ᴇɴᴀᴍʙᴇʟᴀs

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

ǝTHirëǝl
ᴇᴛʜᴇʀᴇᴀʟᴏᴠᴇ

"Sudah merasa lebih baik?"

Sebuah tanya yang mengudara dari bibir Airlangga membuat Adriana menganggukkan kepala, meski masih mempertahankan keinginan untuk segera keluar dari mobil yang kini terparkir asal di seberang Jalan Parangtritis.

"Kamu sudah sarapan? Mungkin kepala kamu pusing karena belum makan."

Adriana tidak menjawab dugaan Airlangga. Perutnya sudah terisi seporsi nasi pecel lengkap dengan tahu goreng dan telor dadar sebelum bertemu Airlangga di minimarket tadi. Akan tetapi ia harus membuat alasan logis agar perjalanan ke Bantul hari ini batal.

"Atau kamu mau saya antar pulang ke rumah?" Lagi-lagi Airlangga memberikan opsi.

"Saya pulang sendiri saja, Chef," ucapnya dengan nada pelan dan kepala yang masih setia menunduk.

Airlangga menggaruk tengkuk. Mata elangnya menatap sekitar jalan sepi yang mulai disinari terik matahari. Tidak ada penduduk lewat, sementara mobil yang sesekali melintas sudah pasti punya tujuan ke tempat wisata, tidak mungkin ia meninggalkan Adriana sendiri di sini.

"Di mana rumah kamu? Biar saya antar."

"Sa-saya ...."

"Saya tidak menerima penolakan, Adria." Setelahnya Airlangga melajukan mobil ke jalan yang sempat mereka lewati tadi.

"Adriana kamu mau kita mengelilingi kota Yogyakarta seharian atau bagaimana? Ke mana tujuan yang kamu mau?"

"Ma-maaf, Chef." Segera Adriana menegapkan tubuh dan membuka aplikasi maps di handphone-nya. "Kita ke daerah Jakal, ya, Chef."

"Apa tempat itu ada di ujung sana?"

"Maksudnya?" Adriana yang tidak mengerti memasang tampang bingung.

Demi apa pun, jika ditanya siapa orang yang paling menyebalkan di dunia, Airlangga akan dengan lantang menjawab nama perempuan yang kini duduk di sampingnya. Jakal? Bahkan Airlangga baru tahu kalau kata itu adalah nama sebuah daerah.

"Ya terus saya harus bagaimana, Adriana! Apa kamu mau saya menginjak pedal gas tanpa tahu harus melaju ke arah mana?" Berbicara dengan Adriana sungguh menguras emosi Airlangga.

"Ohh ... belok kiri setelah lampu merah di depan, Chef. Rumah saya di Kaliurang, Chef."

Airlangga mengembuskan napas ketika akhirnya Adriana paham dengan apa yang ia maksud. Menginjak pedal gas lebih dalam, Airlangga memacu mobilnya dengan kecepatan 80 KM/jam dan melepas gas ketika sampai di lampu merah.

"Kebetulan sekali. Rumah kakek saya juga di daerah sana."

Adriana mengembangkan senyumnya. Mungkin, dengan membawa Airlangga pada tempat biasa ia menghabiskan liburan bisa membuat Airlangga ingat akan masa kecil mereka.

"Mungkin dulu kita tetanggaan." Adriana mencoba memberi isyarat.

"Dulu? Saya tidak pernah tinggal di Jogja. Jogja buat saya hanya sebuah kampung halaman tempat kakek dan nenek saya tinggal." Airlangga mengedikkan bahunya, tampak tidak acuh dengan topik yang Adriana bawa.

"Tapi pasti Chef Air punya teman atau kenangan manis di sana, 'kan? Kalau Chef pernah liburan ke Jogja. Rumah nenek selalu spesial bukan?" Untuk kesekian kalinya Adriana mencoba membangkitkan kenangan Airlangga. Meski sedikit mungkin itu akan membuat Adriana bahagia karena Airlangga tahu Adriana pernah ada di hidupnya.

"Nggak ada yang harus saya ingat dari kenangan masa kecil. Itu bukan hal penting bagi saya."

Senyum yang sesaat lalu terukir di wajah Adriana mendadak lenyap ketika Airlangga selesai dengan perkataannya. Ada sesak yang menghimpit dada perempuan berusia 22 tahun itu saat mendapati Airlangga bukan lupa tentangnya, tetapi laki-laki itu memang berniat untuk melupakan kenangan itu.

Setelah setengah jam berkendara, mobil yang dikendarai Airlangga berhenti pada toko oleh-oleh yang dikelola oleh Trias. Airlangga mengatakan akan mengantar Adriana ketika urusannya dengan pemilik toko sudah selesai.

Toko yang dikelola Trias kali ini cukup ramai. Ada dua bus berkapasitas 30 orang yang terparkir di halamannya dengan spanduk bertuliskan nama pengajian dari Kota Semarang. Airlangga jalan di depan Adriana, tangannya menarik Adriana ketika ada seorang ibu-ibu bertubuh gempal membawa kardus merk dagang bakpia keluar dari pintu kaca.

Laki-laki itu mengabsen kesibukan karyawan berseragam hijau dengan kerah merah. Dua orang sibuk dengan transaksi belanja sementara yang lainnya sibuk menawarkan penganan oleh-oleh lain pada rombongan pengajian yang datang untuk membeli oleh-oleh.

"Pak, Trias ada?" tanya Airlangga pada seorang bapak yang membawa kotak bakpia yang masih hangat. Pria itu mengerutkan kening, mendengar pertanyaan Airlangga.

"Enten Trias, Pak?" Adriana mengoreksi ketika sadar yang diajak bicara Airlangga tidak mengerti bahasanya.

"Wonten ting wingking." Yang diajak bicara menunjuk pintu kaca buram yang terbuka sedikit. "Sekedap sekedap, niki Mas Airlangga nggeh?"

Airlangga mengangguk. Sejujurnya ia tidak mengerti, tetapi seperti yang terasa itu tentang mengkonfirmasi siapa dirinya. Setelah tahu siapa yang di depannya, bapak tua bertubuh kurus itu membukakan pintu kaca seraya membungkuk sopan pada cucu pemilik tempat tersebut.

Ketika mereka masuk, Trias tengah menempelkan kertas pada tembok putih yang berisi kertas-kertas lain, sementara pegawai duduk berderet dengan tangan yang sibuk mengepak jenang juga bakpia ke dalam kemasan. Laki-laki yang kini memegang kendali penuh atas usaha oleh-oleh itu menengok dan tersenyum ketika melihat siapa yang datang.

"Ana!"

ʜᴀᴘᴘʏ sᴀᴛᴜʀᴅᴀᴛᴇ ᴛᴇᴍᴀɴs!!
ɢɪᴍᴀɴᴀ ᴡᴇᴇᴋᴇɴᴅ-ɴʏᴀ?
sᴇᴍᴏɢᴀ ʜᴀᴘᴘʏ ᴛᴇʀᴜs ʏᴀᴀ!!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro