BAB 12: That Girl

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Rambut lurus yang terurai tertiup angin. Daun telinga yang bersembunyi di balik helaian rambut hitam itu menunjukkan anting mutiara putih yang tersemat manis. Michel melukis di bawah pohon rindang, mendengarkan bunyi alam yang begitu menenangkan.

Suara aliran sungai kecil yang begitu melodis meningkatkan daya fokusnya. Awan mendung berkumpul di atas kepala, memberi sedikit perlindungan dari sinar ultraviolet yang mengenai wajahnya.

Gadis itu menemukan sebuah lapangan terbuka di balik indekos dan menjadikannya sebagai tempat untuk mencari inspirasi serta menikmati pemandangan sawah yang terhampar berhektar-hektar jauhnya. Padi yang masih hijau menari-nari mengikuti arah angin yang begitu menyegarkan.

Goresan demi goresan Michel berikan ke kanvasnya. Siluet seorang wanita semakin mempertegas dirinya di atas kain putih gading nan tebal itu. Dia harus segera menyelesaikan sketsanya sebelum hari berakhir, kemudian membubuhkan warna keesokan harinya. Tinggal dua hari lagi tugasnya akan dikumpul dan dipajang dalam ruang galeri saat malam perayaan ulang tahun fakultasnya.

Teman-teman Michel yang kalang kabut akibat waktu tenggang yang dekat lebih memilih membuat lukisan abstrak—sesuai dugaan Michel. Lukisan aliran abstrak mudah dibuat, sebab mereka tinggal membuat filosofi dari setiap garis tidak karuan atau warna yang mereka pilih. Karya yang paling mudah dikerjakan saat dalam keadaan genting.

Suara ketikan pada keyboard membuat Michel menoleh ke kanan. Lea juga sedang sibuk dengan pekerjaannya. Dia sepertinya sudah mendapatkan beberapa alamat situs untuk bisa masuk ke lapisan terdalam dari Dark Web. Entah ada berapa lapis dan seberapa dalam tempat itu, Lea selalu memperingati Michel.

"Semakin dalam, semakin berbahaya. Kita seperti sedang masuk ke dalam hutan belantara dan di dalam sana sedang menunggu makhluk buas yang siap menerkam orang-orang lemah. Hukum alam berlaku di sana."

Michel tidak habis pikir mengapa Lea bisa sangat berani melakukan hal itu. Bukannya dia hanya remaja yang tidak punya bakat bela diri? Michel sempat bertanya apakah Lea pernah ikut bela diri atau tidak, dan dengan cepat dia menjawab tidak.

"Kamu tidak takut mereka akan mendatangimu? Mereka orang jahat," ujar Michel sambil mengambil cat baru dari dalam tas.

"Selama kita tidak mengganggu, mereka pun tidak akan mendekati kita. Hanya saja, di bagian terdalam didominasi maniak. Kalau mereka ... pasti akan mengejar jika kita menurunkan kewaspadaan."

Michel mencoba membuka tutup cat putih yang rapat sembari berkata, "Kamu pernah bertemu orang yang juga bermain di Dark Web?"

Lea menaikan alisnya sebelah. "Untuk apa aku bertemu dengan mereka? Hei, Dark Web itu dibuat agar para penjelajahnya tidak teridentifikasi. Masa kami membuat 'Persatuan Penjelajah Kegelapan'? Yang ada ditangkap sama polisi karena melakukan tindakan yang mencurigakan."

"Benar juga," kata Michel sembari mengayunkan tangan kanannya yang memerah di udara. Tutup cat yang Michel pegang tadi terlalu keras. Dia tidak dapat membukanya. Gadis berponi lurus itu terus mencoba memutarnya hingga urat kepalanya terlihat.

Lea yang melihatnya tersenyum miring. "Kenapa tidak minta tolong sama orang lain? Kalau kamu memang enggak bisa melakukannya, minta tolong sama orang yang mampu."

"Ah—iya, tolong." Michel menyerahkan cat minyak itu ke tangan Lea.

"Kamu terlalu memaksakan diri. Pantas saja sering stres. Berpikirlah bahwa semua manusia itu membutuhkan pertolongan dan tidak ada yang salah untuk meminta sesuatu yang memang tidak bisa kamu lakukan."

"Iya ... anu, Lea. Ada satu hal yang masih mengganggu pikiranku."

"Apa? Bilang saja."

"Ummm ... ini tentang kejadian pas kita bertemu pertama kali, saat mencari kancing. Apa kaitan dirimu dengan gadis yang menghilang satu tahun yang lalu?" Michel kembali menanyakan pertanyaan yang belum dijawab jujur oleh Lea.

Begitu banyak pertanyaan demi pertanyaan tentang siapa sebenarnya pemuda yang ada di hadapannya itu. Michel tentu masih waspada terhadap Lea, namun apa yang dikatakan Endro sebelumnya seperti sebuah berita semu yang belum tentu kejelasannya.

Bagi Michel, Lea adalah pemuda yang ada di masa akil balig. Dia masih ingin kebebasan dan sedang mencari jati dirinya. Walau dalam prosesnya, Lea terperosok ke dalam jurang obat terlarang.

Tutup cat itu akhirnya terbuka. Akibat tenaga Lea yang terlalu besar, cat berwarna putih itu muncrat ke mana-mana. "Waduh! Maaf, Lia. Aku tidak sengaja."

"Oh, tidak apa-apa. Sini aku bersihkan." Michel meraih sapu tangan yang ada di kantong celana dan segera membersihkan wajah Lea yang berlepotan dengan cat. Gadis itu sempat tidak sadar jarak antara wajah mereka sangatlah dekat.

Selang lima detik, Michel spontan mundur ketakutan. Keamanan akan dirinya semakin lama semakin menurun. Padahal dulu dia sempat takut dengan sosok Lea yang penuh misteri.

Respon Michel tadi malah membuat cowok itu tersenyum lebar. "Thanks, Cantik."

"Ihhh ... hentikan memanggilku seperti itu. Menggelikan."

Lea menghela napas dan memalingkan wajahnya ke arah laptop yang ada di pangkuannya. "Emilia—nama gadis pemilik kancing itu."

"Ah ... ternyata kamu kenal. Dia temanmu? Tetangga?"

"Pacar."

Mata Michel membelalak. Tidak percaya dengan apa yang dia dengar. "Apa! Bocah macam kau pacaran sama orang yang lebih tua!"

"Bocah? Sejak kapan aku jadi anak-anak?"

"Loh, kamu masih SMA, kan?"

Lea menatap lurus tepat ke iris kecokelatan gadis yang ada di hadapannya dan seringai lebar muncul di bibirnya. "Ya. Anggap saja aku anak SMA."

"Anggap? Sebenarnya umurmu berapa, Lea?"

"Tujuh belas tahun."

"Bohong!"

"Emang."

"Jadi berapa?"

Lea tersenyum lebar. Gigi gingsul miliknya tampak menggemaskan. "Coba cari tahu sendiri. Kalau kamu bisa menebaknya dengan tepat, uang bayaranku bakal didiskon lima puluh persen."

"Eh? Beneran? Kalau gitu, aku harus mencarinya dengan serius."

Lea tertawa terpingkal-pingkal. Dia menjatuhkan badannya ke rerumputan tinggi, menjadikannya sebagai permadani yang indah. "Ternyata ada ya, orang yang mau menerimaku apa adanya. Sekalipun diriku adalah manusia paling hina di muka bumi ini."

"Maksudmu Emilia?"

Lea kembali duduk dan menatap layar laptop tanpa menjawab pertanyaan Michel. Senyuman tulus yang terpahat di wajahnya seakan lenyap digantikan dengan senyum miring yang menakutkan. "Aku mendapatkannya."

"Dapat apa?"

"Kode kedua untuk bisa berpatisipasi dalam Everlasting Maker. Sisa satu kode lagi dan kita semakin dekat dengan 'Sang Pembuat Keabadian'."

Bukannya senang, Michel malah merasa gelisah dan takut. Pelan tapi pasti, mereka berdua akan menyaksikan sebuah tontonan paling mengerikan yang tak akan terlupakan.

Lea tentunya menyadari perubahan air muka dari Michel, sehingga dia memutuskan untuk menutup laptop dan berusaha menenangkannya. "Bagaimana dengan kencan kita? Apa kamu sudah mulai merencanakannya?"

Michel menelan ludah dan menjawab dengan tergagap-gagap, "S-sok amat jadi orang. Dikira aku mau jalan-jalan sama kamu?"

Pemuda itu menaikan bahu dan memutar bola matanya. "Ya sudah ... kamu kira, aku bakal kasih tahu informasi tentang Fela secara cuma-cuma? Anda naif sekali, ya."

Michel mengerjapkan matanya dan menatap tidak percaya ke arah Lea. "Kamu berhasil menemukan Fela?" tanyanya setengah berbisik.

"Kurang tepat, tapi ... tidak sepenuhnya salah. Aku tahu dia sedang bersama siapa."

"Sama siapa? Lea! Kumohon, beritahu aku. Janji deh, aku bakal mengajakmu ke perayaan fakultasku."

Lea yang masih sok jual mahal membuang muka, namun masih mencuri pandang ke gadis itu. "Beneran?"

"Iya, sumpah. Demi Tuhan, Lea. Apapun demi Fela dan keluarganya."

Pemuda itu bangkit dan melangkah mendekati Michel. Jarak di antara mereka mungkin hanya tersisa satu jengkal dan langsung membuat gadis itu gugup dan membatu secara tiba-tiba.

Dia bisa merasakan uap napas Lea menyentuh pori-pori wajahnya. Tinggi mereka hampir sama, hanya beda satu dua senti dengan Lea yang memimpin. Michel bisa melihat bulu-bulu halus tipis mulai bermunculan di atas bibir Lea yang cukup berisi. Semakin diperhatikan, degup jantung Michel semakin cepat dan tidak terkontrol.

Gadis itu menahan napasnya dan mulai merasa sesak. Waktu terasa begitu lambat sampai pandangan matanya perlahan berkabut.

Apa yang sedang Lea lakukan padanya? Sekarang kakinya bergetar tak karuan saking cemasnya.

"Lia ... kamu terlalu baik jadi orang. Apa urusanmu dengan keluarga Fela? Memangnya mereka akan berterima kasih kepadamu jika tahu apa yang sudah terjadi pada anak mereka?"

"A-aku memang bukan siapa-siapanya mereka. Tapi ... kehilangan orang yang disayangi, apalagi keluarga sendiri, bukannya itu sangat menyakitkan?"

"Tahu apa kamu dengan rasa kehilangan? Setiap orang punya toleransi duka yang berbeda-beda. Tidak selamanya ada yang senang mendapatkan simpati atau rasa kasihan dari orang lain."

"Lea? Kenapa kamu mengatakan hal yang sekejam itu? Tentu saja aku tahu rasanya kehilangan orang yang disayangi. Makanya aku tidak mau melihat orang lain mengalami kehancuran yang sama seperti diriku yang dahulu."

Lea memalingkan wajahnya, berjalan menjauhi Michel, kemudian merenggangkan tubuhnya, menatap ke arah matahari yang terus bersembunyi di balik awan mendung. Dari belakang, Michel seperti sedang melihat seorang pemuda yang hidup dengan penuh tekanan dengan beban yang besar di kedua bahunya.

"Oke, kita kencan saat malam perayaan," kata Lea sembari membalikan badannya dan kembali mendekati Michel. "Kamu siap mendengarnya?"

Michel menarik napas dalam dan menghembuskannya dengan panjang. "Siap."

"Ingat, ya. Aku tidak mampu menggendongmu kalau kamu sampai pingsan lagi. Kita ada di tengah-tengah persawahan."

"Iya, iya. Aku tahu. Cepat, apa?"

"Sesuai dengan dugaanmu, Fela berkaitan dengan kasus penculikan di kampus ini. Dan sialnya ... dia adalah korban yang baru-baru ini diesekusi oleh sang Pembuat Keabadian."

"Oh ... Tuhan. Ya Tuhan ... tidak ...." Mata Michel langsung basah dengan air mata dan dia mulai terisak-isak dalam diam.

"Michel, aku berjanji. Aku pasti akan melindungimu. Akan kuhentikan psikopat ini sebelum menyentuh ujung rambutmu. Pasti."

"Benarkah? Kamu tidak akan pernah meninggalkanku, ya kan?" tanya Michel dengan suara serak.

"Iya ...." Lea mengelus kepala Michel dan menghapus air mata di pipinya. "Kamu juga jangan tiba-tiba menghilang dari pandanganku, oke?"

Michel mengangguk dan memeluk Lea tanpa berpikir panjang. Lea pun membalas pelukan tersebut, seolah dia tidak rela berpisah dari gadis itu.

Aroma rumput ilalang tercium dari baju pemuda itu. Michel ingin terus mengingat hari ini ... hari di mana dia kembali merasakan pelukan hangat dari orang yang spesial dalam kehidupannya.

--- --- --- --- --- --- ---

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro