23. Jalan Cinta

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tamparan dari salah satu orang yang membencinya masih terngiang di pikiran, menjadi alarm bahwa dia harus menjauhi Adit demi keselamatan mereka berdua. Walaupun terasa berat, dia harus melakukan, membenarkan ucapan wanita itu. Nyawa Adit menjadi taruhan jika mereka kukuh untuk melawan. Belum lagi peringatan dari sang kakak pun sudah dia dapatkan. Risa belum memberi keputusan, masih berada di Bali sambil menunggu info jika Adit sudah keluar dari rumah sakit. Dia diusir oleh calon kakak iparnya saat Adit belum sadarkan diri pasca operasi. Tawaran dari Rino pun masih menjadi pertimbangan karena dia tak ingin dimanfaatkan sang kakak.

Risa terkesiap saat mesin tiba-tiba mati, membuatnya menatap seseorang yang mematikan mesin. Ken berdiri di sampingnya sambil mengulurkan ponsel.

"Adit," ucap Ken singkat.

Adit?

Tangan Risa bergerak ragu menerima benda pipih itu. Antara senang dan sedih mendengar nama laki-laki itu dan sudah sadarkan diri. Dehaman keluar dari rongga mulut Risa untuk memastikan sang penelepon jika dia siap mendengarkan.

"Aku tunggu di rumah sekarang juga," ucap Adit membuka obrolan sekaligus perintah.

"Tapi-"

Sambungan telepon terputus sepihak, membuat Risa menatap layar ponsel. Adit sengaja mematikannya agar tidak mendapat penolakan dari gadis itu. Pilihan sulit untuknya antara datang dan tidak sama sekali. Tetapi hatinya mengatakan hal lain.

"Datangi atau tidak sama sekali dan lanjutkan hidupmu tanpa Adit."

Kalimat itu sontak membuat Risa menatap sumber suara. Ken masih sibuk dengan alat di tangannya. Setelah diusir dari rumah sakit, Risa tak kembali ke rumah, melainkan menumpang di tempat Ken. Selain Adit, Ken lah yang menolongnya.

"Apa aku harus menemuinya?" tanya Risa meminta pendapat.

"Untuk apa kamu masih di sini jika tujuannya bukan untuk dia?" Ken bertanya balik tanpa menatap lawan bicara.

Risa mengulurkan ponsel pada pemilik. Ponselnya sengaja dimatikan untuk menghindari telepon masuk dari orang-orang yang mencarinya. Tempat persembunyiannya aman dari mata-mata.

"Aku akan menemuinya." Risa memberi keputusan untuk menemui laki-laki yang menunggu kedatangannya.

"Keputusan yang tepat."

Anggukan kepala serta senyum tipis diberikan oleh Rista, meletakkan celemek pada tempatnya, lalu beranjak keluar dari ruangan itu untuk menemui Adit. Pilihan yang dia ambil sudah dirasa benar, karena selama ini Adit lah yang menolongnya. Dia harus menemui Adit karena luka yang dialami bersumber darinya.

Sebelum keluar dari kafe, Risa menarik napas dalam untuk menenangjan hatinya yang gelisah. Pintu segera dibuka, lalu melangkah keluar lewat pintu belakang. Pemandangan rumah milik Adit bisa terlihat dari posisinya saat ini.

"Mbak Risa."

Sapaan itu membuat Risa menghentikan langkah, lalu membalikkan tubuh. Seorang lelaki berdiri di belakang tubuhnya. Wajah lelaki itu tak asing.

"Saya disuruh Pak Adit buat antar Mbak sampai rumah," ungkap lelaki itu.

Risa baru menyadari jika lelaki itu adalah karyawan Adit yang bekerja di tempat gym. Untuk berjaga-jaga Adit menyuruhnya walaupun jarak  antara kafe milik Ken dan rumahnya tak sampai seratus kilometer. Tanpa bantahan Risa hanya mengangguk, berjalan menuju rumah Adit diikuti lelaki itu. Suasana halaman rumah Adit terlihat sepi.

"Apa tidak ada orang selain Adit?" tanya Risa saat tiba di depan pintu gerbang.

"Pak Adit pulang sendiri dari rumah sakit, Mbak."

Di mana keluarganya? Terutama wanita itu?

"Pak Adit sudah menunggu di dalam. Saya akan langsung ke tempat gym setelah memastikan Mbak Risa masuk ke dalam."

Pikiran Risa buyar. "Oh, iya," balasnya gugup.

Pintu gerbang sudah terbuka. Risa melangkah masuk ke dalam, mengamati halaman rumah. Beberapa hari tak pulang ke rumah itu membuatnya rindu, terutama pada sosok yang ingin bertemu dengannya. Berulang kali Risa menarik napas untuk menenangkan hatinya yang gugup. Padahal baru beberapa hari tak bertemu dengan Adit, tapi seperti sudah lama tak bersua dengan lelaki itu. Rasa rindu pada rumah itu pun ikut membayangi.

Langkahnya terhenti saat tiba di depan pintu kamar tujuan. Risa kembali menarik napas dalam, menyiapkan hati untuk menemui lelaki di dalam sana. Setelah hatinya cukup tenang, dia menyentuh handel pintu, lalu mendorongnya perlahan. Sosok lelaki yang dia cari terlihat sedang duduk bersandar pada kepala ranjang sambil membaca buku.

"Masuk saja," ucap Adit tanpa mengalihkan perhatian.

Risa melangkah masuk ke dalam kamar itu, berjalan perlahan menghampiri ranjang. Perban terlihat menempel di atas pelipis kiri lelaki itu. "Bagaimana keadaanmu?" tanya Risa basa-basi.

"Seperti yang kamu lihat." Adit menutup buku, meletakannya di atas nakas.

"Aku minta maaf karena sudah membuatmu seperti ini. Aku juga berterima kasih karena kamu sudah menolongku dari tabrakan itu." Kepala Risa menunduk.

"Kenapa masih di Bali? Bukankah Rino meminta kamu untuk ke Jakarta? Kenapa kamu membuang kesempatan itu?" tanya Adit mengalihkan obrolan.

"Aku memikirkan kondisi kamu, tetapi kenapa kamu justru memikirkan warisanku? Kamu hampir kehilangan nyawa, Adit." Raut Risa terlihat kesal.

"Apa jangan-jangan kamu mulai cinta sama aku?"

Mata Risa seketika membulat. "Tidak," tolaknya keras.

"Buktinya kamu menolak tawaran Rino. Kamu masih menunggu kabar tentang kondisiku. Dan yang terakhir saat ini. Kamu datang menemuiku."

"Aku memiliki alasan melakukan semua itu. Kamu salah jika mengira aku mulai jatuh cinta denganmu." Risa masih mengelak.

"Apa alasan dari semua itu?"

"Aku menolak tawaran Kak Alex karena tidak ingin dimanfaatkan olehnya. Dia mendatangiku karena apa yang dia miliki terancam, maka dari itu dia meminta untuk berdamai. Aku tidak menolak sepenuhnya. Aku bisa ke Jakarta kapan saja."

"Alasan selanjutnya?"

"Aku menanti kabar tentang kondisimu karena merasa bersalah. Kamu seperti ini karena menolongku dan aku tidak mungkin tenang jika belum mendengar kabar tentang kondisimu," tambah Risa.

"Lalu?"

"Aku datang ke sini untuk berterima kasih karena kamu sudah menolongku, sekaligus minta maaf karena sudah membuatmu seperti ini. Dan aku ingin memastikan rencanamu selanjutnya."

"Jadi kamu masih mengharapkan pernikahan itu?"

"Bukankah itu perjanjian kita?"

"Pergilah. Aku nggak mau melibatkanmu terlalu jauh, apalagi mengancam nyawamu."

"Jadi kamu menyerah setelah banyak yang sudah kamu korbankan? Bagaimana dengan persiapan pernikahan kita? Kamu sudah banyak mengeluarkan uang. Terutama sandiwara kita. Wanita itu akan merasa menang dan merasa jika kembali memiliki kesempatan untuk mendapatkanmu. Apa kamu tidak berpikir sampai ke arah itu?"

Adit menarik lengan gadis yang masih berdiri di samping ranjang, membuat gafis itu panik dan terjerembab di atas tubuhnya. Senyum menghiasi paras tampan Adit karena berhasil membuatnya jatuh dalam pelukan. Meski merasa sakit pada luka jahit di lengannya, tapi setidaknya rasa rindu pada gadis itu terobati.

"Apa yang kamu lakukan? Kamu masih sakit, Adit?" Risa berusaha memberontak.

"Bisa diam sebentar? Kalau kamu memberontak justru akan membuat lukaku semakin sakit."

Gerakan Risa terhenti. Jangan sampai apa yang dia lakukan semakin membuat luka di tubuh Adit parah. Suasana mendadak hening. Kaki Risa terangkat untuk sempurna terbujur di atas ranjang. Suara detak jantung begitu terasa di telinganya. Kepala Risa terangkat untuk memastikan. Adit terlihat memejamkan mata. Pelukan Adit pun tak terasa erat seperti saat dia berusaha memberontak.

Apa dia tidur? tanya Risa dalam hati.

Dengkuran halus terdengar dari arah mulut Adit, membuat Risa menyungging senyum. Wajah tampan Adit membuatnya terusik. Risa kembali menggerakkan tubuh untuk merenggangkan pelukan. Kepalanya bertumpu pada lengan kokoh Adit. Posisi Adit yang menunduk, membuat Risa mudah untuk menatap wajah Adit keseluruhan. Dijelajahi wajah tampan lelaki yang masih memeluknya.

"Jangan pergi," ucap Adit lirih.

Dia belum tidur? Atau hanya mengigau? Risa masih menatap wajah lelaki di hadapannya yang terlihat pulas.

Kesempatan untuk menjelajah wajah Adit memang langka. Hanya menatap saja terasa tak puas seperti candu bagi yang menatap. Risa membiarkan suasana hening, menikmati setiap inci wajah Adit yang menenangkan. Senyum menghiasi rautnya, merasa beruntung bisa mengamati dengan puas wajah Adit.

***

Mendapati wanita yang menemaninya tidur tak ada, Adit beranjak duduk, menatap sekitar. Tanda-tanda keberadaan Risa sangat jelas jika gadis itu tak ada di kamarnya. Dia bergegas turun dari ranjang untuk keluar kamar, mencari keberadaan Risa. Langkah kakinya seketika terjeda karena merasa sakit pada area luka jahit di lengan. Goresan benda tajam membuat lengannya terkoyak. Dia mengabaikan rasa sakit di lengannya, melanjutkan langkah untuk keluar dari kamar.

Suara pintu kamar terbuka membuat gadis yang sedang berkutat di dapur menjeda aktivitas, menatap ke sumber suara. Terlihat sosok Adit keluar dari kamar dengan raut menahan sakit. Dia langsung meletakkan benda yang ada di tangan ke atas meja, bergegas menghampiri Adit.

"Kamu mau ke mana? Kenapa kamu keluar dari kamar? Kamu masih belum boleh banyak bergerak, Adit." Risa terdengar panik.

Mendengar suaranya membuat rasa khawatir di hati Adit mereda. Ternyata gadis itu masih di rumahnya dan sedang memasak di dapur.

"Aku bosan di kamar. Aku mau keluar buat cari angin," kilah Adit.

"Bosan? Bukankah kamu baru pulang beberapa jam yang lalu? Apa AC di kamarmu mati sehingga membuatmu kepanasan?"

"Intinya aku ingin keluar dari kamar."

Raut Risa terlihat bingung melihat tingkah lelaki di depannya yang aneh. Dia segera menyentuh lengan Adit untuk membantunya menuju ruang makan.

Dia terlihat kesakitan, tetapi masih kukuh untuk keluar kamar. Apa keluar kamar lebih penting dari pada kesehatannya? tanya Risa dalam hati karena melihat ekspresi Adit menahan sakit.

"Aku pikir kamu membohongiku," ungkap Adit.

Bibir Risa menyungging senyum. Kalimat itu seakan menjadi ungkapan jika Adit takut kehilangannya. Raut panik saat Risa tak ada di sampingnya menjadi bukti.

"Kenapa kamu diam? Apa ucapan aku menyinggung?" tanyanya karena tak mendapat jawaban, lalu duduk di kursi.

"Kamu menuduhku jika sudah mencintaimu, tapi kata-katamu baru saja menunjukkan jika kamu yang takut kehilangan aku." Risa meninggalkan ruang makan setelah lelaki itu duduk.

"Kamu masak apa? Aku sudah lapar." Adit mengalihkan topik.

Senyum di bibir Risa semakin lebar kala mendengar alihan obrolan dari lelaki itu. Jika dia memiliki alasab untuk kembali bertemu dengannya, berbeda dengan Adit yang terlihat salah tingkah saat disindir mengenai perasaannya. Apakah mereka kembali bertemu karena cinta?

Sup yang sudah dituang ke mangkuk segera disajikan pada sang pemilik rumah yang sedang dakit. "Aku memasak sup kesukaanmu agar kondisimu cepat pulih."

Tanpa berkata Adit langsung menyantap sup yang sudah tersaji di hadapannya. "Aku sangat rindu masakan rumah. Beberapa hari makan masakan rumah sakit bikin selera makanku turun," ucapnya di selam menyantap.

"Sebagai rasa terima kasihku, setiap hari aku akan memasak untukmu sampai keadaanmu membaik."

"Aku pegang ucapanmu."

"Eum ... bagaimana dengan tempat tinggalku?"

"Kamu akan tetap tinggal di sini."

"Bagaimana keluargamu?"

"Aku sudah bukan lagi anak mereka. Hubunganku dengan mereka sudah putus. Terutama Fanya. Aku pastikan jika dia tak akan lagi mengganggumu."

"Apa pelakunya sudah tertangkap?"

Gerakan Adit seketika terhenti. Sejenak suasana hening. Dia sudah tahu siapa pelakunya, tetapi dia tak mungkin melapor pada pihat berwajib, dan dia tak mungkin bercerita pada Risa. Gelengan kepala terpaksa dia berikan, lalu tersenyum tipis.

"Bagaimana dengan rencana kita?" Risa memastikan.

"Jawabannya ada di kamu. Rencana sebelumnya masih belum dibatalkan. Aku menunggu keputusanmu. Kalau kamu masih ingin rencana sebelumnya, maka lusa kita akan menikah. Tapi kalau kamu ingin rencananya diubah, maka kita akan membuat rencana baru."

"Kamu sudah mengeluarkan banyak uang untuk rencana pernikaham kita. Akan disayangkan jika dibatalkan atau diundur. Jika kamu membuat rencana baru, maka akan kembali memakan waktu dan uang."

"Apa jawabanmu?"

"Lanjutkan."

"Kamu yakin?"

"Sejak awal aku sudah yakin. Lagi pula, kita menikah hanya pura-pura. Hanya untuk membantu kamu dan menguntungkan aku agar tidak dikejar mamaku."

"Bagaimana kalau pernikahan kita sungguhan?"

"Apa maksud kamu?"

Senyum miring menghiasi wajah Adit tanpa menatap lawan bicara yang sedang menatapnya menanti jawaban.

"Kamu sedang bercanda?"

"Mungkin," balas Adit singkat.

Menyebalkan. Kenapa dia menjawab seperti itu?

Adit beranjak dari kursi setelah makanan di dalam mangkuknya habis. Gerakannya membuat Risa ikut beranjak, lalu bergegas menopang lengan Adit karena keseimbangan lelaki itu goyah. Tatapan mereka bertemu. Sejenak suasana hening. Keduanya menyelami bola mata satu sama lain.

"Aku setuju kalau pernikahan kita tanpa sandiwara," ungkap Risa.

Ungkapan itu membuat Adit kembali kehilangan keseimbangan, tapi untung saja Risa masih merangkul lengannya.

"Apa aku nggak salah dengar?" Adit memastikan.

"Bukankah kamu menginginkannya?"

Risa terkesiap saat tubuhnya ditarik, lalu berlabuh pada dada bidang Adit. Senyum terukir di bibirnya saat sudah dalam pelukan lelaki itu. Walaupun sejak awal kedekatan mereka karena keuntungan satu sama lain, tapi pada seiring berjalannya waktu, cinta tumbuh di hati keduanya. Perpisahan sementara membuat mereka sadar bahwa cinta memang sudah tumbuh di hati satu sama lain. Terutama karena pengorbanan yang sudah mereka lakukan.

***

Nikah nggak, nih?
Gimana kalo ga jadi nikah lagi?
*digampar pembaca. Wkwkwk

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro