Marry me even you are dead

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Written by whiteghostwriter

***

"Pengeluaran bulan ini terlalu besar," gumamku dengan suara lirih kemudian mendesah napas dengan mata yang tetap tertuju pada smartphone yang memiliki layar berukuran enam inchi.

"Lo mau part time gaji gedhe, nggak?" tanya Titin, teman seapartemenku yang berprofesi sebagai make up artist yang terkenal di kalangan borjuis itu.

Aku melirik Titin sebentar kemudian tersenyum miring, "Lo mau ngajak gue jadi perias jenasah, kan?!"

Titin membalasnya dengan senyum lebar kemudian menghampiriku. "Job kali beneran gedhe banget. Gue ga bo'ong, Dee..."

"Korban kecelakaan?" tanyaku dengan tatapan mencela.

Titin memang sering merayuku ikut part time sebagai perias jenasah meskipun aku tidak memiliki kemampuan merias. Merias diri sendiri saja, aku tidak bisa. Bagaimana mungkin aku menjadi perias? Apalagi jika objek riasanku adalah jenasah. Bisa-bisa jenasah yang kurias itu menghantuiku karena tidak rela riasan terakhir mereka sangat buruk.

"Nggak Dee..." Titin mengambil ponselnya kemudian seperti mencari sesuatu dan menyodorkan benda tipis bertrademark buah apel itu kepadaku.

Instagram seorang pria muda berkulit putih dengan wajah sekilas mirip Andy Lau.

"Dia yang meninggal?" tanyaku menyerahkan kembali ponsel itu kepada Titin dan wanita yang sudah menjadi sahabatku sejak SMA itu membalas pertanyaanku dengan sebuah anggukan.

"Dean Nugraha tidak meninggal karena kecelakaan tapi karena gagal jantung," jelas Titin sambil memasukkan kembali ponselnya ke sakunya.

"Kenapa nggak kamu aja yang meriasnya?"

"Pihak keluarga ingin perias Dean adalah seorang perawan yang tidak pernah mempunyai hubungan dengan pria mana pun. Aku pun bilang kalau mempunyai kandidat perias itu." Titin menyengir dengan wajah polos tanpa dosa.

Aku pun segera memelototi Titin. Jika aku menerima job itu artinya keluarga jenasah itu akan menganggapku sebagai perawan yang tidak laku. Yah, memang benar aku masih single dan tidak pernah menjalin asrama dengan seorang pria meskipun di usiaku sudah seperempat abad.

"Lo mau ya, Dee..."

"Ogah!"

"Bayarannya lima jeti, Dee..."

Aku terdiam beberapa saat, shock.

"Lo beneran nggak mau?" tanya Titin lagi kembali mengonfirmasi.

Aku masih tidak menjawab.

"Ya udah... Kalo gitu gue cari orang lain..." Titin merogoh sakunya ingin mengeluarkan kembali benda bertrademark apel itu.

"Tunggu!" teriakku menghentikan aksi Titin. "Aku mau!"

***

Benarkah pria ini benar-benar telah meninggal? Tanyaku membatin.

Wajahnya memang putih memucat namun ekspresi tidurnya tampak begitu damai. Tidak menunjukkan bahwa ia mengalami kesakitan sebelum akhirnya menghembuskan napas terakhir. Dia adalah pria tertampan yang pernah kulihat.

"Lo nggak apa-apa kan gue tinggal sebentar?" tanya Titin dari belakang menyadarkanku dari lamunan karena terpesona oleh pria itu. Pria yang kini sudah terbujur kaku, tidak lebih dari seorang mayat.

Aku membalas Titin dengan anggukan pelan karena aku sudah terbiasa berada di sekitaran mayat sejak menjadi mahasiswa kedokteran beberapa tahun lalu.

Namaku Diana Ratna, dokter umum yang bekerja di sebuah rumah sakit swasta kecil di Jakarta. Tinggal di sebuah apartemen bersama sahabat baikku, Tiana Kinasih yang berprofesi sebagai make up artist namun sering mendapatkan part time job sebagai perias jenasah. Dan, kini aku berbekal keberanian dan tekad untuk mendapatkan uang tambahan mengikuti langkah Titin sebagai perias jenazah.

Wajah pria itu kini selesai kurias. Wajahnya tidak banyak berubah karena keluarga korban juga tidak menginginkan riasan yang terlalu menor, apalagi ia adalah seorang pria.

Aku menatap wajahnya lekat. Seperti kembali terhipnotis.

Benarkah pria ini telah meninggal?

Tanganku terangkat. Ujung jariku perlahan menyentuh pipinya yang dingin. Tidak ada lagi rona merah alami di pipinya. Tidak ada aliran darah di pembuluh kapiler di wajahnya. Hanya efek riasan yang kupelajari secara kilat dari Titin beberapa menit lalu yang memberikan efek kehidupan pada wajahnya yang sebelumnya putih pucat. Ujung jariku pun kembali bergerak ke bibirnya, yang tidak lagi lembut dan hangat.

"Dee..." Suara Titin mengagetkanku dan segera kusembunyikan tanganku. Seperti seorang maling yang tertangkap basah mencuri.

"Ah... eh... aku sudah selesai," kataku gugup dan Titin menatapku dengan tatapan tak terbaca. "Bagaimana menurutmu?" tanyaku mengalihkan pandanganku kembali ke Dean Nugraha.

"Good job!" puji Titin kemudian tersenyum sambil menunjukkan jempol tangannya.

***

Kurasakan sebuah sapuan yang hangat di bibirku sekilas, memaksa kesadaranku terbangun. Mataku terbuka namun indra penglihatanku kehilangan fungsinya. Tidak dapat menangkap bayangan ruangan ini. Semuanya terasa gelap. Gelap yang begitu pekat. Namun, entah kenapa tidak kurasakan sebuah ketakutan sedikit pun.

Kembali kurasakan sebuah sapuan lembut di bibirku karena begitu terkejut. Kudorong tubuh itu sekuat tenaga. Bersamaan dengan sebuah bunyi seseorang terjatuh, telingaku pun menangkap suara mengaduh rendah seorang pria.

Tanganku meraba-raba, mencari tombol lampu meja dan dalam sekejap cahaya lampu kekuningan itu memenuhi kamar tidurku.

Aku terkejut. Terkejut bukan karena kehadiran seorang pria yang mencuri ciuman saat aku lengah karena tertidur. Aku tidak terkejut karena itu, namun terkejut karena aku sendirian berada di dalam ruangan berukuran 3 x 4 meter itu.

Apakah aku bermimpi?

Ujung jariku menyentuh bibirku. Rasa itu, sapuan lembut itu terasa sangat nyata.

"Ma!" teriak Titin histeris.

Aku pun buru-buru bangkit kemudian berlari ke sumber suara Titin berada.

"Kenapa teriak-teriak?!" tanyaku kemudian mengerlingkan alis saat kulihat wanita berambut sebahu yang sedikit bergelombang itu duduk mendebrok di depan apartemen. "Kamu mabuk?" tanyaku retoris.

Wanita itu menatapku lekat kemudian mulai sesenggukan, "Maafkan Dian, Ma..."

Astaga. Sudah berapa banyak gelas bir Titin tenggak malam ini?

"Tin..." Aku mengulurkan tangan kemudian membantunya berdiri. Tidak terduga, Titin tiba-tiba memelukku.

"Maafin Dian, Ma..." Titin mulai sesenggukan, "Dian nggak mau Mama seperti ini terus..."

Aku menggeleng-gelengkan kepala. "I-Iya aku paham. Aku udah maafin kamu!" ucapku sekenanya sambil berusaha melepas pelukannya yang seperti lilitan gurita.

Aku memaksa Titin masuk ke dalam kamarnya, membantunya melepas sepatu dan jaketnya. Titin tidur sambil menangis, air matanya mengalir deras. Kuamati wajah itu sekilas kemudian bangkit dan keluar dari ruangan yang didominasi dengan warna merah yang sensual, selaras dengan karakter pemilik kamar ini.

Aku menengguk air dingin, melepaskan dahagaku kemudian duduk di sofa sambil menyalakan televisi. Satu per satu kuganti channel televisi karena terlihat membosankan. Aku mengalihkan pandanganku ke jam dinding. Jarum jam menunjukkan tepat pukul dua belas. Aku mendesah napas kemudian kumatikan televisi dan lampu kemudian berjalan kembali menuju tempat tidurku.

Aku merebahkan tubuhku, alunan detik jarum jam dinding yang berisik menjadi pengantar tidurku dan aku pun terlelap sampai... kurasakan sebuah tangan meremas payudaraku!

Aku membuka lebar mataku, cahaya yang begitu terang menyilaukan mataku untuk beberapa saat.

Bukankah aku sudah mematikan lampu kamar tidurku?

Setelah mataku mulai beradaptasi, indra penglihatan itu menangkap sebuah sosok pria. Pria itu berdiri dengan senyum lebar, menyengir seperti seorang bocah tanpa dosa.

"Ka-kamu kan..." kata-kataku tercekat dalam tenggorokanku.

Pria itu tersenyum, "Aku Dean Nugraha. Suamimu."

"Ini pasti mimpi!" teriakku bangkit dari tempat tidurku namun tampak tidak seperti tempat tidurku.

Ini dimana?

"Bukankah kamu sudah bersedia menjadi istriku?" tanya pria berkulit putih itu dengan wajah sedikit bingung.

"Sejak kapan aku bersedia menjadi istrimu?!" dengusku marah.

"Kamu kan yang memakaikan riasan dan baju untuk peristirahatan terakhirku!"

Eh?

"Kamu adalah istriku!"

"Tidak!!" teriakku dengan suara tercekat. Perlahan-lahan aku mengatur napasku.

"Dee... lo nggak apa-apa?" tanya Titin membuka pintu kamar dengan wajah terkejut.

"Nggak apa-apa, cuman mimpi..." gumamku lirih

Titin berjalan memasuki kamarku kemudian menyentuh dahiku. "Badan lo panas, mending lo istirahat dulu hari ini..." Titin menatapku dengan tatapan yang sulit terbaca, entah kenapa ia sering sekali menatapku dengan tatapan seperti itu sejak aku menjadi perias Dean Nugraha.

"Lo mimpi apa?" tanya Titin

"Mimpi konyol. Dean Nugraha bilang kalau ia adalah suamiku!" jawabku kemudian tertawa meskipun tidak lucu. Aku terkejut Titin tidak menertawakan mimpiku.

Titin menatapku dengan tatapan terkejut kemudian bangkit dari tempat duduknya.

Titin aneh sekali. Ada apa dengannya.

***

"Apa yang kamu lakukan!" teriakku mencubit telinganya ketika bibirnya mulai mencecap leherku dengan sensual. Ia mengaduh kesakitan kemudian memberikan senyum ala bocah andalannya.

Aku mendorong kembali tubuhnya yang setengah menindihku kemudian bangkit dan menatapnya dengan tatapan jengkel. Mimpi ini terus berulang setiap malam sejak aku menjadi perias jenazah Dean Nugraha. Sejak hari itu, Dean menjadi succubus pria yang selalu merayuku dalam mimpi.

"Berhentilah bergentayangan dalam mimpiku," ucapku kesal sambil mengaitkan kembali beberapa kancing bajuku.

Beruntung aku memakai baju berkancing saat tidur tadi malam. Kalau tidak mungkin hantu cabul itu sudah menelanjangiku seperti beberapa malam lalu.

"Kenapa kau sangat keras kepala?" dengus hantu cabul itu menatapku dengan tatapan jengkel.

"Aku tidak mau malam pertamaku dengan makhluk astral sepertimu," tukasku marah. Hantu cabul itu membalasku dengan sebuah cibiran.

"Ini hanya mimpi. Tidak ada sesuatu pun yang berkurang jika kau bangun," jelasnya dengan nada merayu, "Kamu tidak akan kesakitan seperti saat kita..." Hantu itu terdiam. "Kamu pasti akan menikmatinya juga..."

Bruk!

Aku melemparkan sebuah bantal ke wajahnya.

Aku harus bangun. BANGUN!

Mataku terbuka dan aku pun berada di tempat tidurku. Sendiri seperti biasa, tanpa cahaya yang menemani. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku, akhirnya aku terlepas dari jeratan succubus cabul itu.

Tenggorokanku terasa kering namun sayangnya hari ini aku lupa meletakkan segelas air sebelum tidur sehingga aku pun harus mengambil air di luar.

"Apa tidak sebaiknya mengirim mama ke institut lagi?"

Suara ini...

Dean Nugroho!

Aku pun melangkah ke sumber suara tersebut.

"Tidak! Aku tidak akan pernah mengirim mama ke tempat itu lagi!" tukas Titin dengan nada marah.

"Kondisi mama semakin memburuk sejak ia tinggal di tempat ini..."

Apa yang sebenarnya terjadi?

Kenapa Titin mengobrol dengan Dean?

Apakah Dean memang tidak pernah meninggal?

Mimpi itu... apakah mimpi itu memang benar terjadi?

Entah kenapa aku kembali ke tempat tidurku.

***

"Kau tidak meninggal, kan?" tanyaku pada hantu cabul dan kali aku tidak mendorong atau melakukan tindak kekerasan lain ketika hantu cabul itu berusaha membuka kancing bajuku.

"Aku sudah meninggal."

Aku menggelengkan kepala kemudian memaksa bangkit dan menyentuh kedua pipinya. "Kamu masih hidup."

Tentu ia masih hidup, pipinya terasa panas dan lembut. Aku memeluknya dan merasakan aroma maskulin yang tampak familiar, juga tampak asing. Aroma yang benar-benar kurindukan. Dean melepas pelukanku kemudian menatapku dengan tatapan sedih kemudian menggeleng pelan. "Aku sudah tiada."

Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. "Tidak. Kamu masih hidup!" teriakku kemudian kudorong pria itu dan mencium bibirnya yang lembut dan hangat dengan membabi buta.

Dean Nugraha masih hidup. Dean Nugraha masih bernapas.

Pria itu menghentikan tindakanku. Tangannya mencengkram pundakku, memaksa tubuhku terpaku di tempat.

Dean menatapku dengan tatapan sedih dengan bibir gemetar ia berkata, "Diana, relakan kepergianku..."

Aku kembali terbangun dengan posisi yang sama di tempat tidurku. Sendiri tanpa Dean Nugraha, tidak seperti dalam mimpiku. Entah kenapa hatiku merasakan kesakitan yang luar biasa.

Apakah itu artinya aku telah mencintai hantu cabul itu?

Tidak!

Aku menggelengkan kepala. Dean Nugroho pasti masih hidup. Aku bangkit dari tidurku seperti orang kesetanan. Dean Nugraha masih hidup. Ia bahkan tengah berbicara dengan... Titin.

Ya, Titin pasti tahu... Wanita itu pasti sengaja mengerjaiku dengan hipnotisnya yang ia pelajari sejak menjalani pendidikan sebagai psikiater namun gagal di tengah jalan dan banting setir menjadi make up artist. Ah, harusnya aku menyadari itu dari awal.

"Titin... Titin..." teriakku memanggil namanya. Titin berlari menghampiriku dengan kaos jersey dan keringat, sepertinya ia baru saja lari pagi.

"A-ada apa, Ma?" tanya Titin sambil mengecek kondisiku.

"Dimana Dean Nugraha?!" tanyaku padanya dengan nada mengancam dan mencengkram bahukunya dengan kuat.

Titin menatapku kembali dengan tatapan sedih. "Dean Nugraha sudah meninggal, Dee..."

"Tidak!" tukasku menatap Titin dengan tatapan tajam. "Aku tahu Dean tidak meninggal. Bukankah kemarin ia kesini, mengobrol denganmu. Dimana Dean?!"

Titin terdiam kemudian menggumam, "Dean sudah meninggal..."

"Tidak!" aku menggeleng kuat.

Titin memelukku dengan kuat seperti lilitan sebuah gurita. "Dean sudah meninggal, Ma. Papa sudah meninggal..."

Apa maksud ucapan Titin dengan memanggilku Mama dan Dean sebagai Papa?

Titin melepaskan pelukannya. "Mama... Mama harus kuat. Mama harus merelakan kepergian Papa!" teriak Titin dengan derai air mata yang mengucur deras.

Apa maksudnya?

"Tidak!" Aku menggelengkan kepalaku. "Aku bukan mamamu. Kamu adalah Titin, sahabatku!"

"Namaku bukan Titin, Ma! Tante Titin sudah lama meninggal!" teriak Titin, "Namaku Diandra. Bukankah mama yang memberikan nama itu kepadaku!"

Wajah Titin sedikit demi sedikit retak kemudian hancur tak bersisa seperti topeng yang terbuat dari tanah liat kemudian lulu lantah dan menampilkan sosok wajahnya yang asli. Seorang wanita yang tampak berada di awal dua puluhan dengan wajah yang mirip denganku namun alis dan hidungnya mirip sekali dengan... Dean Nugraha.

Tidak... semua ini pasti sebuah mimpi...

"Sampai kapan Mama seperti ini, hidup dalam halusinasi?!" tukas gadis yang tidak kukenali itu. "Mama, aku masih membutuhkan Mama..."

Aku menggelengkan kepala tidak percaya. "Tidak!"

"Dian, jangan paksa mama... bukankah dokter sudah bilang..." Seorang pria membuka pintu apartemen kami lebar-lebar.

Dean Nugraha?

Bukan... meskipun sosoknya mirip dengan Dean Nugraha tapi pria ini bukan Dean Nugraha. Aku yakin ia bukan Dean Nugraha.

"Dian sudah lelah, Kak. Sampai kapan Mama seperti ini!" teriak Titin histeris.

"Mama tidak apa-apa?" tanya pria itu dengan tatapan lembut mirip seperti tatapan Dean kepadaku sambil membantuku bangkit.

Aku menepis tangannya. "Aku bukan mama kalian!" teriakku padanya kemudian berlari sekuat tenaga. Titin dan pria itu mengejarku namun mereka terlambat ketika aku sudah memasuki lift dan pintu itu segera tertutup.

Mereka pasti berbohong?

Tidak mungkin. Mataku tiba-tiba menangkap sosok seorang wanita berusia empat puluh tahunan berdiri dengan rambut acak-acakan, mata memerah dan tampak bingung pada pantulan cermin di dalam lift. Aku menyentuh cermin itu dan wanita itu pun melakukan hal yang sama.

Apa maksudnya ini... apakah sosok itu adalah diriku?

Benarkah itu adalah sosokku?

Tidak!

Tidak!

Ini tidak mungkin terjadi.

Lift itu sampai ke lantai ground dan aku pun keluar dari lift itu dengan tubuh gemetar.

"Mama!" Titin berlari kemudian memelukku, "Maafkan Dian, Ma!"

Pria yang memiliki wajah bagai pinang dibelah dua dengan sosok Dean itu pun larut dalam tangisan Titin kemudian ikut memelukku.

"Diana..."

Telingaku mendengar suara lembut seperti dalam mimpi-mimpiku di malam hari. Kuikuti sumber suara itu berada. Aku menangkap sosok transparan Dean Nugraha kali ini tengah tersenyum lega kemudian berkata, "Jagalah anak-anak kita. Aku akan menunggumu dengan sabar, Sayang!"

TAMAT

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro