ʟɪᴍᴀᴘᴜʟᴜʜ ᴅᴜᴀ

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

ǝTHirëǝl
• ᴇᴛʜᴇʀᴇᴀʟᴏᴠᴇ •

Kamar luas Airlangga terasa lengang. Adriana mengerjapkan matanya beberapa kali, mencari keberadaan Airlangga yang absen dari ruangan tersebut.

Hal yang terpikirkan Adriana saat ini bukanlah perihal peristiwa tadi malam, itu adalah pilihannya, membuat satu buah memori untuk ia simpan entah sampai kapan. Melainkan absennya Airlangga dari ruangan yang masih gelap tersebut.

Ke mana Airlangga?

Adriana melirik jam kotak digital yang ada di atas nakas tengah menunjukkan pukul empat pagi. Ia bergerak turun dari kasur, sedikit meringis karena nyeri yang ia rasakan. Tangannya menggapai pembatas lantai dua dan mencari keberadaan Airlangga di bawah, bibirnya mengulas senyum ketika mendapati Airlangga berada di dapurnya.

"Sepagi ini?" tanya Adriana ketika menghampiri Airlangga yang tengah sibuk dengan pan berisikan makanan setengah jadi.

"Ada tamu dari acara gathering perusahaan, breakfast harus selesai lebih pagi dari biasanya." Airlangga mematikan kompor, mengambil roti pada toaster kemudian meletakkannya pada piring yang sudah ia siapkan.

"Aku bantu?"

"Nggak perlu, ini sudah selesai." Airlangga membawa dua piring pada meja makan dengan kaca transparan yang hanya muat untuk dua orang. "Teh atau susu?"

"Kopi?" Adriana balik bertanya.

"kafein nggak baik untuk sarapan." Airlangga menyanggah.

"Teh juga mengandung kafein."

"Aku nggak punya kopi."

"Kenapa?"

"Nggak minum kopi."

"Kenapa?"

"Nggak suka."

"Kenapa?"

"Aku punya masalah dengan acid reflux, dan jangan tanya kenapa lagi." Airlangga memeringatkan.

Adriana menahan tawa ketika mendapati wajah Airlangga yang seperti tengah merajuk padanya. Hanya sepersekian detik, tawanya lenyap, diganti dengan tatapan nanar ke arah Airlangga. Matanya mengabsen setiap bagian wajah Airlangga, mata elang yang kerap menatapnya tajam, bibir merah penuh yang kerap berdecih, serta suaranya yang mungkin akan Adriana rindukan setelah ini.

"Aku ... mandi dulu kalau begitu, aku juga harus siap-siap, 'kan?"

"Siap-siap apa?" Airlangga menahan pergelangan tangan Adriana.

"Kamu bilang akan ada pesanan hari ini?"

"Memang, karena itu aku nggak mau kamu ada di sana. Kamu di sini saja untuk satu hari ini. Setelah tadi malam ... aku nggak yakin kamu akan lolos dari masalah di dapur pagi ini. Jangan masuk ke dapurku pagi ini." Airlangga mengecup cuping telinga Adriana.

"Ya sudah, tapi aku harus tetap mandi."

"Setelah kamu habiskan sarapan."

"Ini baru jam empat pagi, Lang." Adriana mengeluh.

"Makan, mandi kemudian kamu bebas melakukan apa pun yang kamu mau?" Airlangga menawarkan pilihan.

"Oke." Adriana pasrah saja.

Makan dengan minus keributan itu selesai dalam beberapa menit. Makanan yang dibuat Airlangga tidak pernah gagal membuat Adriana makan banyak, roti panggang butter gurih dengan after taste manis membuat Adriana penasaran atas apa yang membuatnya terasa manis.

Tidak ada percakapan berarti setelah Adriana menuntaskan mandinya, Airlangga sudah hampir terlambat untuk berangkat karena jam sudah menunjukkan pukul lima kurang limabelas menit.

"Airlangga kamu bisa pulang lebih cepat hari ini?"

"Kenapa?"

"Ada hal yang mau aku bicarakan."

Airlangga mengangguk saja, seulas senyum tersimpul di wajahnya ketika menatap wajah Adriana yang tersenyum ke arahnya. "Pastikan kamu sambut aku di rumah."

Setelahnya Airlangga mengambil kunci mobilnya, meraih kenop pintu sebelum ia kembali berbalik dan mengecup kening Adriana dengan lembut. "Mungkin jika pagi ini akan terulang terus menerus aku akan jadi laki-laki paling bahagia. Aku pergi dulu, Nyonya Airlangga."

"Jangan bercanda." Adriana mendorong Airlangga agar keluar dari rumah itu dan menutupnya agar Airlangga tidak kembali menggodanya.

Adriana sendiri hanya butuh waktu satu jam untuk membereskan seisi rumah Airlangga. Rumah itu tidak begitu luas, hanya ada satu ruangan di bawah yang terpisah sekat antara dapur dengan ruang tamu, sementara lantai dua hanya ada kamar pribadi Airlangga yang tidak begitu banyak benda.

Adriana meraih kaus putih yang semalam dikenakan Airlangga sesaat sebelum ia melepaskannya. Ada sesak yang timbul kala mengingat kejadian malam itu, Adriana duduk, mencium aroma Airlangga dari kaus yang ia genggam sebelum melipatnya dan memasukkannya pada tas yang biasa ia bawa.

Airlangga tidak akan sadar jika kehilangan satu kausnya bukan?

****

Suatu hari Ayunda pernah bertanya, "Perempuan seperti apa yang Airlangga inginkan untuk dinikahi?"

Airlangga hanya menggeleng pelan, tenggelam dengan pikirannya sendiri hingga sekelebat bayangan seorang gadis kecil memenuhi memorinya. Apakah perempuan yang tidak dapat mengendarai sepeda termasuk dalam kata 'seperti' yang Ayunda maksudkan?

Namun, kini Adriana hadir, Airlangga tidak tahu Adriana seperti apa untuk menjawab pertanyaan Ayunda saat itu, tetapi kehadiran Adriana agaknya sudah cukup menjadi 'seperti yang Airlangga inginkan' untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan padanya.

Aji Saka menginterupsi Airlangga, laki-laki itu mengingatkan bahwa Airlangga tadi berpesan jika ia ingin pulang lebih cepat karena ada keperluan yang mendesak. Airlangga mengangguk, mengucapkan terima kasih pada Aji Saka yang sudah mengingatkannya akan janji.

Airlangga berpesan pada seluruh staff kitchen untuk memastikan pekerjaan mereka tidak akan ada masalah dan segera menelepon Airlangga jika ada hal penting yang ingin dibahas. Seluruh staff kitchen mengangguk patuh, beberapa saling tatap ketika Airlangga meninggalkan kitchen utama, tetapi Airlangga tidak peduli, toh pekerjaannya sudah lebih santai dari sebelumnya.

Mobilnya terparkir sempurna, setelah mengabari Adriana bahwa ia sudah akan sampai di rumah. Sempat mampir ke minimarket, Airlangga harus mengisi kulkasnya dengan beberapa bahan makanan untuk dirinya dan Adriana yang tengah menunggu.

"Sudah pulang?"

"Kamu minta aku pulang lebih cepat tadi pagi. Ada apa?" Airlangga meletakkan dua reusable bag yang masing-masing berisikan camilan juga bahan frozen food.

Adriana membantu Airlangga memasukkan daging juga ayam ke dalam freezer dan menyimpan telur pada bagian sisi pintu lemari pendingin.

"Kamu mandi dulu, Lang."

"Apa yang mau kamu sampaikan ke aku tadi pagi?" Airlangga menuntut, laki-laki itu menggiring Adriana duduk pada bangku yang ada di meja makannya.

"Setelah aku pikir-pikir, lebih baik kita sudahi semua ini, Lang."

"Sudahi apa?" Airlangga mengerutkan kening tanda bingung.

"Semuanya. Hubungan kita, sepertinya sudah nggak bisa dilanjutkan lagi."

"Apa? Kamu bercanda, Adria?" Airlangga setengah tertawa, ia membuka botol air mineral yang ia beli dari minimarket dan menenggaknya kasar. Mendengar ucapan Adriana agaknya membuat tenggorokan Airlangga tercekat.

"Nggak. Aku nggak bercanda. Sejujurnya selama ini aku hanya penasaran sama kamu, kamu putra tunggal keluarga Sangaji, tapi kamu terlalu mudah untuk aku. Aku bosan, Lang." Adriana berucap dengan datar, ia membuka kaleng minuman vitamin C yang Airlangga beli dan menyesapnya perlahan, sedikit mengernyit ketika soda masuk ke tenggorokannya.

"Aku nggak paham maksud kamu." Airlangga menggeleng pelan.

"Aku nggak punya maksud, Lang. Aku hanya ingin semua ini selesai."

"Tapi kenapa?" Airlangga menekan kata-kata, menuntut jawaban. Botol air mineral di genggamannya kempes karena remasan tangannya, membuat sisa air keluar membasahi tangan dan paha Airlangga. "Apa karena aku akan melepaskan nama Sangaji di belakang namaku? Kamu mau aku tetap memakai nama Sangaji? Itu yang kamu mau?"

Mata Airlangga memerah. Otaknya terus bertanya kenapa Adriana mengatakan hal-hal yang tidak ingin ia dengar? Jika ini hanyalah kebohongan, Airlangga akan sangat marah dengan perempuan yang ada di depannya.

"Tanpa nama itu kamu hanya Airlangga. Kamu bukan siapa-siapa."

Airlangga terkekeh. Laki-laki berusia 28 tahun itu mendekatkan kursi yang ia duduki pada Adriana dan menggenggam tangan Adriana. "Kamu bercanda, 'kan? Bilang kamu bercanda, aku nggak suka kamu bercanda seperti ini, Adria."

"Kamu terlalu mudah untuk aku, Lang."

"Mudah?" Airlangga menekankan kata itu dengan nada kurang percaya.

"Nggak ada lagi hal yang mau bicarakan sama kamu. Sebaiknya aku pergi, dan ingat. Besok aku harap kita bisa profesional di tempat kerja. Sore, Lang."

Adriana bangkit dan mengambil tas yang ia letakkan di sofa. Ketika ia hendak meraih gagang pintu, dengan cepat Airlangga menahan agar pintu itu tidak terbuka. "Jangan bercanda seperti ini, Adriana."

"Aku nggak bercanda!" Adriana setengah berteriak ketika melepaskan pegangan Airlangga pada tangannya.

"Setelah semalam kita melakukannya? Setelah malam-malam sebelumnya dan sekarang kamu bilang kamu bosan?" Airlangga terkekeh. "Nggak mungkin! Pasti ada hal yang memicu kamu bersikap seperti ini."

"Kalau ada, apa aku punya kewajiban memaparkannya sama kamu?"

"Iya tentu!"

"Kalau begitu pilih. Aku dengan keluarga Sangaji, atau tidak sama sekali?"

Airlangga memasang tampang bingung. Apa maksudnya?

"Kita buat simpel, Airlangga. Dengan kamu sebagai Sangaji kamu bisa mengubah kondisi ekonomi keluarga aku." Mata Adriana memerah, sulit sekali menahan air mata ketika melihat wajah pias Airlangga.

Sementara Airlangga menurunkan bahunya, ia melepas pegangan tangan Adriana dan membuka pintu rumahnya lebar.

"Pergi dan jangan pernah injakkan kaki kamu di tempat ini lagi mulai hari ini." Airlangga menatap tajam Adriana. Matanya yang sejak tadi memerah perlahan menurunkan air mata. "Kalau kamu dekat dengan aku hanya karena nama si brengsek itu, aku dengan senang hati melepas kamu pergi."

Suara Airlangga terdengar kaku, tangannya yang mencetak guratan hijau samar terangkat pelan, mendorong bahu Adriana agar segera keluar dari rumahnya.

Ketika suara motor Adriana terdengar menjauh Airlangga menjatuhkan lututnya ke lantai, bersandar pada pintu yang senantiasa terkunci. Perlahan, kekehan keluar dari bibirnya meski terdengar sumbang. Bahkan Adriana yang mulai ia percayai menyimpan hal lain dalam niatnya dekat dengan Airlangga. Siapa lagi yang harus ia percaya sekarang?

"Siapa lagi yang harus Elang percaya sekarang, Ma? Aku butuh mama sekarang?"

Dan pada akhirnya hanya Ayunda-ibunya-yang dapat Airlangga percaya.

ᴅɪ ʙᴀʙ ɪɴɪ ᴀᴋᴜ ʙᴀʀᴜ sᴀᴅᴀʀ ᴛᴇʀɴʏᴀᴛᴀ ᴀɪʀʟᴀɴɢɢᴀ ᴛɪᴘᴇ sᴜᴀᴍɪ ɪᴅᴀᴍᴀɴ, ᴅɪᴀ ʏᴀɴɢ ʙᴇʟᴀɴᴊᴀ, ᴅɪᴀ ʏᴀɴɢ ᴍᴀsᴀᴋ ᴅᴀɴ ᴅɪᴀ ᴊᴜɢᴀ ʏᴀɴɢ ᴋᴇʀᴊᴀ ᴡᴋᴡᴋᴡᴋᴡᴋ...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro