He is...

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Menyadari selalu seperti itu, kau baru tersadar saat kau tidak bisa berbalik."

- Rean Kainand -

🍀

Bel pulang sekolah berbunyi.

Rean dan Feya keluar kelasnya bersamaan. Feya melambaikan tangan, Rean membalas dengan tersenyum. Keduanya berjalan ke arah titik temu, tepat di tengah kelas Feya-Rean yang berseberangan.

Feya mencari telapak tangan Rean, kemudian saling meremasnya seolah tidak ingin melepas tangan satu sama lain.

"Iku yo!"  (1)

Mereka berjalan di selasar kelas X. Feya berdendang lagu yang tidak Rean tahu, kaki-kakinya berjingkrak kegirangan. Lagi dan lagi Rean hanya tersenyum melihat ulah Feya.

Langkah mereka terhenti, seseorang memanggil nama Rean. Keduanya menoleh ke sumber suara.

"Bu Kimmy panggil kamu ke ruang guru!" serunya menyampaikan amanat.

Rean dan Feya saling bertatap. Mereka tak ingin berpisah. Jam pelajaran cukup menghabiskan waktu mereka untuk saling merindu. Terpaksa mereka harus terpisah lagi karena panggilan tersebut.

"Kamu tunggu di halte aja ya," perintah Rean mendapat anggukan kepala dari Feya.

"Jangan lama-lama," Feya sudah sangat rindu Rean.

Rean mengacak rambut gelombang Feya, kemudian melangkah ke ruang guru yang berseberangan dengan jalan pulang. Feya sempat melambaikan tangan dan menyuguhkan senyum bak bulan sabit.

Di ruang guru, Rean menghampiri meja bu Kimmy, nampaknya sudah ada seseorang di hadapannya. Orang itu memutar lehernya ke belakang, mengikuti langkah kaki Rean yang makin mendekat. Dia Eza Harudi.

Bu Kimmy seolah telah menyiapkan pertemuan sore ini. Ada dua kursi yang pas dengan jumlah mereka sekarang. Dan bu Kimmy nampaknya belum memulai percakapan sampai Rean datang dan pertemuan dinyatakan lengkap.

Rean menggeser kursi agak menjauh dari Eza. Karena beberapa hal ia masih marah dengan Eza. Ia malas berurusan dengannya.

"Nah, Rean... Eza... karena kalian sudah datang, ibu akan mengatakan maksud ibu panggil kalian kemari," bu Kimmy membuka dialog sambil menyerahkan selebaran dengan gambar piano sebagai backround utama.

"Satu bulan lagi ada pertandingan piano. Sekolah kita ditunjuk sebagai perwakilan kota. Ibu rasa kalian paham kenapa dipanggil kemari," bu Kimmy menggantung kalimatnya. Dan ya... Eza ataupun Rean sangat mengerti. Bu Kimmy dekat dengan pak Irdan, sangat mudah baginya merekomendasikan dua genius musik di kelasnya.

"Aku ga ikut. Kenapa bukan Eza aja, dia lebih mampu ikut lomba semacam itu daripada aku," potong Rean tanpa menatap mata Eza di sebelahnya.

"Eza bagus. Ibu memang merekomendasikan dia untuk ikut lomba seakbar itu, tapi...  ga ada salahnya kamu mencoba juga kan, Rean?"

"Aku? Engga, aku ga akan cocok. Aku belum pernah tampil di depan orang banyak atau ikut lomba-lomba macam itu. Biar Eza aja," Rean menoleh Eza. "Kamu senang kan, aku menunjukmu?" cibir Rean. Dan Eza membalasnya dengan delikan tajam.

"Bagaimana kalau kalian berdua ikut, kalian bisa melakukan duet," saran bu Kimmy.

"Duet? Engga akan!" tanpa sadar Rean dan Eza mengatakannya berbarengan. Mereka bertatap satu detik, kemudian sama-sama memalingkan muka ke arah lain.

"Kenapa, kalian berdua bagus. Dan ibu dengar dari pak Irdan kalau kalian beberapa kali melakukan duet piano. Kalian bisa menang mudah dengan itu," bu Kimmy masih antusias.

"Bu, itu waktu kami masih kecil. Sekarang kami tidak pernah main bersama lagi," timpal Eza.

"Tinggal berlatih aja, mudah kan?" bu Kimmy menyeringai.

Rean mendengkus, baginya orang dewasa selalu seperti itu, sok tahu, sok bisa mendamaikan, padahal tidak lebih baik dari anak-anak sepertinya.

"Maaf, aku ga ikut. Eza aja yang jadi perwakilannya." Rean berdiri dari kursi.

"Rean, kita belum selesai bicara, duduk sampai ibu bilang kamu boleh keluar," bu Kimmy berusaha tegas.

Bukan Rean namanya kalau harus semudah itu menuruti perempuan yang bisa saja nanti jadi keluarganya, calon tantenya.

"Bu, aku punya banyak PR, sampai malam PR-ku ga akan habis kalo ibu tahan aku di sini," rengek Rean.

"PR-mu ga sebanyak itu Rean, dan ibu yakin kamu bisa menyelesaikannya dengan cepat meskipun kita bicara sampai magrib di sini."

"Magrib? Oh.. bu, aku ga punya waktu sebanyak itu. Ada yang menungguku di luar."

"Siapa? Kenapa ga kamu suruh masuk aja."

"Paling pacarnya." Eza bantu jawab sambil pura-pura batuk. Rean menghunuskan tatapan tajam ke arah Eza. Eza membalasnya dengan seringai senyum mengejek.

"Rean, dia bisa menunggu. Ayolah, kalian udah sering bersama. Atau... kamu mau Feya ikut kemari?" kata bu Kimmy.

Rean menimang sebentar. Dan jawabannya... tidak. Dia tidak mau menyatukan Feya dan Eza dalam satu ruangan. Rean duduk dengan gusar. Kesal dalam versinya.

Bu Kimmy menghela napas, kemudian melanjutkan dialog mereka bertiga.

🍀

Sementara itu, di halte sana Feya menunggu sambil mengayun-ayun kaki. Tatapan matanya tidak lepas dari gerbang sekolah yang hanya berjarak 200 meter dari halte. Setiap siswa yang keluar dari sana tidak lepas dari tatapan Feya. Feya berharap Rean yang keluar, sudah 30 menit dan ia belum juga bertemu dengan sang pujaan.

Feya mengerucutkan bibir, ayunan kakinya makin keras, ia makin bosan. Feya membuang muka ke arah lain, kepalanya mulai pegal terus menoleh ke tempat yang sama. Ia melakukan senam kilat di kepalanya.

"Feya!" seru Sairudi yang baru datang di halte. "Nunggu siapa?"

"Rean-kun, dia ke ruang guru dulu, tadi!" jawab Feya jujur.

"Oh, mau kutemani? Sampai bus datang, ya?"

Feya mengangguk. Sairudi duduk di sebelahnya. Sejurus kemudian mereka terlibat dalam percakapan yang cukup seru. Sairudi bilang ia punya koleksi foto Feya waktu tempo lalu jalan bersama-sama.

"Waaa~ aku mau lihat," seru Feya dengan mata berbinar.

"Nanti ya, udah aku cetak tapi ga kubawa. Ada di rumah, besok aku kasih ke kamu."

"Kyaaa~ apa di situ Feya-nya cantik, apa pipiku kelihatan gendut?" Feya bertingkah lucu dengan menekan kedua pipi sambil memajukan bibir mirip bebek. Sairudi spontan tertawa.

"Kamu selalu cantik kok, Feya!" puji Sairudi. "Kak Rean pasti beruntung punya pacar secantik kamu."

Feya tersenyum. "Sai-kun jangan iri ya, aku udah memilih jadi pacarnya Rean-kun, titik tanpa koma."

"Iya iya, tahu. Kalian serasi, kok. Aku atau siapapun ga ada yang bisa pisahin kalian berdua."

Mereka tertawa bersama. Sairudi selalu bisa tertawa seperti itu bila bersama Feya. Kalau diibaratkan, Sairudi adalah Feya versi laki-laki. Bedanya Sairudi tidak akan berjingkrak-jingkrak kalau berjalan.

Tak terasa, bus Sairudi tiba. Mereka melakukan perpisahan singkat dengan saling melambaikan tangan. Bahkan saat Sairudi berada di dalam bus pun, mereka masih saling melambaikan tangan. Pertemanan mereka memang seperti dua anak manis yang polos. Tanpa beban, tanpa pikiran.

Bus melaju. Badan bus mulai meninggalkan halte dan Feya yang masih setia menunggu. Feya memandangi ekor bus yang membawa Sairudi pulang. Kemudian matanya menuju sisi jalan yang berseberangan halte.

Di sana matanya terkunci untuk melihat seorang pria dengan kamera. Itu bukan Sairudi, ia baru saja pergi dengan bus. Pria itu menutup sebagian wajahnya dengan kamera DSLR, jelas itu kamera yang lebih besar dari Sairudi.

Aneh, mata Feya seolah tidak bisa beranjak darinya. Tiap gerak-geriknya berhasil tersoroti mata bulat Feya. Dan tanpa sadar Feya mulai menonton pria itu tanpa berkedip.

Lalu...

Pria itu menurunkan kameranya ke dada. Pria itu tertunduk melihat layar kamera. Ia melakukan sesuatu dengan jemarinya, mungkin menghapus atau mengedit bagian tertentu.

Di halte sana, Feya tercengang. Matanya membulat penuh dengan pupil mata mengecil. Jarak tepi jalan satu dan yang lain terbilang jauh, namun Feya bisa melihatnya dengan jelas. Wajah itu. Wajah yang ia rindukan.

Feya berdiri dan tersentak. Hampir saja ia tidak bisa mengendalikan napasnya dengan benar. Feya memegangi dadanya yang mulai berdegup kencang. Dan... ia berlari.

Tidak peduli banyak mobil berlalu lalang di hadapannya, Feya menerobos jalanan ramai seolah punya seribu nyawa. Fokus Feya hanya satu, hanya pada pria berkamera yang mulai beringsut untuk pergi. Feya mempercepat langkahnya, mengabaikan klakson mobil yang protes atas kecerobohannya. Ia hanya berlari, tidak mau orang itu pergi lagi.

"Oniichan! " serunya.

Pria yang diteriaki itu mengerem kakinya, berbalik badan pada sumber suara. Dan begitu ia berbalik, Feya sudah memeluk tubuhnya. Pria itu sempat terpental, untungnya ia bisa menahan dengan kedua kaki hingga mereka berdua tidak usah jatuh ke tanah.

Pria itu menoleh ke arah Feya, matanya sama membelalak seperti Feya waktu pertama kali melihatnya.

"Feya... kenapa kamu... di sini?"

Feya menggeleng-geleng di dada pria itu, air matanya merembes ke kaus tipis si pria yang dipanggilnya oniichan.

Ya... dia adalah Kaharu Kent, orang yang dipanggil Oniichan oleh Feya, atau... Aru. 

Sementara itu, di gerbang sekolah sana. Seseorang melihat adegan berpelukan dua orang di trotoar jalan. Dia Izal. Dahinya mengernyit, bukan karena adegan lari Feya yang liar di jalanan dan berakhir memeluk pria tinggi dan kurus. Tapi karena wajah itu mirip seseorang.

Bukan, pria itu punya jambang, lebih dewasa, tapi ia yakin seratus persen kalau wajah itu mirip Rean Kainand.

🍀

F I N

Kamus :

(1) iku yo : ayo

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro