Chapter Three✨

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Permisi."

Seisi kelas 11 Ipa 1 menghela napasnya lega kala melihat siapa pemilik suara tadi.

"Lah elah, elo toh Nan," ujar Rangga lalu membuang buku tulisnya yang tadi digunakannya untuk menutupi mukanya.

"Gue kirain kepala sekolah tadi." Theo yang duduk di pojokan pun ikut bersuara, lalu kembali memasangkan earphone ke telinganya.

Sementara, Anan yang berdiri di depan pintu kelas pun merasa keheranan.

'Dikirain gue setan apa, pada tegang semua gitu," batinnya.

"Ngapain lo kesini? Mau nyariin Ares? Noh lagi bobo," ucap Siti lalu menunjuk ke arah Ares yang sedang tertidur.

"Woi, Res. Elo dicariin Anan tuh!" teriak Bimo tanpa aba-aba. Membuat gadis yang dipanggil itu langsung tersontak kaget.

"Eh eh apaan apaan?" tanya Ares yang tingkat kesadarannya belum kembali total.

"Noh, Anan cariin elo."

Ares lalu mengikutkan pandangannya pada arah yang ditunjuk oleh Zilva di sebelahnya. Dan, boom!

Ares mendapati Anan—mantannya yang tengah berdiri di depan pintu kelasnya. Ares yang mendapati tatapan tidak menyenangkan dari Anan hanya ber oh ria. Bersikap seolah cuek, padahal hatinya masih bergemuruh hebat kala melihat tatapan itu.

"Gue ke sini mau antarin buku doang dari Pak Bekti. Gue taruh disini."

Setelah meletakkan tumpukan buku tulis yang tadi dipegangnya di atas meja Ika, lelaki itu langsung beranjak pergi. Ia enggan berlama-lama di kelas Ares, meski dulu ia sering mengunjungi kelas gadis itu.

Ares yang menyadari bahwa Anan telah beranjak pergi, langsung melihat ke arah pintu kelas. Hatinya mencelos, ketika mengingat tak ada lagi Anan yang modus masuk ke kelasnya seperti dulu. Tatapan lelaki itu juga mengisyaratkan ketidaksukaan pada Ares.

'Kalau boleh aku jujur, aku masih amat sayang sama kamu, Nan. Tapi apa boleh buat, mama aku udah gak setuju. Semoga kamu mendapatkan cewek yang lebih baik. '

•••

Setelah kejadian kemarin, tentunya teman-teman Ares paham bahwa hubungan antara Ares dan Anan telah berakhir. Sehingga tidak satu orangpun lagi yang berani mengejek Ares dengan Anan.

Mereka tahu, bahwa Ares masih sangat mencintai Anan, yang dapat dilihat dari tatapan Ares kemarin. Ditambah lagi, gadis yang tadinya ceria, mendadak murung kembali selepas Anan pergi.

Entahlah, mereka tidak tahu apa yang menjadi alasan kandasnya hubungan Ares dan Anan. Padahal, kedua pasangan itu sangat serasi apabila disandingkan. Walau, masih banyak yang menghujat hubungan mereka dikarenakan wajah Anan yang tidak terlalu tampan, berpacaran dengan Ares yang memiliki wajah bak seorang dewi.

"Res, nomor 5 caranya benar gak?" tanya Zilva.

"Salah ini mah, bentar," Ares mengambil catatan fisikanya dan menunjukkannya kepada Zilva, "ini kayak gini yang betul."

"Gimana sih, Res? Gak ngerti aku." Zilva meletakkan pulpennya ke atas meja, lalu melipat kedua tangannya di atas meja untuk dijadikan bantal tidur.

"Duh, Zilva. Ini baru nomor 5 kamu udah main tidur aja. Masih ada 15 soal nih." Ares hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah Zilva. Jika sudah berurusan dengan fisika, maka gadis disampingnya akan selalu mengeluh.

Berbeda lagi dengan Rea, gadis satu itu mampu menguasai pelajaran eksak—terutama fisika dengan amat baik. Hanya saja kekurangannya adalah di bidang bahasa, yang dikuasai oleh Zilva.

Ares melihat ke arah jam dinding, tersisa waktu 1 jam lagi, dan Zilva baru mengerjakan 5 soal. Berbanding terbalik dengan Ares yang hanya tinggal 5 soal.

Ares mencolek pinggang Zilva, dan alhasil gadis itu kegelian dan bangun dari tidurnya.

"Buruan kerjain, sisa 1 jam lagi. Sini, mana yang enggak ngerti? Biar aku ajarin."

Zilva mengangguk, dan menunjuk ke arah soal nomor 5. Ares dengan telaten mengajarkan sahabatnya satu itu. Dan, ajaibnya Zilva langsung paham.

Ares memang berbakat menjadi seorang guru, karena setiap penjelasan yang keluar dari mulutnya selalu mudah dipahami oleh teman-temannya. Terutama bagi Zilva yang otaknya kadang lemot.

Maka dari itu, tak jarang meja Ares dikelilingi oleh teman sekelasnya saat tugas diberikan. Ares bukan tipe orang yang pelit ilmu, ia dengan senang hati mengajari teman-temannya dan membagi ilmu kepada mereka. Hal itu membuat Ares sangat disenangi oleh teman sekelasnya.

1 jam berlalu, itu tandanya waktu pengerjaan soal sudah berakhir. Tanpa diperintahkan, satu persatu murid di kelas 11 Ipa 1 berjalan maju mengumpulkan tugas mereka. Setelah terkumpul semua, dan memberikan salam terima kasih, Bu Lia—guru fisika keluar. Kemudian, digantikan oleh Bu Fira— guru sejarah yang masuk mengajar.

"Eh ada Bu Fira yang cantik. Saya kangen sama ibu, kangen belajar sejarah juga." Bu Fira hanya menghela napasnya ketika digoda oleh Hendra. Salah satu murid di kelas 11 Ipa 2 yang hobi menggodanya di setiap kali pertemuan pelajaran.

"Eh ada Hendra yang ganteng, gantengnya kalau dilihat dari ujung sedotan. Ibu gak kangen tuh sama kamu, sejarah juga gak kangen dipelajari sama kamu." Ucapan Bu Fira mengundang gelak tawa di seisi kelas, membuat Hendra mengerucutkan bibirnya— berlagak kesal.

"Awas aja kalian." Hendra menatap dengan sinis semua teman sekelasnya.

"Sudah jangan ribut lagi. Kita mulai saja pelajarannya." Setelah Bu Fira meletakkan tasnya di atas kursi, Radit segera memberi komando untuk memberi salam.

"Selamat pagi. Silakan duduk," ucap Bu Fira.

"Baiklah, tanpa berbasa-basi, buka buku paket kalian halaman 39. Baca 5 menit, setelah itu kita akan kuis," lanjutnya.

"Yah ibu, masa baru masuk langsung kuis sih." Hendra berprotes.

"Katanya tadi kangen belajar sejarah, ya ini belajar."

"Tapi kan bu...." Lelaki itu hendak berprotes lagi, namun segera diberi tatapan tajam oleh Bu Fira. Yang membuat Hendra langsung kembali fokus membaca bukunya.

Suasana kelas menjadi senyap dalam 5 menit. Setelahnya, kuis dimulai dan suasana kembali riuh karena berusaha merebut pertanyaan yang menurut mereka lebih gampang. Namun, ketika didapati pertanyaan yang sulit, mereka kembali diam. Kuis itu berlangsung hanya 10 menit, selebihnya sudah kembali belajar seperti biasa. Bu Fira menjelaskan materi lanjutan dari minggu lalu.

•••

"Re, Zil, temenin aku ke perpustakaan yuk. Aku mau ngembaliin buku," ajak Ares yang kini sudah berdiri di depan kelas, dengan beberapa buku di pelukannya. Buku itu adalah buku yang beberapa hari lalu Ares pinjam dari perpustakaan. Hari ini adalah batas pengumpulan, jika terlambat akan didenda 50ribu.

Lagian, siapa juga yang menginginkan selebar uang 50ribu itu hangus begitu saja untuk membayar denda? Lebih baik digunakan untuk membeli kuota saja.

"Ayo deh, tapi habis dari perpustakaan, temani ke toilet ya." Ares hanya menganggukkan kepalanya saja sebagai jawaban dari ajakan Zilva.

Jarak dari kelas Ares menuju perpustakaan cukup jauh, mengingat letak kelas Ares dan perpustakaan yang sama-sama berada di ujung koridor. Kelas Ares berada di ujung koridor sebelah kiri, dan sebaliknya perpustakaan berada di ujung koridor sebelah kanan.

Hal yang membuat Ares malas berkunjung ke perpustakaan adalah karena ia harus melewati kelas 11 Ipa 3. Kelas dimana ada Anan di dalamnya. Tentunya ini menambah persentase kemungkinan bertemunya Ares dengan Anan.

"Eh ada Ares, gak nyariin Anan?" tanya salah satu anak 11 Ipa 3 yang merupakan teman sekelas Anan.

"Enggak, Ares sibuk."

Jawaban itu terlontar bukan dari mulut Ares, melainkan dari sang sahabat, Rea. Melihat kondisi seperti ini, membuat Rea segera menarik tangan Ares untuk berjalan lebih cepat lagi. Takutnya, berlama-lama berjalan di koridor 11 Ipa 3, dapat membuat Ares kembali sedih karena omongan teman-teman Anan. Atau lebih parahnya, karena bertemu Anan sendiri.

Namun, sepertinya, Dewi Fortuna sedang tidak berpihak kepada Ares. Karena, ketika hendak mengembalikan buku ke dalam rak dimana buku itu diambil kemarin, kedua bola mata Ares menangkap punggung lelaki yang amat dikenalnya.

Anan.

Ares tidak bisa mengalihkan pandangannya dari lelaki itu, terlebih ketika melihat bahwa  ternyata Anan sedang berbincang dengan seorang perempuan. Wajahnya sangat asing di penglihatan Ares, membuat Ares dapat menarik kesimpulan bahwa perempuan itu ialah anak kelas 10.

Tak ingin berlama-lama lagi melihat pemandangan itu, Ares segera meletakkan bukunya di rak, lalu berjalan pergi dari sana.

"Ares." Panggil seseorang lalu menepuk bahu Ares.

⊱ ────── {⋆⌘⋆} ────── ⊰

Kita memang sudah tidak memiliki hubungan apa-apa, namun entah mengapa rasanya begitu sesak ketika melihatmu berbincang dengan perempuan lain. Apa itu namanya masih cinta?

•••

Yuk, dukung ceritaku dengan cara klik tombol vote ☆ dan memberikan kritik serta saran di kolom komentar ya🌹 Terima kasih.. 🥰

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro