ʟɪᴍᴀʙᴇʟᴀs

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

ǝTHirëǝl
• ᴇᴛʜᴇʀᴇᴀʟᴏᴠᴇ •

Apa kamu tahu, Airlangga? Hujan bisa menjadi penyebab seseorang bersedih karena sebuah kenangan. Begitu pula sebaliknya, kenangan bisa menjadi hujan di wajah seseorang. Jika suatu hari kamu mendapati hujan di wajah seorang gadis, maka hal yang paling baik adalah memberikan kenangan indah agar hujan di wajahnya itu cepat berlalu.

Airlangga sendiri tidak mengerti dengan perkataan Ayunda saat itu. Yang ia tahu adalah ia tidak suka melihat seorang perempuan menangis tanpa sebab, terlebih ketika di hadapannya.

Pria yang berprofesi sebagai Chef di salah satu hotel di Yogyakarta itu menepikan mobilnya. Menggeser tuas transmisi ke posisi netral dan menatap Adriana dengan kening berkerut. Sejak jawaban yang dilontarkannya secara asal, gadis itu tidak lagi merengek atau bahkan bicara macam-macam. Sejujurnya Airlangga merasa lega saat ini karena akhirnya ia bisa konsentrasi pada jalan yang menurutnya tidak habis-habis itu.

Namun, ia justru terkejut ketika mendapati Adriana menunduk dalam kondisi menangis. Meski perempuan di sampingnya berusaha menutupi, tetapi pandangan Airlangga tidak dapat dibohongi.

"Kamu baik-baik saja, Adria?" tanyanya dengan nada roman khawatir. Ia melepaskan seat belt, berusaha mendekat dan mencari wajah Adriana yang tengah diliput hujan.

"Saya baik, Chef. Cuma tadi kelilipan aja." Adriana mencoba mengipasi kedua mata dengan tangan kanan. Entah itu berhasil atau tidak, menurutnya itu tingkah yang mungkin saja membuat Airlangga percaya dengan alasan yang ia buat secara asal.

"Biar saya lihat."

"Nggak perlu. Chef." Tentu saja Adriana menolak. Bertatapan dengan Airlangga bukanlah pilihan baik kali ini. Ia perlu berdamai dengan hatinya. Ia perlu menguatkan hati jika kemungkinan sebentar lagi ia akan bertemu dengan sosok penting bagi Airlangga.

"Mana sini saya lihat!" Airlangga memaksa. Laki-laki itu tidak pernah mendapat penolakan dalam hal apa pun. Jadi kenapa seorang Adriana harus menolak bantuannya.

Airlangga memerangkap kedua pipi Adriana dengan tangan. Badannya condong ke arah samping agar dapat melihat dengan jelas apa yang membuat merasakan perih di dalam matanya, sementara Adriana hanya dapat menahan napas. Di jarak sedekat ini ia bisa melihat jelas garis tegas wajah Airlangga.

"Nggak ada apa-apa, mungkin Udara AC-nya yang kurang bersih. Saya memang belum sempat melakukan servis pada mobil ini." Airlangga meniup pelan mata Adriana. "Sudah merasa lebih baik?"

"I-iya, Chef."

Adriana sempat merasa ragu. Apakah dirinya bisa bertemu dengan perempuan pilihan Airlangga secepat ini? Rasanya ia tidak akan sanggup. Oleh karena itu, ia mengepalkan tangan dan mencoba mencari alasan selogis mungkin agar tidak ikut ke Bantul bersama Airlangga.

"Chef, saya minta maaf, sepertinya saya nggak bisa ikut ke Bantul. Kepala saya sedikit pusing." Adriana beralasan. Ia menundukkan kepalanya, menghindar dari tatapan Airlangga yang mungkin saja akan marah karena Adriana melanggar apa yang tadi mereka sepakati.

Airlangga tidak merespons. Laki-laki itu kembali menyalakan mesin mobilnya dan membuat Adriana gelagapan. Demi apa pun, Adriana belum siap bertemu dengan gadis pilihan Airlangga. Apakah dia lebih cantik? Atau lebih anggun?

"Loh! Chef, saya nggak bisa ikut ke Bantul." Perempuan itu menegapkan badan, menghadap Airlangga fokus pada stir di depannya kemudian membelokkan mobil.

"Chef!"

Adriana menarik kencang tangan kiri Airlangga hingga terlepas dari stir mobil. Laki-laki itu sontak menginjak pedal rem dan menatap Adriana dengan sorot tajam seperti yang biasa dia lakukan seminggu terakhir.

"Ma-maaf, Chef! Tapi saya nggak mau ikut ke Bantul."

Airlangga sungguh tidak mengerti kesalahan apa yang sudah ia lakukan, ia mengerutkan kening ketika melihat Adriana tiba-tiba menangis dan terus merengek bahwa ia tidak ingin ikut ke mana Airlangga pergi.

"Siapa yang mau meneruskan perjalanan ke Bantul? Saya akan antar kamu ke rumah sakit agar kamu bisa diperiksa."

Airlangga mencoba memberi pengertian pada perempuan yang duduk sembari menangis di sampingnya. Sedikit tidak mengerti kenapa perempuan itu tiba-tiba menangis.

Teringat akan pesan Ayunda, tidak ada alasan khusus ketika Airlangga membuka seat belt dan tiba-tiba merengkuh tubuh kecil Adriana kemudian menepuk punggung gadis itu dengan tempo pelan.

Tenang, Airlangga. Hujan yang kamu tunggu hentinya itu. Akan reda jika sudah saatnya.

Airlangga tidak tahu simpul apa yang tengah mengikatnya. Namun, semua tentang Ayunda selalu bangkit ketika dirinya dekat dengan Adriana.

sᴇᴍᴏɢᴀ ᴋᴀʟɪᴀɴ ᴘᴀʜᴀᴍ ᴍᴀᴋsᴜᴅᴋᴜ ɴᴜʟɪs ᴅᴇɴɢᴀɴ ɪᴛᴀʟɪᴄ. ᴋᴀʟᴀᴜ ɴɢɢᴀᴋ, ᴀᴋᴜ ʙᴀɢɪ ᴛᴀʜᴜ ᴋᴀʟᴀᴜ ɪᴛᴜ ᴏᴍᴏɴɢᴀɴ ᴀʏᴜɴᴅᴀ ʏᴀɴɢ sᴇʟᴀʟᴜ ᴅɪᴜᴄᴀᴘᴋᴀɴ ᴋᴇ ᴀɪʀʟᴀɴɢɢᴀ.
ᴅᴀɴ ɪᴛᴜ ᴀɪʀʟᴀɴɢɢᴀ ᴛɪʙᴀ-ᴛɪʙᴀ ᴅᴇɴɢᴀʀ, sᴇʀᴜᴘᴀ ɪɴɢᴀᴛᴀɴ ᴍᴀsᴀ ʟᴀʟᴜ ɢɪᴛᴜ :(

ʏᴀᴀ ᴘᴏᴋᴏᴋɴʏᴀ ɢɪᴛᴜ ᴅᴇʜ, ᴀᴋᴜ ᴇᴍᴀɴɢ sᴜᴋᴀ ᴍᴇᴍᴘᴇʀsᴜʟɪᴛ ᴅɪʀɪ sᴇɴᴅɪʀɪ :(

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro