ʟɪᴍᴀᴘᴜʟᴜʜ ᴇᴍᴘᴀᴛ

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

ǝTHirëǝl
• ᴇᴛʜᴇʀᴇᴀʟᴏᴠᴇ •

Airlangga tidak banyak berpikir setelah percakapannya dengan Aji Saka, Arial, dan Taufik kemarin. Ia hanya menunggu, jatah liburnya datang besok setelah Taufik.

Kondisinya juga perlahan lebih baik dari seminggu kemarin, laki-laki itu terlihat lebih energik, aura positif yang dikeluarkan tanpa sadar membuat suasana kitchen utama d'Amore hotel menjadi lebih nyaman dibandingkan lima bulan lalu. Ini bulan ke enam, seharusnya ini menjadi titik balik Airlangga memilih, akan tetap di d'Amore Hotel atau pergi dari sini.

Hari ini bahkan laki-laki yang berprofesi sebagai CDC itu menanggapi sapaan Gama yang kelewat absurd.

"Hyung!" Gama berseru ketika mendapati Airlangga baru kembali dari lantai lima. Bukan hanya Adriana, tetapi Niur, Nindya, Rizal juga beberapa staff kitchen lain termasuk Haris, sang kepala pelayan hampir saja menjatuhkan rahang ketika mendengar seruan Gama.

Aji Saka bergerak memukul pundak Gama dengan penjepit stainless yang tengah ia genggam. "Kalo ngomong jangan sembarangan! Kamu pikir Chef Air itu Rizal!"

"Hyung?" Airlangga merespons.

"Hyung dalam bahasa Korea artinya kakak, Chef." Gama berucap bangga, ia ingin memamerkan kedekatannya dengan Airlangga pada Rizal yang kerap mengejeknya sebagai anak bawang.

"Berarti hari ini kamu jadi asisten pribadi saya, ya?"

Respons kelewat tenang itu membuat kegiatan di kitchen d'Amore hampir saja terhenti. Entah apa yang terjadi pada Airlangga, tetapi Gama terlihat lebih akrab dengan CDC berusia 28 tahun itu.

"Siap, Chef!" Gama memberikan hormat, kemudian menatap seluruh staff yang berada di station masing-masing. "Attention!"

Airlangga tertawa mendengar seruan Gama yang menggantikannya. Namun, tawa itu seketika lenyap ketika matanya bertemu dengan Adriana yang berada di samping Nindya, diganti dengan ulasan senyum guna mengartikan bahwa ia tengah merasa baik dan akan berusaha menjadi yang terbaik untuk Adriana kelak.

"Saya jadi asisten Chef Air ada bayaran khususnya nggak, Chef?" tanya Gama dan itu membuat Aji Saka semakin jengkel karena menganggap Gama sudah kelewatan memanfaatkan situasi.

Airlangga sedikit berpikir sejenak, sementara staff lain yang sudah berkumpul di station utama ikut menunggu jawaban Airlangga. Apakah setelah ini Gama akan mendapat kenaikan gaji? Atau justru di lempar dari rooftop lantai sembilan?

"Saya tidak ingin ada masalah untuk satu hari ini. Jika kalian semua dapat menyelesaikan semua pesanan dengan baik dan lebih cepat dari biasanya, bagaimana jika makan siang kali ini saya yang turun tangan untuk kalian?"

Airlangga teringat akan omongan Adriana yang mengatakan bahwa beberapa staff pernah berharap setidaknya satu kali dapat mencicipi makanan yang dibuat oleh Airlangga.

"Chef Airlangga serius?" Rizal ikut bersuara. "Apa saya juga termasuk?"

Airlangga menangguk. "Kalian siap?"

"Yes, Chef!"

Seruan itu terdengar lebih lantang dari biasanya, mereka semua bekerja dengan kondusif meski tempo cepat masih dipertahankan. Aji Saka beberapa kali meminta pendapat Airlangga, begitu juga Rizal dan Gama. Niur serta Nindya tidak lagi menundukkan kepalanya ketika berpapasan dengan Airlangga.

Seandainya saja sikap ini yang diberikan Airlangga lima bulan lalu, mungkin mereka akan tidak terbiasa dengan tempo cepat dan bekerja dengan keakuratan. Namun, sifat Airlangga yang melunak sekarang ini agaknya menjadi sebuah bonus atas kerja keras mereka selama ini.

Sementara Adriana?

Sejujurnya Adriana bergerak tidak nyaman, melihat senyum Airlangga rasanya ingin sekali ia menghampiri laki-laki itu dan mengatakan bahwa ia merindukan pelukannya. Namun, itu tidak akan dapat ia lakukan karena janjinya pada Abikara.

****

Airlangga mengembuskan napas untuk kesekian kalinya, jantungnya berdegup kencang dengan tangan yang sesekali ia keringkan dari keringat yang terus merembes di telapaknya.

Hari ini hari libur dan sesuai saran Aji Saka, Airlangga berniat mendatangi rumah ibu Adriana karena Adriana hari ini tidak ada di indekosnya. Di perjalanan laki-laki itu sempat memikirkan pertanyaan Taufik ketika makan malam saat itu. Perubahan sikap Adriana jelas setelah Adriana pulang ke rumah ibunya yang bertepatan dengan Airlangga mengatakan rencananya pada Trias.

Airlangga jadi ingat sudah satu minggu ini ia tidak mendapat pesan sama sekali dari Trias mau pun Abikara. Meski Airlangga tidak menunggu, tetapi aneh saja jika sepupunya itu tidak cerewet seperti biasanya.

Airlangga memarkirkan mobilnya pada tempat parkir toko oleh-oleh, mengambil reusable bag berisikan bingkisan yang ia beli di perjalanan untuk Ibu Adriana, kemudian masuk untuk mencari Trias.

"Trias ada?" tanya Airlangga pada salah satu pegawai yang kini mengenakan pakaian merah-hijau. Sempat menggeleng pelan, Airlangga tidak habis pikir dengan Trias yang memilih seragam dengan warna yang kelewat kontras.

"Sedang keluar sebentar, Mas."

"Lama?"

"Kurang tahu, Mas. Soalnya pergi sama pamannya."

Airlangga mengerutkan kening karena menganggap paman yang dimaksud adalah ayah tiri Trias.

Tua bangka itu ternyata belum mau menganggap sebagai Trias anaknya sendiri. Airlangga bergumam dalam hati.

"Ada pegawai yang bernama Bima? Saya mau minta tolong dia antar saya ke rumah Adriana." Airlangga menyebutkan nama pegawai yang dulu sempat memberitahunya alamat kakeknya, kemungkinan ia tahu rumah Adriana.

"Sebentar saya panggilkan, Mas."

Setelah menunggu kurang lebih lima menit, pegawai yang bernama Bima itu muncul di hadapan Airlangga, pakaiannya jauh lebih bersih dari terakhir kali Airlangga melihatnya. Mereka pergi menggunakan mobil motor matic dengan Airlangga dibonceng oleh Bima.

Bima menghentikan motor tidak jauh dari rumah Arum karena Airlangga meminta menepuk pundaknya keras agar segera menghentikan motor. Airlangga menatap nanar ke arah rumah dengan teras luas tersebut, bangunannya cukup kokoh karena setengah dindingnya menggunakan keramik motif berwarna hijau. Namun, bukan itu yang menjadi perhatian Airlangga.

"Kamu boleh pergi, saya ke sana sendiri saja," ucap Airlangga tanpa melihat sedikit pun ke arah Bima.

"Baik, Mas."

Setelah kepergian Bima, yang Airlangga rasakan hanya sesak. Tangannya bergetar dengan berbagai kemungkinan yang ada di kepalanya. Tidak mungkin ini alasan Adriana mengubah sikap bukan?

Mercedes E 300 berwarna putih dengan plat B di depannya ini begitu ia kenali. Matanya mengabsen setiap detail, nomor plat, stiker kaca belakang, bahkan lecet pada spion kanan. Kenapa mobil Abikara ada di sini?

Airlangga melangkah, memasuki bagian teras dan berdiri pada pintu dengan dua daun yang terbuka sedikit. Matanya menajam ketika mendapati Abikara tengah duduk bersama Arum.

"Aku nggak siap jika Airlangga sampai tahu semuanya, Arum. Tentang ini semua, aku harap kamu dan Adriana bisa merahasiakannya sampai aku punya cukup keberanian untuk mengatakan semuanya pada Airlangga."

Suara Abikara terdengar samar-samar di telinga Airlangga, laki-laki itu mengerutkan kening karena tidak paham dengan situasi yang sedang terjadi.

"Tapi, Mas."

"Aku pastikan Airlangga nggak akan bisa menemukan kamu, Arum. Trias akan menjamin itu semua, Airlangga nggak akan pernah tahu keberadaan kamu di sini."

Airlangga hampir tidak percaya dengan apa yang ia dengar dari mulut Abikara. Sejak kapan ayahnya ada di Jogja? Kenapa ia sama sekali tidak tahu tentang hal itu? Dan menemukan? Menemukan siapa yang mereka maksud?

"Aku juga mau berterima kasih sama Adriana karena dia sudah bantu aku, tapi sepertinya hari ini dia nggak pulang ke sini."

"Iya, Mas. Sejak kemarin sore handphone-nya nggak aktif."

Airlangga harus mencari tahu, degupan jantung terasa lebih kencang ketika berbagai spekulasi memenuhi kepalanya. Sebelah tangan terangkat meraih gagang pintu dan mendorongnya perlahan, tatapan mata tajam, menusuk, pada setiap orang yang mengelilingi meja tamu yang kini kaget melihat keberadaannya.

"Airlangga?"

"Apa yang kalian bicarakan?" Suara Airlangga dingin penuh penekanan.

Abikara kelimpungan, laki-laki berusia 55 tahun yang mengenakan kacamata itu membuka kacamatanya dan berusaha mendekati Airlangga. Ia memegang pundak Airlangga, berusaha menenangkan puteranya dari amarah yang mungkin saja akan membuatnya kesakitan nantinya.

"Kita bicara di luar, Nak."

Airlangga menyentak tangan Abikara agar tidak menyentuh pundaknya. Tatapannya matanya beralih pada Arum yang ikut berdiri kemudian menunjuknya. "Apa dia?" tanya Airlangga pada Abikara.

"Apa dia perempuan yang sudah menyakiti mama?"

"Lang, dengar dulu." Trias mencoba memberi pengertian pada Airlangga.

"Dengar apa? Dengar apa?! Dengar kalau selama lima bulan ini lo sudah bohongi gue! Iya?!"

"Airlangga jangan seperti ini, Nak. Papa mohon." Abikara mencoba menghalangi niat Airlangga yang ingin menghampiri Arum.

"Kalau begitu jelaskan. Jelaskan sejelas-jelasnya apa yang terjadi. Apa yang nggak aku tahu." Airlangga menuntut, dia lebih memilih untuk memberikan kesempatan satu kali lagi pada Abikara bahwa selama ini prasangka dirinya salah.

Namun, sekelebat bayangan masa lalu menghantui Abikara, tangan Airlangga yang bergetar, teriakan-teriakan Airlangga yang mengutuk dirinya sendiri adalah seorang pembunuh membuat laki-laki paruh baya itu menggeleng. Ia tidak akan sanggup melihat Airlangga kembali ke masa itu.

"Jelasin!" Airlangga mendorong keras Abikara hingga tersungkur pada sofa yang tadi mereka duduki.

"Airlangga!"

"Lo nggak usah ikut campur!" Airlangga menahan Trias.

"Jelasin kenapa kamu nggak beri tahu kalau mama sakit, jelasin kenapa selama beberapa tahun belakangan kamu transfer uang ke perempuan ini dan membiayai semua anaknya. Jelasin!"

Airlangga bergerak menghampiri Arum, mencekal tangannya hingga Trias berusaha melepaskannya. "Trias lepasin!"

"Kamu yang lepas! Kamu sudah kayak orang kesetanan begini, Lang. Tenang dulu!"

Bagaimana Airlangga bisa tenang? Bahkan saat ia memberikan kesempatan Abikara menjelaskan, laki-laki itu tetap memilih bungkam. Apakah salah jika Airlangga kini mempercayai prasangkanya?

Abikara membantu Trias untuk menjauhkan Airlangga dari Arum, tetapi Airlangga lebih kuat dan justru melayangkan pukulannya tepat ke wajah Abikara.

"Lang!" Trias berteriak.

"Airlangga dengar dulu." Arum mencoba bersuara, air matanya tumpah melihat kemarahan yang ada di mata Airlangga.

"Diam!"

Trias tidak bisa tinggal diam, ia menarik baju Airlangga dan menyeret laki-laki itu agar keluar. Airlangga memberontak, ia melawan dengan memberikan pukulan pada Trias, tetapi laki-laki itu lebih sigap dan membalas dengan pukulan lebih keras. Airlangga tidak akan pernah menang melawan seorang mantan IPDA jika soal baku hantam.

"Trias cukup!" Abikara menghentikan Trias yang memukul Airlangga secara membabi buta, kemarahan sudah tidak dapat dibendung ketika melihat Airlangga memukul Abikara.

Airlangga bangun, wajahnya penuh dengan luka bekas pukulan Trias. Sempat meludah berupa cairan merah, Airlangga kemudian tertawa remeh sembari bertolak pinggang. "Baiklah, kalian menang. Saya nggak akan mencampuri urusan kalian lagi."

Arum keluar dari rumahnya, beberapa tetangga menyaksikan kejadian berkelahi Airlangga dan Trias dengan kasak-kusuk tanpa berani mendekat atau pun ikut campur dalam masalah mereka.

"Tapi ingat, saya nggak akan diam saja melihat perempuan menjijikan itu." Airlangga menunjuk Arum sebelum berbalik keluar dari pekarangan rumah Arum dengan wajah yang penuh luka juga baju yang kotor.

Airlangga sempat memelankan langkahnya saat teringat akan sesuatu.

Saya akan bantu Chef Air mencari perempuan yang namanya Retno Retno itu.

Apa yang akan Chef lakukan ketika bertemu dengan perempuan itu?

Di perjalanan Airlangga terkekeh seorang diri. Kini, ia merasa menjadi manusia paling bodo sedunia karena sudah percaya dengan orang seperti Adriana. Mungkin, setelah hari ini mereka akan berkumpul bersama dan menceritakan bagaimana bodohnya seorang Airlangga.


Kira-kira gimana respons Airlangga kalau nanti ketemu Adriana??

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro