ᴛɪɢᴀᴘᴜʟᴜʜ ᴅᴜᴀ

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

ǝTHirëǝl
• ᴇᴛʜᴇʀᴇᴀʟᴏᴠᴇ •

Sejak kejadian dua jam lalu, Airlangga menjadi ling-lung dengan apa yang dia lakukan. Laki-laki itu bahkan menaiki tangga untuk duduk di kasur lalu semenit kemudian kembali turun untuk merapikan apa yang ia anggap berantakan, meski hanya sekadar membenarkan posisi pigura yang miring.

"Apa Adriana akan marah dan menghindar besok?" Airlangga membuat dugaan. Dia menggigiti kuku seperti tengah merasa takut akan sesuatu. Detik kemudian, mengacak-acak rambutnya karena frustrasi dengan pemikirannya sendiri.

Airlangga rasa ia akan jadi gila akan hal ini.

Menarik napasnya dalam-dalam, kemudian mengembuskannya secara perlahan, Airlangga mencoba menetralkan pikirannya. Oke! Otaknya harus dapat berpikir sebuah alasan agar dianggap tidak melecehkan seorang perempuan. Tepat ketika tengah menyusun kata-kata, bayangan akan kejadian itu melintas kembali di kepalanya.

Airlangga sendiri tidak dapat mengerti akan situasi yang kini ia hadapi, tetapi sudut bibirnya naik, seperti ada rasa geli dalam perut yang tidak dapat ia jelaskan ketika mengingat kejadian itu dan memaksanya tertawa.

"Stop, Airlangga. Stop!" Ia memaki dirinya sendiri.

Setelah dirasa cukup, ia mengusap wajah kasar, berjalan ke dapur dan membersihkan meja dapur--untuk ketiga kalinya--dan bergerak kembali ke kamarnya. Seperti biasanya, tempat itu akan terasa sempit karena tidak ada orang lain selain dirinya.

Ketika Airlangga tengah mencoba untuk berdamai dengan jantungnya yang sejak dua jam lalu bekerja lebih cepat, tiba-tiba panggilan masuk memenuhi ruangan sunyi tersebut. Ia berdecih kala melihat siapa nama yang tertera pada layar berukuran 6,7 inchi di genggamannya.

Ponsel itu tidak berhenti berdering meski Airlangga tidak mengacuhkannya. Bahkan, panggilannya berulang hingga empat kali dan diakhiri dengan sebuah pesan singkat yang dikirimkan oleh Abikara.

Kamu sibuk, Airlangga? Apa kabar, Nak? Papa kangen sama kamu. Sejak kepergian mama, kita jarang berkomunikasi lagi.

Pesan singkat itu membuat Airlangga tersenyum remeh. Airlangga memang sengaja menonaktifkan centang biru dalam aplikasi pesan singkatnya agar tidak perlu repot menjawab pesan yang dikirimkan Abikara. Terhitung, itu adalah pesan ke dua puluh dari ayahnya dalam minggu ini yang Airlangga abaikan.

Bagaimana kabar kamu di Jogja, Nak?
Papa dengar kamu belum menemui kakek? Coba sekali temui beliau di rumah, pasti beliau senang, Nak.

Pesan itu kembali datang dari kontak Abikara.

Apa kamu masih marah karena papa merahasiakan kondisi mama? papa minta maaf, Lang.
Papa kangen suara kamu, Nak.

Airlangga melempar ponselnya ke atas tempat tidur, membiarkan rentetan pesan dari Abikara tanpa sedikit pun berniat untuk membalasnya. Diam-diam hatinya dibebat rasa rindu pada lelaki yang selalu menjadi kompas kehidupannya itu. Seandainya saja Abikara tidak berbuat jahat pada Ayunda, mungkin mereka akan hidup bahagia hingga sekarang ini.

Ia kembali mengambil ponsel yang sejak tadi terabaikan, mencari nomor Trias dan memberi kabar bahwa ia akan datang besok sore ke rumah. Mantan anggota polisi berusia 27 tahun itu hampir tidak percaya dengan apa yang Airlangga sampaikan, ia bahkan memastikan bahwa Airlangga tidak sedang mengigau.

Airlangga tidak dapat menjawab ketika Trias menanyakan alasan kenapa laki-laki itu tiba-tiba ingin menemui kakeknya. Terlebih jika ia harus mengatakan bahwa alasannya adalah perintah dari Abikara yang jelas-jelas sangat ia benci sekarang. Iya, Airlangga membenci sekaligus rindu dalam satu kali waktu sekaligus pada Abikara.

****

Airlangga hampir saja menjatuhkan container stainless di genggaman ketika suara Adriana tertangkap oleh telinganya. Tiba-tiba jantungnya yang sudah normal pagi tadi kembali berdegup kencang, terlebih ketika Adriana melebarkan senyum ke arahnya.

Airlangga tidak suka itu. Sungguh, karena senyum yang ditampilkan Adriana menimbulkan rasa aneh dalam dada juga perutnya. Seperti tergelitik dari dalam dan memaksanya untuk ikut tertawa, meski ia sendiri tidak tahu apa yang harus ia tertawakan.

Awalnya Adriana ingin menyapa Airlangga. Namun, tiba-tiba laki-laki itu menjauh, berjalan cepat menuju ruang pribadinya sembari berteriak agar seluruh staf kitchen berkumpul ketika ia keluar.

Senyum yang Adriana tampilkan lenyap, bahunya merosot ketika melihat Airlangga yang seperti menghindarinya. Perempuan yang tengah memegang topi kokinya itu bergerak secara lesu, berdiri di di samping Aji Saka yang menatapnya dengan penuh tanda tanya.

"Awakmu opo'o? Isuk-isuk wes mrengut."
(Kamu kenapa? Pagi-pagi sudah cemberut.)

Gelengan kepala menjadi jawaban Adriana atas pertanyaan yang dilemparkan Aji Saka.

"Aa ... Paling awakmu arep golek masalah karo Chef Airlangga maneh, to?" Aji Saka menuduh asal. Butcher berusia tiga puluh tahun itu selalu curiga dengan gelagat Adriana yang menimbulkan masalah. "Sesok tak rekomendasi nang Chef Airlangga, ben awakmu dipindah nang lantai limo, ngko!"

Adriana segera mengambil posisi menjauh dari Aji Saka, menghindari omelan butcher berusia tiga puluh tahun yang lebih sensitif semenjak pertengkarannya dengan Niur tempo hari. Dia tidak pernah ingin mencari masalah, apa pun yang terjadi kemarin murni karena pembelaan.

Pukul enam pagi, seperti yang biasa terjadi di setiap hotel kota pariwisata, tempat itu akan ramai dipenuhi tamu hotel. Model prasmanan di penuhi dengan menu utama seperti nasi goreng, mie goreng juga kwetiau yang ditempatkan pada chaffingdish.

Menu continental breakfast berada di depan bar kitchen, terdisplay apik dalam showcase kaca berbagai macam roti, croissant, baguette, french toast atau brioche dengan satu orang pramusaji yang membantu tamu mengambil menu yang diinginkan. Sedangkan english breakfast berada di sebelahnya memiliki station masing-masing mulai dari roti panggang, sosis, omelette, daging asap dan tomat panggang.

Usai membantu pramusaji meletakkan chaffingdish terakhir, Adriana melintasi bar kitchen. Airlangga baru saja menjawab pertanyaan yang dilemparkan seorang tamu yang meminta bertemu dengan chef utama. Adriana tersenyum ketika matanya bersibobok dengan Airlangga. Namun, segera ia mengubah air mukanya ketika mendapati Airlangga justru membuang muka, menghindari bertatapan dengannya.

Tidak perlu lama, Adriana sudah merasa jika Airlangga tengah coba untuk menghindarinya. Mungkin, Airlangga benar-benar menganggap kejadian kemarin adalah sebuah kesalahan, atau itu bukan hal yang berarti sama sekali. Perempuan itu tersenyum remeh, ia merasa seperti perempuan yang tidak lagi memiliki harga diri sekarang.

Setelah cukup mengeluh, Adriana kembali ke dapur utama. Mengambilkan olive oil untuk Aji Saka, memberikan frypan yang dibutuhkan Taufik juga membantu mengaduk sayur meski dengan cebikan kesal yang ditinggal oleh Niur ke toilet.

Saat sedang asyik mengaduk sayur, terasa seperti ada seseorang yang berdiri di belakang. Perempuan itu menoleh dengan cepat dan kemudian kaget karena cipratan sendok sayur mengenai seragam putih dengan kancing emas di depannya. Karena bergerak cepat, Adriana tanpa sengaja menyenggol panci besar yang mengepulkan asap panas.

"Kamu nggak apa-apa?" Airlangga tidak mempedulikan seragamnya yang kotor. Ia mengecek tangan bagian belakang perempuan yang baru saja terpekik karena bersentuhan dengan panci panas.

"Nggak apa-apa, Chef."

Mendengar intonasi Airlangga yang tinggi, Taufik berinisiatif mendekat, menarik pelan Adriana setelah menitipkan station-nya pada Nindya.

"Kamu baik-baik saja, Adriana?" tanya Taufik. Laki-laki itu menatap Airlangga dengan enggan dan menunduk sekilas. "Maaf, Chef. Biar saya bantu Adriana membersihkan lukanya."

Buru-buru Taufik menarik Adriana menuju ruang restroom setelah Niur kembali dari toilet. Laki-laki asal Sleman itu mengode Niur agar sigap mengambil pekerjaan miliknya.

"Kamu nggak apa?" tanya Taufik ketika mengambil air es untuk mendinginkan tangan Adriana yang melepuh.

"Nggak apa, 'kok, Chef."

Taufik mengoleskan salep ketika Adriana menggulung seragam hingga ke lengan. Keduanya hanya diam, hingga kehadiran sosok Airlangga menginterupsi mereka.

"Chef? Ada yang bisa saya bantu?" Taufik bertanya ketika Airlangga hanya menatap mereka dengan bibir yang terkatup.

"Tidak ada. Saya hanya mengambil seragam bersih."

Airlangga membawa langkah kakinya menuju loker paling pojok dengan ukuran paling besar. Taufik tidak begitu memperhatikan, ia kembali melanjutkan mengoles salep ke lengan Adriana kemudian dengan perlahan membantu perempuan itu mengembalikan seragamnya seperti semula.

"Makasih, Chef."

"Sama-sama, Ana. Sudah, kita lanjutkan pekerjaan."

Adriana memberikan tanda hormat pada Taufik sebelum mereka keluar dari restroom tanpa memedulikan tatapan Airlangga yang menghunus pada keduanya.

Hingga jam makan siang, kali ini berjalan tanpa teriakan apa pun dari Airlangga. Adriana sudah terbiasa dengan tempo cepat yang ada di kitchen utama. Aji Saka membantunya dengan menyiapkan sendiri keperluan yang dibutuhkan.

Hari itu sepertinya menjadi sedikit lebih baik untuk perempuan berusia 22 tahun itu, Arial datang pukul dua siang membawa dua lusin donat untuk dimakan bersama staf kitchen. ia menyenderkan bahunya pada meja stainless, menggigit donat dengan topping blueberry di atasnya.

"Makan kamu belepotan." Taufik mengelap cream donat yang menempel pada bibir Adriana tepat ketika Airlangga keluar dari ruangannya.

"Hm, Chef! Sini, Chef!" Adriana melambaikan tangannya. Wajah datar Airlangga membuat staf yang lain diam, tidak berani bersuara barang sedikit pun.

"Arial bawa donat. Chef Air mau?" Adriana menyodorkan kotak donat berwarna oranye pada Airlangga.

"Tidak," jawab Airlangga. Adriana mengerucutkan bibirnya mendapat respons yang terlampau ketus dari CDC berusia 28 tahun itu.

Tidak ingin Adriana mendapat masalah, Taufik kembali memasukkan donat di tangannya pada mulut Adriana agar Airlangga tidak melihat cebikan perempuan itu. "Kamu bisa tidak jangan bersikap seperti itu sama Chef Air," kata Taufik berbisik di telinga Adriana.

Melihat interaksi keduanya yang dianggap terlalu dekat, membuat Airlangga marah. Ia tidak suka jika ada orang yang berbisik di depan matanya. Oke! Ulangi, Airlangga hanya tidak suka jika ada orang lain berbisik.

"Apa yang kalian bicarakan?"

Taufik melongo. Apa yang harus dia jawab jika kenyataannya ia tengah mengingatkan Adriana agar tidak mencari masalah di depan Airlangga?

"Tidak ada, Chef." Taufik memutuskan untuk tidak menjawab.

Airlangga mendengkus, kemudian memutar arah, meninggalkan kerumunan itu dan kembali ke dalam ruangan pribadinya. Sepertinya, hari ini justru menjadi hari yang menyebalkan bagi Airlangga.

Aku tadi mau bilang apa ya? Kok lupa ya?
Yaudah deh, karena lupa, aku akhiri bab ini dengan ucapan terima kasih sudah mampir 😁

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro