ᴅᴜᴀ ᴘᴜʟᴜʜ sᴇᴍʙɪʟᴀɴ

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

ǝTHirëǝl
• ᴇᴛʜᴇʀᴇᴀʟᴏᴠᴇ •

Normalnya, perjalanan Malioboro--Bantul dapat ditempuh dengan waktu 45 menit. Maka jika berangkat pukul sembilan pagi, mereka akan memiliki banyak waktu luang untuk mencari alamat yang dituju.

Terkadang Airlangga merasa bodoh saat harus mencari seseorang di daerah yang sama sekali belum pernah ia jamah. Sebelum ini, rencana hidupnya berjalan sempurna. Dengan semua yang sudah dipersiapkan jauh sebelum Airlangga beranjak dewasa, seharusnya kini ia hanya tinggal mengikuti alur kehidupannya tanpa hambatan satu kali pun. Namun takdir berkata lain, dan wanita bernama Retno itu harus menerima balasannya.

"Belok kiri, Chef." Ucapan Adriana seketika mengaburkan pikiran Airlangga.

Airlangga tidak menoleh, dia masih menatap jalan lurus dan menyalakan lampu sign ketika jalan perempatan yang diaba-abakan Adriana kurang dari lima puluh meter. Laki-laki itu memusatkan pandangan pada lampu yang segera berubah hijau saat mobilnya berada di barisan depan.

"Kita lurus terus sejauh sepuluh kilo meter, Chef."

Airlangga tetap bungkam.

"Chef Air kenapa? Ada masalah?" Adriana menatap Airlangga yang tidak juga merespons pertanyaannya.

"Saya tidak terbiasa mengemudi sambil berbicara. Apa itu salah?" Airlangga mengelak. Dia tidak ingin Adriana mengetahui lebih dalam apa yang ia rasakan.

"Nggak salah, Chef. Saya cuma merasa sikap Chef Air hari ini seperti ada masalah. Itu saja."

Suasana dalam mobil hening sejenak, untuk kemudian terdengar helaan napas lelah dari Adriana yang memilih memainkan ponsel, meski hanya sekadar men-scroll laman Instagram.

Jam menunjukkan pukul sepuluh, mobil yang dikemudikan Airlangga sampai di sebuah gapura sederhana setelah melewati Pantai Parangtritis lima belas menit lalu. Ia menepikan mobil, kemudian melongok keluar seolah mencari sesuatu.

Adriana membuka seat belt saat Airlangga mematikan mesin mobilnya. Dia segera membuka pintu dan keluar, menyapa beberapa orang yang duduk di sebuah warung yang menjual sayur.

Airlangga menegapkan tubuh, menatap Adriana yang tengah menunjukkan secarik kertas pada wanita tua berambut putih dari dalam mobil. Ketika Adriana mengulas senyum sebagai tanda terima kasih, tanpa sadar Airlangga ikut mengembangkan senyum, dan sesaat kemudian ia merasa aneh dengan dirinya.

Laki-laki yang berprofesi sebagai chef hotel itu menggeleng, mencoba menghalau pikiran bodoh yang menganggap Adriana adalah seorang gadis cantik. Namun, bukannya membantu, lamunannya justru menyembulkan ingatan saat dia dengan berani mencium kening Adriana.

Jantung Airlangga tiba-tiba mengencang. Membayangkan bagaimana jika Adriana mengetahui apa yang ia lakukan. Saat sedang menganggap dirinya bodoh dan berpikir berlebihan tentang ketakutan yang belum tentu terjadi, sentakan Adriana membuat Airlangga terlonjak karena tiba-tiba gadis itu berada tepat di samping kaca mobilnya yang terbuka.

Adriana melebarkan mata karena mendapat respons yang berlebihan dari Airlangga.

"Chef Air kenapa?" tanyanya dengan raut wajah bingung yang kentara.

"Saya? Nggak apa-apa. Iya, nggak apa-apa," jawab Airlangga sembari memalingkan wajahnya.

"Nggak apa-apa bagaimana, Chef? Saya panggil Chef Air dari tadi loh!"

Airlangga tidak begitu mendengarkan ketika Adriana berbicara, fokusnya justru pada bibir ranum Adriana yang bergerak lincah ketika mengomel.

"Chef!"

"Iya?" Airlangga jadi ling-lung. Kenapa ia justru terlihat bodoh sekarang.

"Itu rumahnya sudah ketemu. Mau turun nggak?"

"Ahh ... sebentar." Airlangga menaikkan kaca mobilnya dan membuka seat belt. Ia turun dari mobil setelah memastikan ia memarkirkan mobilnya dengan benar.

"Nyebelin banget!"

Airlangga berdeham ketika mendengar gerutu Adriana perihal dirinya. Jangankan Adriana, bahkan Airlangga sendiri tidak mengerti apa yang terjadi dengan dirinya.

Seperti ada sebuah rasa lain yang tidak dapat ia definisikan ketika bersama Adriana. Seperti contohnya semalam, tiba-tiba saja tangannya bergerak mengambil ponsel dan menghubungi Adriana tanpa tahu apa yang ingin ia bicarakan dengan perempuan itu.

Sempat menduga bahwa kini hatinya tengah diusik oleh sebuah kehadiran rasa yang selama ini tidak pernah ia alami. Airlangga kemudian membuat pertahanan khusus. Tidak, hatinya tidak boleh jatuh pada Adriana. Bukan itu tujuan Airlangga menapaki jejaknya di Kota Jogja.

Airlangga kamu mulai berpikiran yang tidak-tidak yaa 😠😠
Tapi bagaimanapun kamu buat pertahanan, tetap kehendakku sih yang menentukan hehehehe ...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro