03. PREMONITION

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Helaian rambut hitam pekat Augen tampak bergerak lembut dan anggun mengikuti arah hembusan angin di taman. Matanya yang merah seperti rubi menggelap, mencerminkan perasaan campur aduk di dalam hatinya.

Augen berjalan keluar dari taman barat istana dengan perasaan bingung dan risau yang mendalam. Dia menyadari bahwa kembali ke masa lalu setelah bertemu dengan dewa adalah sebuah kenyataan, bukan sekadar mimpi. Tamparan dari Armeria yang masih terasa di pipinya membuatnya menyesali perbuatannya. Dia tahu bahwa dia pantas menerima hukuman itu, namun perasaannya menjadi lebih rumit karena kata-kata yang dulu, atau dalam sekarang ini adalah tadi, diucapkannya kepada Armeria tidak lama lagi akan menjadi kenyataan dan dia tidak bisa mengubahnya.

Bisa-bisanya aku percaya begitu saja pada kata-kata perempuan ular itu.

Sikap Augen yang tenang dan dingin mulai goyah, dan rasa kesal terhadap dirinya sendiri semakin terasa. Dia merasa marah pada dirinya sendiri di masa lalu karena tidak bisa mengendalikan emosinya dengan baik dan tanpa pikir panjang mengucapkan hal-hal yang mungkin akan membawa konsekuensi buruk.

Dengan tatapan yang penuh pertimbangan, Augen menggelengkan kepalanya dengan lembut, berusaha menyingkirkan pikiran-pikiran buruk yang merayap dalam benaknya. Dia merasa perlu untuk mengendalikan emosinya dan menjaga pikirannya tetap fokus pada tugasnya yang mendesak, yaitu menyelamatkan Armeria.

Dalam pemikirannya, Augen menyadari bahwa tindakannya untuk menyelamatkan Armeria harus dilakukan dengan sangat berhati-hati. Dia tidak ingin menarik perhatian musuh-musuhnya, termasuk musuh-musuh Armeria, karena itu bisa membawa bahaya bagi gadis itu. Dia tahu bahwa tindakan yang tergesa-gesa atau terlalu mencolok dapat mengancam keselamatan gadis yang ia cintai.

Augen sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri ketika namanya dipanggil oleh seseorang. Fabian Vergissmein, salah satu teman akademinya, menghampiri Augen dari arah bangunan utama istana sambil setengah berlari.

"Hei! Ada keperluan apa kau di istana?" Fabian melebarkan matanya begitu melihat dari dekat wajah Augen lalu menunjuk pipi kiri laki-laki itu. "Ada apa dengan pipimu itu?"

Spontan Augen menutupi pipi yang tadi ditampar oleh Armeria dengan tangan.

"Bukan apa-apa," jawabnya sambil lalu sambil bersikap tak peduli.

Fabian mengangkat alisnya dengan skeptik.

Augen melanjutkan langkahnya dengan lebar dan cepat, berusaha menghindari Fabian sebelum pria itu membuka mulutnya lagi untuk memuntahkan pertanyaan-pertanyaan yang merepotkan.

Sayangnya, Fabian adalah tipe manusia yang suka mencari tahu tentang urusan orang. Laki-laki itu tidak mudah disingkirkan jika rasa keingin tahuannya muncul. Fabian mengejar Augen, sampai akhirnya mereka berjalan beriringan.

"Apa kau mengganggu Putri Armeria lagi?" kata Fabian sambil menyeringai.

Ketika Augen melihat seringaian usil milik Fabian, biasanya dia merasa acuh tak acuh dan tidak terpengaruh olehnya. Fabian selalu menggoda dan mengusiknya dengan seringaiannya yang jahil, tapi sebelumnya itu hanya merupakan suatu candaan biasa yang tidak menyentuh perasaannya.

Namun, kali ini perasaan Augen berbeda. Saat melihat seringaian Fabian, rasa jengkel dan kesal muncul dalam hatinya. Pikiran buruk yang menghantuinya sebelumnya, terutama tentang kegagalannya dalam hubungannya dengan Armeria, tiba-tiba kembali datang.

"Ini tidak ada hubungannya dengan Putri. Ini adalah urusanku sendiri, "sangkal pria berambut hitam itu.

Fabian berkata dengan masih memasang senyuman menjengkelkan di wajahnya, "Kau tahu kan, jika kau itu tidak pandai berbohong? Terutama padaku."

Augen menghela nafas panjang. Sepertinya mau tak mau dia harus menjawab pertanyaan temannya ini.

"Aku tidak bermaksud untuk mengganggunya," akunya. "Walaupun pada akhirnya aku tetap menyakiti perasaaanya. Jadi, aku pantas menerima tamparan ini."

Ekspresi Fabian terlihat jelas terkejut. Matanya membelalak lebar seperti akan keluar dari rongganya, dan bibirnya sedikit terbuka. Dia tidak dapat menyembunyikan keheranannya atas pernyataan Augen.

Fabian berkata dengan nada terkejut, "Apa? Kau biasanya tidak akan merasa seperti ini setelah membuat kesal sang Putri. Apa kepalamu terbentur sesuatu ketika ditampar oleh Putri?"

Fabian menatap temannya dengan seksama dengan ekspresi tak percaya. Seakan yang ada di hadapannya itu orang asing yang menyerupai sosok Augen. Mata hijau zamrudnya menelusuri Augen dari atas ke bawah, lalu ke atas lagi. Lalu baru berhenti ketika bertemu pandang dengan mata merah Augen.

"Ini sangat mengejutkan, kawan. Aku tidak pernah melihatmu berpikir seperti ini sebelumnya. Maksudku terhadap Putri."

Fabian menggoda dengan senyuman, "Hm, apakah Putri Armeria berhasil membuatmu terpesona? Apa sekarang kau akan bersikap baik padanya seperti anjing penurut?"

Augen tidak menjawab. Dia haya melirik kesal ke arah sahabatnya itu.

"Siapa tahu, seiring dengan berubahnya sikapmu terhadapnya, gadis itupun juga akan berubah. Mungkin sebenarnya sang putri memiliki hati lembut untukmu di balik sifatnya yang dingin itu."

Augen mengerutkan kening dan tersenyum sinis.

"Tidak, Fabian. Jangan mulai dengan omong kosong itu. Kita berdua tahu bahwa tidak mungkin terjadi. Gadis itu tidak menyukaiku."

"Dan kau tidak menyukai sang Putri juga, kan? Setiap kali ada kesempatan, kau selalu memulai pertengkaran dengan Putri. Apalagi jika berhubungan dengan Lady Feind."

"Mulai saat ini hingga seterusnya aku tidak akan melakukan hal itu lagi," balas Augen cepat.

Sebaliknya, Augen akan melindungi Armeria mati-matian dari Biene Feind, seorang gadis yang dulu sangat dia lindungi. Dan juga dari Arglist zwei Kraftvoll, si pangeran kedua. Tapi, bagaimana caranya? Dia berpikir untuk menyuruh beberapa orang untuk memata-matai gerak-gerik orang-orang yang berada di dalam istana, terutama pangeran kedua dan ibunya, Ratu Frau. Tapi siapa yang bisa dipercaya?

Suara terkejut dan bersemangat yang berasal dari Fabian menyadarkan Augen dari lamunannya.

"Jadi tebakanku benar? Putri berhasil menaklukanmu?" mata hijau zamrud Fabian berbinar menatap Augen. Perhatiannya tertuju penuh pada temannya. Ini bisa menjadi bahan perbincangan yang menarik untuk dibicarakan dengan tunanngannya, Lady Daphne Winkel, pikirnya. Dia terus mencecar Augen dengan semangat membara bagaikan para wanita bangsawan yang mendapatkan bahan gossip baru. "Aku tidak percaya ini! Sejak kapan?"

Augen yang sudah hafal betul dengan jalan pikiran dan perilaku Fabian, berkata dengan tajam, "Jangan menyebarkan cerita ngawur. Kau bisa membuat repot Putri dengan mulut besarmu itu."

Tapi perkataan Augen malah seperti menambah bara ke dalam kobaran api pada diri Fabian.

"Dan kau sekarang sangat peduli pada Putri! Ini sangat mengejutkan!"

Augen melirik wajah temannya dengan ekspresi lelah di wajahnya. Ia diam saja ketika Fabian berbicara dengan antusias tentang khayalan yang dibayangkannya tentangnya dan Armeria. Ia menganggap hal ini tidak penting dan hanya akan membuang-buang waktu. Menghentikan Fabian-pun percuma, karena dia tahu seperti apa lelaki yang sedang mengoceh ini. Sangat sulit menutup mulutnya jika sudah tertarik dengan suatu topik pembicaraan.

Melihat Augen hanya diam seribu bahasa, Fabian akhirnya mengangkat tangan sebagai tanda menyerah. Tahu jika dia tak bisa mengorek informasi lebih dalam dari temannya itu.

"Baiklah, baiklah, tidak usah serius. Aku hanya bercanda. Tapi ingat, jodoh tidak ada yang tahu. Siapa yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan, kan?"

Augen menggelengkan kepala sambil tersenyum muram. Lelaki itu tahu betul apa yang akan terjadi di masa depan. Dan tentang perasaan Armeria yang membenci Augen. Begitu membencinya, sampai-sampai Armeria menusuk jantungnya sendiri ketika Augen menyatakan perasaannya pada gadis itu.

"Hei, kenapa wajahmu putus asa seperti orang yang sudah ditolak cintanya begitu?"

Fabian memukul bahu kanan Augen dengan keras. Sampai bahu pria itu terasa panas dan berdenyut. "Bersemangatlah! Aku akan mendukung dan membantumu!"

"Tolong, aku mohon dengan sangat, jangan berbuat hal yang tidak perlu dan berbuat kekacauan, "pinta Augen memperingatkan.

Fabian tertawa mendengar permohonan temannya. Lalu wajahnya berubah serius dan berkata dengan lirih, "Jika aku harus memilih diantara dua gadis itu, aku lebih rela kau bersama dengan tuan putri daripada dengan Lady Feind."

Augen memandang Fabian dengan penasaran. Dia sudah lama menyadari sikap Fabian yang tidak terlalu ramah terhadap Biene, namun hingga saat ini dia masih belum mengetahui alasan di balik sikap itu. Fabian adalah tipe orang yang ramah dan suka berbaur dengan siapa saja, bahkan rakyat biasa. Tetapi ada sesuatu yang membuat Fabian berbeda dalam berinteraksi dengan Biene.

Saat Augen memandang Fabian, dia bisa melihat ekspresi Fabian yang serius ketika nama Biene disebutkan. Meskipun dia mencoba menyembunyikan perasaannya, namun ada sedikit ketegangan yang terlihat pada wajah Fabian.

Hal itu membuat Augen bertanya, "Aku jadi penasaran, kenapa kau bersikap dingin kepada Biene? Apa kau tidak menyukainya?"

Fabian mengangkat bahunya. Fabian sendiri merasa bingung dengan sikapnya terhadap Biene. Meskipun dia tidak bisa menyebutkan alasan pasti mengapa dia tidak terlalu menyukai Biene, namun ada sesuatu yang membuatnya merasa canggung dan tidak nyaman ketika berada di dekat gadis itu.

"Aku sendiri tidak tahu pasti. Setiap kali aku berinteraksi dengan Lady Feind, aku merasa bahwa gadis itu..., entahlah, bagiku membawa semacam firasat buruk. Meskipun aku tidak dapat menjelaskan secara rasional, namun perasaan itu selalu ada."

Augen mengakui dalam hatinya bahwa firasat Fabian tentang Biene memang tepat. Namun, sebelumnya, dia tidak pernah benar-benar mendengarkan Fabian dan mengabaikannya.

"Dulu aku begitu keras kepala," pikir Augen dalam hati. "Fabian mencoba memberi tahu aku tentang firasatnya, tapi aku tidak mendengarkannya. Aku menutup diri dari kenyataan yang sebenarnya."

Dia merasa menyesal karena telah memilih untuk mengabaikan peringatan yang datang dari sahabatnya sendiri.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro