu mengelus puncak rambut Ares. Membuat sang empunya tersipu.

⊱ ────── {⋆⌘⋆} ────── ⊰

Tuhan, bila aku tak diizinkan lagi untuk menjaga dirinya dari radius terdekat. Maka tolong, pastikan dia tetap baik-baik saja disaat aku jauh darinya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro