limapuluh sembilan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

ǝTHirëǝl
• ᴇᴛʜᴇʀᴇᴀʟᴏᴠᴇ •

"Adriana kamu apa-apaan?"

Arum berseru dan memegangi Adriana yang sejak melihat Airlangga tidak berhenti memukulkan nampan ke wajah Airlangga. Wanita paruh baya itu menjauhkan Adriana, tetapi putri sulungnya itu seolah tidak peduli dengan perkataan sang ibu tetap memukul Airlangga sembari menangis.

"Kamu jahat! Aku benci sama kamu! Kenapa kamu nggak mau hilang dari hati aku!" Adriana berteriak di depan Airlangga, tidak memedulikan sama sekali keberadaan Arum, Abikara maupun Trias yang berlari masuk saat mendengar Arum berteriak.

Abikara memutuskan diam, ia menarik Arum agar tidak ikut campur dengan masalah keduanya.

"Kamu itu jahat, sombong, belagu, nyebelin! Tapi kenapa kamu nggak mau juga hilang dari hati aku. Aku capek, capek mengharap kamu yang selalu ... selalu menyebalkan." Adriana kehilangan kata-katanya.

"Maaf, Adriana."

"Kamu itu selalu seenaknya sendiri, semaunya sendiri tanpa peduli bagaimana perasaan aku, Lang." Adriana meremat baju bagian depan Airlangga. "Apa boleh aku juga bersikap semauku sama kamu?"

Tepat ketika Airlangga mengangguk, Adriana menarik bajunya agar lebih rendah, mencium bibir laki-laki yang ada di depannya, sekali lagi tanpa memedulikan siapa yang ada di sekitar mereka. Tidak mendapat respons yang berarti, Adriana memberanikan diri menyesap bibir bawah Airlangga sebelum melepaskan ciuman itu.

Airlangga menatapnya tanpa berkedip, sepertinya laki-laki itu tidak akan pernah terbiasa dengan sikap spontan Adriana.

"Kenapa? Kamu saja sering bersikap seenaknya sama aku, kenapa aku nggak boleh?" Air mata masih mengalir pelan dari kedua mata Adriana.

"Bu-bukan itu masalahnya." Airlangga jadi gagap, disaksikan sang ayah dicium seorang gadis bukanlah hal yang Airlangga inginkan. Harga dirinya sebagai pria jatuh ketika Abikara memalingkan wajah, seolah tidak melihat apa yang baru saja Adriana lakukan.

Airlangga harus mempertahankan harga dirinya, ia menarik tengkuk Adriana dan kembali menyatukan bibir mereka. Adriana memejamkan mata, dan mengaitkan tangannya, memeluk Airlangga hingga suara deheman Trias menginterupsi.

"Sudah? Kalau belum lebih baik aku tunggu di luar, karena di sini panas." Trias berkomentar. Ekspresi wajahnya dibuat-buat seperti tengah meremehkan Airlangga.

Adriana menyembunyikan wajahnya pada dada Airlangga saat tahu Trias memergokinya. "Kamu nggak bilang kalau datang ke sini sama Mas Trias." Adriana berbisik.

Airlangga mendengkus. "Apa demam kamu terlalu tinggi hingga berhalusinasi?"

Adriana memasang tampang bingung, Airlangga menunjuk ke belakang punggung Adriana dengan dagu, dan Adriana mendapati Abikara yang menahan tawa serta Arum yang menyorot tajam ke arahnya. Rupanya perempuan itu tidak sadar jika ada Abikara di sana.

Ia menunduk, kemudian berjalan mundur perlahan sebelum berlari masuk ke kamar dan menguncinya. Airlangga tertawa melihat kelakuan Adriana, perempuan itu adalah perempuan paling unik yang pernah Airlangga temui.

"Anak itu benar-benar." Arum berkomentar seraya memijat pelipisnya.

"Maaf, Budhe, mungkin ini bukan waktu yang tepat, tapi Airlangga mau meminta izin untuk segera menikahi Adriana." Airlangga berujar mantap di hadapan Arum.

"Kamu mau melamar Adriana?" tanya Arum sedikit tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Air mata menetes di kedua matanya, hatinya diliput bahagia ketika mengetahui Adriana akan dapat meraih cita cinta yang selama ini ia dongengkan pada Arum.

Airlangga mengangguk.

"Tapi Airlangga, kami cuma keluarga sederhana."

"Arum." Abikara memeringatkan. "Sudah berapa kali aku bilang jangan pernah bicara dan beranggapan seperti itu. Sejak dulu kita keluarga dan akan selalu seperti itu."

"Iya, Budhe. Sahabat mama berarti ibu aku. Mungkin aku punya banyak salah di masa lalu, tapi aku akan berusaha menjadi lebih baik ke depannya. Tolong beri aku kesempatan untuk membuktikan tekadku ini."

Arum mengangguk, menghapus jejak air mata dari wajahnya dan menerima pelukan Airlangga.

Trias mengulas senyum bahagia, tidak ada sama sekali penyesalan di hatinya ketika merelakan seseorang yang ia cintai bahagia bersama Airlangga. Sejak awal, Trias tahu dia sudah kalah, jadi ia sudah menyiapkan hati untuk segala kemungkinan terbaik ini.

Simpul takdir mungkin tidak berpihak pada Trias kali ini, ia dilahirkan untuk sering mengutuk oleh semesta, menangisi kepedihan karena terlahir tidak diinginkan. Namun, apakah ia akan menyerah pada garis takdir itu dan membiarkan hatinya membusuk oleh kemarahan? Jawabannya tidak, karena meski tidak menang dalam permainan takdir kali ini, nyatanya ia tetap bisa mengendalikan permainan hingga akhir dan belajar untuk permainan berikutnya. Itu sudah cukup.

****

"Katanya mau kerja? Sudah sana kerja saja." Airlangga mengusir Trias yang duduk di bangku kayu di dapur rumah Arum.

Setelah membujuk Adriana keluar dari kamar dan berjanji akan menjamin ia selamat dari omelan Arum, Airlangga menemani Adriana untuk menghabiskan sarapannya. Trias ikut makan, mencomot lauk yang dibuat Arum untuk sarapan tanpa memedulikan usiran Airlangga.

"Aku bosnya di sana, jadi sebelum digantikan kamu aku mau bersikap seenaknya di sana." Trias berucap asal. ia mencomot tahu goreng dan mencelupkannya pada kecap yang sudah dibumbui potongan cabe juga bawang.

"Gue nggak akan ada ngambil posisi lo, Mas." Airlangga berucap pelan. "Bahkan gue mau ajukan penawaran kalau lo mau?"

"Penawaran apa? Kamu mau jual beli harta warisan? Eling, Lang. Eyang masih hidup kamu sudah mikir harta warisan saja."

Airlangga memutar bola matanya secara malas. Mendengar ucapan Trias membuat Airlangga merasa dirinya tidak ada baiknya sama sekali di mata Trias. Ia tidak menjawab, selesai Adriana makan, Airlangga mengajak Trias kembali ke ruang tamu, ia keluar, dan kembali dengan berkas yang mereka semua tidak tahu apa isinya.

"Ini, Mas."

Trias menerima map biru yang disodorkan Airlangga. "Apa ini?"

"Uang," jawab Airlangga sekenanya.

"Ya masa daun pisang." Trias membalas jengkel. Sedikit tidak mengerti dengan maksud Airlangga memberikan rekening koran miliknya. "Maksudnya kamu mau pamer punya uang banyak begitu?"

"Mas gue di mata lo nggak ada baik-baiknya, ya?" Airlangga jengkel sendiri, sejak tadi Trias selalu berburuk sangka padanya.

"Uang itu uang Papa, gue bilang semalam kalau lo punya rencana untuk ngembangin toko oleh-oleh dan Papa setuju uang itu digunakan untuk ngembangin bisnis keluarga kita. Kita akan kerja sama, lo bagian administrasi dan gue operasional, bagaimana?"

"Maksudnya kamu mau bantu aku ngembangin usaha rumahan kita jadi lebih besar?" Trias tidak percaya dengan apa yang ia dengar dari Airlangga. Namun, sesaat senyumnya pudar. "Aku, 'kan, nggak ngerti bisnis besar, Lang. Kalau gagal bagaimana?"

"Belajar dulu dong! Selagi gue persiapin pernikahan, lo belajar dulu sama ahlinya."

"Masa aku harus sekolah lagi?" Trias menggaruk tengkuknya.

"Ada Papa yang ngajarin lo, Mas. Gue kasih waktu satu tahun, lo ikut Papa ke Jakarta."

"Kamu becanda, 'kan, Lang?"

"Sama sekali nggak."

"Mulai sekarang, panggil papa, ya?" Abikara bersuara.

Trias mengangguk kaku, impiannya mendapat orang tua sebaik Abikara akhirnya dapat terwujud. ia bergerak mendekati Abikara, memeluk laki-laki itu dan mengucapkan banyak-banyak kalimat terima kasih.

Airlangga tersenyum, ia menoleh ke arah Adriana dan meregangkan tangannya, gayung bersambut, Adriana mengisi tangan Airlangga dengan tangan kecilnya, mengulas senyum tipis pada laki-laki yang mulai hari ini, esok dan seterusnya akan mengisi hari-harinya.

"Aku senang kamu mau berbagi milik kamu sama Mas Trias." Adriana berbisik di telinga Airlangga.

"Iya, karena hanya itu yang bisa aku lakukan setelah semua yang Mas Trias lakukan untuk aku juga kamu." Airlangga menggenggam tangan Adriana. "Tapi kamu nggak boleh dekat-dekat lagi sama Mas Trias, aku cemburu."

"Kenapa?" tanya Adriana.

"Nggak apa-apa, hanya saja aku nggak rela bagi-bagi."

Adriana mencubit pinggang Airlangga. "Memang aku cokelat!"

"Kalau kamu cokelat nanti meleleh." Sekali lagi Adriana mencubit pinggang Airlangga kala mendengar jawaban laki-laki itu.

Ia menggandeng tangan Adriana, keluar rumah dan duduk di bawah pohon seperti memori lima belas tahun lalu.

"Maaf karena terlambat." Airlangga menggenggam tangan Adriana.

"Setidaknya kamu kembali, Lang."

"Tanpa sadar, ada satu buah simpul yang membuat aku kembali ke tempat ini. Rasa cinta aku sama mama, membawa aku kembali menapaki langkah di kota ini dan kamu menyambungnya dengan usaha bertemu aku. Terima kasih sudah berusaha sejauh ini."

Adriana memeluk tubuh Airlangga. Usahanya tidak sia-sia, seperti sebuah bintang, Ayunda membantu Adriana mengantarkan Airlangga pada rumah yang lama ia tinggalkan. Meski bintang itu telah tiada, nyatanya Airlangga tidak pernah tersesat, ada bintang utara yang tidak terlihat, ia diam, menunggu, untuk waktu yang lama, hingga tiba waktunya menampakkan diri di hadapan Airlangga.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro