ᴅᴜᴀ ᴘᴜʟᴜʜ ᴅᴇʟᴀᴘᴀɴ

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

ǝTHirëǝl
• ᴇᴛʜᴇʀᴇᴀʟᴏᴠᴇ •

Sejak kejadian ribut-ribut di kitchen tempo hari, tidak ada satu pun pesan atau pernyataan dari mulut Airlangga akan kelanjutan rencana mereka pergi ke daerah Pantai Parangtritis. Kendati demikian, Adriana tetap bersiap, mulai dari memilih baju paling nyaman, parfum apa yang digunakan, pun tidak ketinggalan menyetel alarm di pukul lima pagi.

Namun, dalam percobaan tidur yang ke empat Adriana mengacak-acak rambut yang kini kusut, sedikit kesal karena pagi kali ini datang terasa lebih lama dari biasanya. Ia tidak dapat tidur, rasanya menyebalkan ketika menunggu sesuatu yang tidak pasti seperti Airlangga.

Ia menghela napas panjang setelah memutuskan untuk menyerah pada percobaan tidur. Kali ini, Adriana membawa tubuhnya pada lemari berbahan plastik dan mengambil satu buah tas tangan kecil berwarna putih yang warnanya sudah mulai menguning.

Di sana tersimpan banyak foto kebersamaannya sewaktu kecil bersama Airlangga. Ia ingat, dulu setiap liburan sekolah Airlangga tidak pernah absen datang ke Jogja. Setidaknya, selama satu minggu mereka akan menghabiskan waktu bersama dengan berbagai cerita yang Airlangga bawa dari ibu kota.

Akan tetapi itu semua terhenti ketika Airlangga masuk ke sekolah menengah pertama. Ia mulai memiliki banyak teman, dan melupakan Adriana. Saat Ayunda dan Abikara datang ke Jogja, jawaban keduanya selalu sama, Airlangga menolak ikut ke Jogja dan memilih liburan bersama teman-temannya.

Kenyataan itu membuat hati Adriana sakit sebetulnya, tapi ia percaya bahwa suatu saat Airlangga akan kembali ke Jogja dan mengingat Adriana sebagai seseorang yang pernah ada di hidupnya.

Sekelebat memori menyeret pada sebuah rasa sesak yang entah dari mana munculnya. Perlahan, air matanya meluruh kala mengingat sikap dingin Airlangga sekarang ini. Bukan sebuah kekecewaan, melainkan ada rasa malu dan tidak pantas ketika membayangkan dirinya bersanding dengan sosok Airlangga yang sekarang.

Dering ponsel memutuskan lamunan Adriana. Dengan cepat tangannya menghapus jejak-jejak air mata dan mengambil gawai yang ia letakkan di atas kasur.

"Saya ganggu kamu, Adria?"

"Nggak, Chef." Adriana menetralkan suaranya yang sedikit sumbang karena menahan tangis.

"Kamu menangis? Ada hal yang buat kamu menangis?"

"Nggak, Chef. Saya cuma ngantuk saja, juga sedikit flu."

Adriana mengambil posisi menyender pada kasur yang hanya muat satu orang di indekosnya. Tangan kirinya memegang ponsel, sementara tangan kanan masih menatap lamat foto dirinya yang digendong belakang oleh Airlangga.

"Kalau begitu lebih baik kamu istirahat, Adria. Kita batalkan saja rencana besok pagi."

"Pagi ini, Chef." Adriana mengoreksi.

Perempuan itu menatap jam di atas meja belajarnya yang menunjukkan pukul dua pagi. Akan tetapi, rasa kantuk belum juga datang menyapa mata.

"Sebetulnya malam ini saya tidak bisa tidur, Adriana."

Airlangga tiba-tiba membuka percakapan. Meski terdengar nada ragu, agaknya Adriana merasakan bahwa Airlangga berkata jujur kali ini.

"Kenapa, Chef?" tanyanya sembari bangun dari duduk dan kembali ke tempat tidur.

"Entahlah. Sepertinya saya butuh dongeng pengantar tidur." Dan sebuah kekehan terdengar mengalun pelan.

"Mungkin Chef Air hanya butuh tenang. Kata ibu saya, tenang bisa membuat kita lebih nyaman melakukan apa pun."

"Saya rasa ibu kamu benar." Airlangga setuju akan kata-kata yang disampaikan oleh Adriana.

"Tapi anaknya selalu salah di depan Chef Air, 'kan?"

"Yeah ... Seharusnya ibu kamu yang melamar menjadi cook helper, bukan kamu."

"Ibu saya nggak akan tahan sehari dengan teriakan Chef Air." Adriana mencoba mengunggulkan dirinya dibanding sang ibu. Jika perihal Airlangga, Adriana tidak mau bersaing, bahkan dengan ibunya sekali pun.

Airlangga hanya membalas dengan derai tawa. Setelahnya tidak ada suara lain dari speaker telepon selain suara napas halus Airlangga. Adriana mematikan sambungan dan meletakkan ponselnya di samping bantal.

Ini aneh, tetapi seusai berbicara dengan Airlangga sebentar, Adriana merasa sedikit lebih lapang dan kantuk mulai menyapanya.

Tanpa Adriana tahu, simpul tak terlihat mulai bekerja padanya dan Airlangga, hingga mereka dapat menikmati malam tanpa dibebat gelisah.

Sementara di tempat lain, untuk pertama kalinya Airlangga memejamkan mata dengan senyuman terpatri di wajahnya.

Seriusan ini tanggal 28? Demi apa, aku belum bolos nulis setelah tanggal 28?

Yeayy!! Aku mau ngucapin selamat dulu untuk diriku sendiri hehehehee ...

Btw makasih banget buat kalian yang masih stay baca dan dukung aku, kayaknya tuu aku makin semangat aja gitu heheheee ...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro