Chapter Twenty Two✨

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ares meletakkan tasnya di atas meja. Matanya melirik ke bangku yang biasa diduduki oleh Zilva. Ares tersenyum, mengingat masa-masa ketika Zilva selalu bertanya mengenai pelajaran fisika. Zilva yang selalu menyerah duluan saat mengerjakan tugas, dan Zilva yang selalu ingin tidur di saat pelajaran PKn.

Pandangan Ares beralih ke bangku belakang, bangku milik Rea. Sahabatnya yang paling ajaib, setiap tingkahnya selalu saja berhasil membuat orang disekitarnya tertawa, lalu kesal sendirian melihat tingkah gadis itu. Rea yang selalu takut ketika pelajaran bahasa, Rea yang tidak bisa membuat puisi, Rea yang hanya pandai membuat pantun receh.

Rasa rindu seketika menghujam dada Ares dengan begitu kuat, membuat lelehan air mata menetes keluar. Ares menggenggam erat tali tas sekolahnya, seolah dengan cara seperti itu ia dapat menyampaikan rasa rindunya terhadap 2 sahabat terbaiknya.

“Res!” panggil seseorang.

“Rea? Eh, maaf Sa. Aku kira tadi Rea yang manggil aku,” ucap Ares tersenyum miris.

“Maaf kalau aku lancang, tapi masalah kalian belum selesai ya?”

“Belum, Sa.”

“Aku ikut bersedih ya. Persahabatan kalian udah best friend goals banget. Rasanya kayak gak nyangka aja kalian bakal diuji oleh Tuhan dengan masalah sebesar ini.”

Ares tersenyum. “Kamu aja gak nyangka. Bagaimana dengan aku? Hubungan kami yang awalnya baik-baik aja, tiba-tiba dilanda masalah seperti ini.”

“Kamu yang sabar ya, Res. Aku doain semoga masalah kalian cepat selesai.”

Ares terharu mendengar ucapan Sasa. Ia pikir, sudah tidak ada orang yang peduli terhadap dirinya, selain Anan.

“Makasih banyak, Sa. Oh iya, tadi kamu panggil aku, ada apa?”

“Aduh, aku sampai lupa sama tujuan aku. Gara-gara keasyikan ngomong hehe. Jadi gini, hari Rabu nanti aku mau ngadain pesta ulang tahun. Aku udah undang teman sekelas kita, sama beberapa teman seangkatan kita yang lainnya. Tinggal kamu aja yang belum aku kasi undangan. Soalnya kemarin mau nyamperin kamu, aku lihat kamu lagi ngobrol sama Anan, jadi gak enak mau samperin. Ini kartu undangannya, Res.”

Ares menerima kartu undangan dari Sasa. “Wah, acara sweet seventeen nih, ya.”

“Hehe, iya, Res. Jangan lupa datang ya.”

“Aku pasti datang kok.” Ares tersenyum lalu melihat syarat dresscode yang diberikan oleh Sasa. Tema dresscodenya berwarna cream. Ya, seperti yang Ares ketahui, bahwa Sasa memang menyukai warna cream.

Ares mengernyitkan dahinya kala melihat syarat satu lagi.

“Loh, Sa. Ini datangnya harus bareng pasangan?” tanya Ares.

“Iya, Res. Pasangannya bebas kok, mau dari teman beda kelas, atau beda sekolah.”

“Wajib ya, Sa?”

“Ya, wajib sih, Res. Biar lebih seru aja gitu,” ucap Sasa tersenyum.

“Oh, iya deh, Sa.”

“Kalau gitu, aku mau ke bangku aku dulu ya, Res.”

“Iya, Sa.”

•••

Raden melihat kartu undangan yang berada di tangannya. Undangan itu dari Sasa. Sebenarnya bukan sekali ini saja, Raden menerima undangan dari teman perempuannya. Hanya saja, syarat yang diajukan oleh Sasa membuat lelaki itu kebingungan. Untuk pergi ke acara tersebut, tamu undangan diwajibkan membawa pasangan. Seandainya saja, sekarang Ares masih berstatus sebagai kekasihnya. Pastinya, Raden tidak akan kebingungan seperti ini untuk mencari pasangan ke acaranya Sasa.

“Apa aku ajak Ares aja, ya?”

“Tapi, kayaknya gak mungkin Ares mau, pasti dia udah diajak duluan sama Anan.”

“Gak usah pergi aja kali ya. Eh, tapi gak enak sama Sasa.”

Raden mengacak rambutnya. Ia frustasi memilih siapa yang akan menjadi pasangannya di acara Sasa nanti.

“Aku coba ajak Ares aja deh. Semoga aja belum keduluan sama Anan.”

Raden bangkit dari kursinya. Baru saja lelaki itu hendak melangkah, suara Rea sudah menyelinap masuk ke indra pendengarannya.

“Raden!” seru Rea.

“Kenapa, Re?”

“Kamu ada dapat undangan dari Sasa, gak?”

Raden mengangguk. “Ada, memangnya kenapa?”

“Syaratnya mesti bawa pasangan kan, ya?”

Kini Raden dapat menebak kemana arah jalan pembicaraan Rea. Gadis itu pasti akan memintanya untuk menjadi pasangannya.

“Kamu kan enggak ada pasangan, aku juga. Jadi, kamu mau ya jadi pasangan aku di pesta Sasa nanti?”

Dugaan Raden tidak meleset sama sekali. Raden menghela napasnya, apa dia harus mengiyakan permintaan Rea?

“Gimana, Den? Mau, kan?” desak Rea.

Raden mengalihkan pandangannya dari Rea, memilih untuk tidak terlarut dalam tatapan memohon milik gadis itu. Namun tak disangka, pandangan lelaki itu malah jatuh kepada Ares dan Anan yang tengah berbincang di bawah pohon jambu milik sekolah. Raden berusaha menajamkan pendengarannya agar dapat mendengar apa yang tengah diperbincangkan oleh mereka.

“Res, kamu mau gak temani aku ke acaranya Sasa nanti?” tanya Anan.

Ares tampak berpikir sejenak, kemudian gadis itu menganggukkan kepalanya. “Boleh aja sih, aku juga bingung mau pergi dengan siapa,” jawabnya.

Aku telat. Anan udah lebih dulu ngajak Ares,’ batin Raden kecewa.

“Den? Halo, kok bengong sih?” Rea melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Raden.

“Eh, enggak kok,” elak lelaki itu.

“Ya, udah. Jadi gimana? Kamu mau kan temani aku?”

Raden melihat Rea sejenak, kemudian mengangguk pasrah. Sekalipun ia menolak, ia yakin Rea pasti akan terus mendesaknya.

“Yey, makasih ya Raden. Aku yakin deh, kalau ada pemilihan pasangan paling serasi di acara tersebut, pasti kita menang.”

•••

Ares dan Anan sekarang berada di butik milik tantenya Anan. Mereka sedang mencari gaun untuk dikenakan Ares rabu nanti pada acara ulang tahun Sasa.

"Mbak, tolong carikan gaun warna cream yang cocok dengan Ares, ya," pinta Anan kepada salah satu pegawai di butik itu. Riana, tante Anan sedang sibuk mengurus cabang butiknya yang ada di luar kota, sehingga sekarang ia tidak bisa menemui Anan.

"Baik, akan saya carikan. Mari dek, ikut saya," ujar Ningsih, pegawai butik kepada Ares. Ares tersenyum, lalu mengangguk.

"Aku masuk duluan ya, Nan."

"Iya."

Sepeninggal Ares, Anan memilih duduk di sofa yang berada di pojokan ruangan. Lelaki itu menyalakan ponselnya dan mulai membuka sosial medianya. Cukup lama lelaki itu menunggu, hingga lelaki itu akhirnya tertidur dengan posisi menyender di tangan sofa.

"Nan, gimana gaunnya? Cocok gak sama aku? Ya, ampun. Dianya malah ketiduran di sini," ucap Area terkekeh.

"Nan, bangun. Jangan tidur di sini," ujar Ares membangunkan Anan. Gadis itu menggoyang sedikit tubuh Anan, membuat lelaki itu akhirnya membuka matanya. Lelaki itu mengucek matanya berulang kali, kemudian melihat ke arah Ares.

"Ini beneran kamu, Res?" Anan membelalakkan matanya kala melihat penampilan Ares yang sekarang.

"Iya, ini aku. Emangnya kenapa? Gaunnya gak cocok ya sama aku?"

"Cocok, cocok banget. Gaunnya cocok banget sama kamu. Kamu cantik banget," puji Anan. Anan tidak sedang melebih-lebihkan. Ini fakta. Ares terlihat berkali-kali lipat cantiknya, ketika menggunakan gaun panjang berwarna cream itu. Renda bunga putih di sekitar lengan gaun itu menambah kesempurnaan pada gaun yang dikenakan oleh Ares.

"Makasih, Nan," ucap Ares malu-malu.

Anan bangkit dari kursinya, lalu berjalan mendekat ke arah Ares.

"Kamu itu udah cantik. Dengan kamu pakai gaun ini, kecantikan kamu bertambah seribu kali lipat, Res," bisik lelaki itu.

⊱ ────── {⋆⌘⋆} ────── ⊰

Kecantikan sesungguhnya bukanlah dilihat dari fisik, melainkan dari hati.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro