Eza's Home

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Dia adalah pemain sandiwara yang ulung, dalam satu tarikan senyum ia bisa mengelabui semua orang."

- Eza Harudi -

🍀

Feya tiba di rumah Eza. Tak jauh dari rumah pak Irdan, hanya dua blok. Masuk akal kenapa Eza cepat sampai tadi.

Berbeda dengan pak Irdan yang menampilkan nilai estetika, rumah Eza mengusung tema nyaman dan hangat. Ornamen-ornamen kayu menjadi ciri khas rumah tingkat dua tersebut. Siapapun yang memilihkan cat dan furniture di rumah ini, tentu ia orang yang piawai untuk urusan desain interior.

Begitu masuk ke dalam rumah, Feya diserang oleh keimutan kucing milik Eza. Dia adalah kucing jenis Anggora berbulu putih dan hitam. Kucing itu bisa mengenali bau majikannya bahkan saat Eza belum masuk ke pintu.

Meong!!

Kucing itu bergelung di sekitar kaki Eza. Feya menganga takjub oleh kelucuan hewan satu itu.

"Aaa~ kawaiii!!"

Feya mengusap kepala si kucing, ia melompat manja, seperti tahu gadis ini adalah kesayangan majikannya, ia pun harus memikat hati si gadis pujaan.

Eza menggendongnya manja. Entah sudah berapa kali kucing itu digendong lengan kekar Eza, hari itu Feya tiba-tiba merasa cemburu pada seekor kucing.

"Siapa nama kucingnya?" tanya Feya.

"Aru," jawab Eza singkat tanpa melirik Feya. Sekarang perhatiannya jatuh pada kucing yang berada di lengannya.

"Aru?" Feya mengulang. Ada yang lain dari Feya, suaranya berubah lesu ketika nama itu disebut.

Sadar perubahan yang terjadi pada Feya, Eza mengerutkan kening. Bertanya hati-hati.

"Kenapa Feya?"

"Iie~ namanya lucu... Aru!" Feya tersenyum. Senyum dipaksakan. Eza bisa merasakan ada yang aneh dengan itu, tapi ia tak bisa menebak dengan pasti.

"Kaichou, katanya ada anjing juga?"

Cepat sekali Feya mengubah moodnya. Secara ajaib pula Eza melupakan kejadian yang nantinya akan berpengaruh pada Feya di masa depan. Feya adalah pemain sandiwara yang ulung, dalam satu tarikan senyum ia bisa mengelabui semua orang.

Eza mengajak Feya ke halaman belakang rumahnya. Saat itulah Feya bertemu dengan ibunya Eza. Dia adalah seorang wanita paruh baya yang ramah dan penuh gairah. Sinar matanya mencengkeram siapapun yang melihat. Namun dibalik itu, ada senyum sumringah yang tak lepas ia suguhkan pada Feya.

"Eh, siapa neng cantik ini?" ibu Eza menggunakan logat sunda yang kental.

Saat itulah Eza merasa perlu mengenalkan keduanya, di sana... di halaman belakang rumahnya.

"Ini Feya Ryuuna, bunda. Dan Feya... ini bundaku," Eza mengenalkan satu sama lain.

Feya mencium tangan ibunya Eza. Feya mendapat perhatian penuh dari ujung kaki sampai kepala.

"Ini... pacarnya Eza?" tanya ibu Eza polos.

"Bukan bun, tapi ya... kalau kelihatannya cocok boleh lah pacaran juga," sahut Eza mendapat cubitan kecil di lengannya.

"Cantik loh kamu, bunda ga keberatan Eza punya pacar cantik kaya neng ini, apalagi kalau jadi mantu."

"Ah, arigatou~" Feya menunduk malu-malu.

Ucapan Feya barusan membuat telinga ibu Eza sedikit awas. Intonasi juga wajah oriental Feya meyakinkan jelas kalau dia bukan berasal dari pribumi.

"Feya orang Jepang bun, baru beberapa bulan pindah ke sini," Eza merasa perlu menjelaskan.

"Euleuh, pantesan. Za, kenapa ga diikat aja neng cantik ini, keburu sama orang lain."

Feya dan Eza saling berpandangan. Mereka sudah tahu alasannya, tapi rasanya tidak perlu sampai ibu Eza tahu.

"Aaahh bun, ngaco aja ngomongnya."

Eza memeluk bahu ibunya dan meminta mereka diberikan waktu berdua. Ibu Eza belum puas menatap wajah cantik Feya, ia berdalih dari dulu ingin punya anak perempuan seperti Feya. Kedatangan Feya seperti jawaban dari doanya.

Feya memperhatikan Eza dan ibunya yang saling ngotot antara ibu Eza harus pergi dari halaman belakang atau tidak. Feya memegangi dadanya, ada secuil kisah yang membuat ingat pada ibu kandungnya. Tapi semakin dalam ia mengingat, makin sesak rasanya. Feya memutuskan untuk berhenti, ia senyum sendiri meskipun tidak ada siapapun yang memperhatikan senyumannya.

"Yaudah, bunda ke dalam buatin minum ya. Nanti bunda kesini lagi. Bunda kan pengen berduaan sama Feya juga," ucap ibu Eza seraya masuk ke dapur.

Eza menghampiri Feya. Mendesah tapi wajahnya sumringah.

"Bunda emang suka sama anak perempuan. Kadang kalau lagi iseng bunda sering mendandani aku kaya perempuan. Pake kutek lah, rambut diikat lah, atau pake lipstik... hufff!"

"Lucu yah, Kaichou akrab sama bunda?"

"Habisnya, aku cuma punya bunda. Ayah meninggal waktu aku kecil. Bunda menyulap diri biar bisa merangkap jadi ayah juga. Dia itu porosku, sumber segalaku."

"Sugoiiii~ aku juga mau punya bunda kaya Kaichou."

"Yaudah, bundaku jadi bunda kamu juga. Bundanya juga suka sama kamu, kan?"

"Emangnya boleh?"

"Boleh lah, bunda pasti seneng tuh."

Mereka duduk di sebuah ayunan dari besi yang tergantung kokoh dekat pohon. Anjing Eza keluar dari kandangnya, seperti memberi salam pada tamu istimewa.

"Bener bener, deh! Kaichou enak banget punya keluarga yang hangat. Ada bunda, ada kucing, ada anjing. Semuanya baik-baik, lagi!"

"Tertarik masuk jadi anggota keluargaku? Aku sih seneng aja."

"Ha ha ha, apa Kaichou baru aja melamar aku?" kata Feya sedikit bercanda. "Aku maunya sama Rean-kun."

"Huh, dia lagi. Setidaknya kalau di rumah aku jangan bahas dia dong."

Feya menjulurkan lidah. Tertawa berbarengan dengan ibu Eza yang datang memberikan minum.

Setelah itu mereka terbawa suasana hangat khas keluarga Eza Harudi. Mereka mengisi kunjungan pertama Feya dengan bernyanyi-nyanyi di halaman belakang. Eza sengaja mengambil gitar di kamarnya demi bisa menciptakan konser mini.

Banyak lagu yang mereka mainkan. Tertawa dan saling bersenda gurau. Hingga tiba giliran adzan berkumandang, Eza pamit sebentar untuk sembahyang. Feya menunggunya di halaman belakang bersama anjing dan kucing.

Feya meraih gitar Eza, memainkan denting secara asal. Feya memperhatikan bagian belakang gitar, ada sebuah stiker yang menempel di sana. Feya meneliti, ia kenal gambar stiker itu. Gambar yang sama dengan foto berpigura di kamar Rean. Foto dua anak yang berangkulan.

Feya terdiam. Ia menemukan satu kesimpulan, bahwa dua laki-laki itu masih bertautan. Hati mereka masih terhubung, tapi raga mereka tidak.

Diusapnya stiker sebesar kartu remi itu. Seandainya bisa, ia ingin menyulap kerenggangan mereka tak pernah terjadi. Dan melihat bagaimana Rean-nya melengkungkan senyum.

🍀

Feya pamit pulang pada ibu Eza. Eza sudah janji akan mengantar Feya sampai ke rumah. Terjadi adegan peluk-pelukan antara Feya dengan ibu Eza. Feya diwanti-wanti untuk sering datang ke sana. Mau jadi teman atau sekalian jadi pacar Eza, ibu akan senang menyambutnya.

"Sayonara~ bunda!" Feya sudah leluasa memanggil ibu Eza dengan sebutan itu. Eza senyum-senyum sendiri. Seperti pacar sungguhan, pikirnya.

Eza menggunakan motor sebagai kendaraan mereka pulang. Motor melaju dengan kecepatan sedang, sesekali mereka berbincang meskipun harus saling berteriak. Suara mereka terhalang helm full face milik Eza.

Setengah jalan, Feya bilang kalau dia mengantuk. Feya dekatkan kepalanya di punggung Eza, menjadikannya bantalan empuk.

Dan kali itu, Feya melingkarkan tangannya ke perut Eza. Menyesap aroma tubuh Eza yang selalu menenangkan setiap saat. Tidak tahu karena Feya sangat mengantuk, atau karena terbuai aroma tubuh Eza. Feya terlelap di belakang punggung Eza.

Sementara itu, Eza harus bergulat dengan debaran di dadanya. Lingkaran tangan di perut Eza membuat beberapa syarafnya berhenti berfungsi. Untungnya mereka tidak sedang bertatap muka, kalau iya, Eza akan malu karena pipinya merah merona. Ia senang bukan main.

Tak berapa lama mereka telah sampai di depan rumah Feya. Feya turun dari motor dan membuka helm-nya. Eza memperhatikan Feya tiap detiknya, tanpa berkedip, ekspresi datar dan ambigu.

"Kaichou? Nani?" tanya Feya sambil mengibaskan tangannya.

Eza sadar dari lamunan. Ia tersenyum dan menggelengkan kepala. Percaya atau tidak, ia berkhayal Feya menyalami punggung tangannya sebagai perpisahan. Eza selalu ingin melakukan itu bersama wanita sah-nya.

"Engga, kamu masuk sana. Nanti Yicky marah, pagi tadi kamu pergi ga bilang-bilang, kan?" Eza mengalihkan perhatian.

Mereka diam cukup lama, saling berpandangan dan memanfaatkan waktu untuk memonopoli tatapan mata.

"Feya..." desis Eza.

"Ng?"

"Aku ingin pegang tangan kamu," seru Eza membuat Feya terpaku. Meskipun Eza berani mengatakannya, tapi ia tertunduk malu. Merasa bodoh kalimat tersebut keluar dari mulutnya.

Namun, Feya menangkap maksud Eza dengan baik. Diraihnya tangan Eza. Dan selanjutnya, apa yang Eza bayangkan terjadi detik itu juga. Feya menyalami punggung tangan Eza, lengkap bersama salam yang sering Eza ucapkan.

"Assalamualaikum!"

Eza melongo. Raganya seperti dicabut tiba-tiba. Antara senang dan bingung bercampur jadi satu. Feya memiringkan kepalanya, heran karena Kaichou-nya tidak melakukan apapun selain melotot kaget.

"Feya..." Eza menelan ludah. "Aku jadi makin suka kamu nih."

Hari telah menampakan senja yang menyegarkan. Dua insan itu merasa hangat oleh kemilaunya. Lewat tatapan atau senyum yang manis, sore itu mereka klaim sebagai sore milik mereka. Dan selamanya akan Eza ingat sebagai masa termanisnya.

🍀

F I N

======================

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro