I Can't

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Cukup lama mata mereka beradu pandang. Menelusup ke relung hati mereka dan mengucapkan lafal yang sama. Aku rindu.

Satu langkah, dua langkah... sampai yang ke tujuh, mereka resmi berhadapan. Canggung, itu yang pertama. Mata mereka tak berkedip, rakus menatap satu sama lain.

"Hai!" ucap keduanya berbarengan. Kemudian senyum mengulum tutupi malu yang tiba-tiba membuncah.

"Eeto~ Rean-kun... ohisashiburi desu ne!" Feya mematahkan kecanggungan dengan suara manis yang Rean rekam di kepalanya.

Rean mengangguk sekali sebagai jawaban. Ia selalu menantikan panggilan Rean-kun itu menggaung lagi di telinga. Rean terlalu gembira.

"Rean-kun udah datang dari tadi? Udah salaman sama Kaichou?"

Kali ini Rean menarik dasinya lagi. Sungguh, ia merasa tercekik. Udara di sekitar sana terasa panas. Ia kehilangan suaranya. Pesona Feya membuat syarafnya berhenti berfungsi.

Lagi dan lagi Feya melancarkan kata-kata antusias. Ia bercerita bagaimana ia datang, lalu bertemu Kaichou-nya, mengagumi mempelai wanitanya. Rean menyaksikan setiap gerak gerik Feya dengan nanar juga hati yang hangat.

Secara sifat Feya tidak berubah, ia sama cerewetnya seperti dulu. Lengkingan di akhir nada bicaranya masih tetap jadi ciri khas. Namun, wajahnya makin dewasa, ia kehilangan pipi chubby-nya berganti dengan tirus nan merona. Rambutnya makin panjang sampai sepinggang. Feya makin cantik.

"Rean-kun..." belum selesai Feya bicara, sebuah suara memotongnya. Teriakan milik seorang wanita menyerbu ke tengah Feya dan Rean. Wanita itu melompat ke arah Feya, memeluknya sambil menghentak-hentakkan kaki saking antusias. Wanita itu adalah Sanny.

"Feya... aku kangen," ucap Sanny dengan butir air menggenang di sudut matanya. Tak jauh darinya Dhani muncul sambil mengangkat tangan kanannya seperti sedang mengatakan 'halo' pada Feya.

Feya melengkungkan bibir merahnya, membantu Sanny menyeka sudut mata agar pertemuan itu tidak dihiasi tangis.

"Aku kira kamu ga akan datang," Sanny manyun.

"Gomenasai, aku udah buat Sanny-chan marah."

Sanny menggeleng, tidak masalah buatnya, asalkan bertemu Feya, itu sudah cukup.

Setelahnya, Sairudi dan Izal menghampiri. Mereka menyerbu Feya dengan gumaman akrab. Feya di kelilingi para perindunya. Selalu begitu, Feya bagai magnet untuk semua orang. Ia seperti poros dari hati yang haus akan cinta.

Rean seperti terdorong keluar lingkaran. Ia hanya bisa menatap Feya yang tertawa-tawa karena guyonan Dhani, atau manyun karena Izal mengejeknya. Sekarang hanya sebatas inilah yang bisa Rean lakukan. Sebab dia bukan siapa-siapanya lagi.

Sebuah suara menggema seantero gedung, suara dari mic panggung hiburan mengumumkan hal penting.

"Kepada alumni SMA 1 diminta naik ke podium pelaminan untuk melakukan sesi foto."

Semuanya diam, tak ada yang berani beranjak. Sampai kemudian Eza berteriak memanggil mereka dan melambaikan tangan.

Sairudi mendorong orang-orang yang sedang melongo tersebut. Ia yang paling tahu pentingnya arti mengabadikan momen di atas sebuah foto. Semua harus ikut, tanpa terkecuali. Hingga berkumpulah mereka semua.

Rean, Feya, Sanny, Dhani, Izal, Sairudi dan Ayumi. Eza dan istrinya di tengah mereka, tersenyum senang karena formasi mereka lengkap.

Seorang fotografer mengambil ancang-ancang untuk mengabadikan momen tersebut. Semuanya bersiap dengan senyum terbaiknya. Saling berdempet agar masuk dalam kamera.

1...

2...

3... 

JEPRET!!!

Selamanya mereka akan ingat momen bersejarah ini. Hari pernikahan Eza juga sebagai reuni mereka setelah tujuh tahun lamanya.

Rean melirik Feya di sampingnya. Memerhatikan bagaimana senyum itu terus terkembang pada apapun di hadapannya. Senyum inilah yang dulu sempat tertuju untuknya, senyum yang meneduhkan hati Rean.

Sesi berfoto selesai. Bergantian mereka salaman lagi dengan Eza. Mereka berkumpul seperti formasi lingkaran. Dan Eza yang jadi pusatnya.

"Aku benar-benar berterima kasih sama kalian udah datang ke sini. Beneran, aku seneng banget," jujur Eza.

"Woles aja kali boy, masa dinikahan ketua OSIS kita ga datang," Dhani mendorong bahu Eza dengan kepalan ringan.

"Thanks Dhan... Sanny... Izal... Sai..." Eza seperti sedang mengabsen. Ia menatap Feya lebih lama. "Feya... aku senang kamu datang."

"Kaichou~" Feya berekspresi sedih. Gaya manjanya muncul lagi. Eza menanggapinya dengan elusan lembut di puncak kepala Feya. Eza menitipkan sebuah kalimat untuknya.

"Teruslah jadi Feya yang menyenangkan."

Feya mengangguk-angguk seperti dapat petuah dari kakak laki-lakinya. Semua orang di sana tersenyum, tapi tidak dengan Rean. Ia masih saja memerhatikan wajah Feya tanpa terlewat sedikitpun.

Berbarengan, semuanya pamit pada Eza. Satu persatu turun podium, tujuan mereka sama... pintu keluar. Rean yang terakhir turun, ia masih mematung di tempat sama. Eza menangkap basah Rean sedang menyoroti Feya yang disambut Aru di bawah podium. Dua orang itu siap pergi tanpa menoleh ke belakang.

Eza menepuk pundak Rean. Menitipkan kalimat yang ingin ia katakan untuk Rean.

"Kalo kamu menyerah tentang Feya, lupakan dia. Kalo kamu masih mencintainya, kejar dia!" seru Eza mantap.

Rean merenung, matanya masih membayangi Feya yang kian menjauh. Rean mengumpulkan segala keberanian untuk ambil keputusan. Diam-diam mengundang Feya sekali lagi ke dalam imajinasinya.

Dan... Rean memutuskan lari mengejarnya.

Feya dan Aru sudah berada di luar gedung. Menuruni anak tangga tempat perbatasan gedung dengan halaman yang luas.

"Feya!" seru Rean setengah terengah.

Ia meraih tangan Feya dan membuatnya berhenti serta membalikkan badan.

Rean tidak melepas genggaman tangannya, tidak mau kehilangan lagi.

Aru yang memperhatikan dua sejoli ini akhirnya memutuskan untuk memberi ruang. Gestur tubuhnya seolah mengerti, memang ada hal yang harus mereka selesaikan. Bila tidak malam ini, selamanya tidak akan pernah selesai.

"Aku tunggu di mobil," kata Aru pada Feya. Aru melenggang pergi ke parkiran yang terletak tak jauh di samping gedung.

Sementara itu, mereka masih saja berpandangan satu sama lain dengan genggaman tangan yang tak terlepas.

"Rean-kun...."

Feya tidak menyelesaikan kalimatnya. Rean mendekap Feya, membawa tubuh itu masuk ke dalam pelukannya. Makin dalam, makin erat. Bahkan Rean terbuai oleh aroma parfum Feya, wangi sakura. Feya tidak melawan, malah terbelalak dan tak percaya atas apa yang Rean lakukan.

"Satu menit aja, biarkan aku peluk kamu," desis Rean di telinga Feya yang mulai memerah.

Karena itulah, Feya membiarkan tubuhnya terselimuti lengan Rean yang panjang dan kekar. Lama-lama Feya merasa nyaman dan membenamkan wajahnya di bahu Rean yang bidang.

Satu menit, degup jantung mereka seirama. Satu menit, mereka melayang dengan aroma tubuh yang memabukkan. Hingga waktu berlalu, Feya merasa perlu mendorong tubuhnya selangkah ke belakang. Ia menyudahi adegan yang membuat malam dingin menjadi hangat. Feya menunduk. Rean mencari kening Feya untuk ia kecup. Sungguh, Rean sangat menginginkan wanita ini.

"Feya, aku menyukaimu." Selalu kalimat itu yang ingin ia ucapkan pada Feya. "Dari dulu, sekarang... dan nanti. Cuma kamu yang mau aku sukai."

Feya menutup matanya, seperti sedang bergulat dengan batinnya sendiri. Rean bersabar menunggu Feya selesai, hingga wajah itu terangkat kembali dengan raut pilu.

"Feya... aku mau kita kembali seperti dulu. Aku menerima apapun tentangmu, asalkan ada kamu di sampingku, itu lebih dari cukup," Rean mulai memohon.

Feya menggeleng lemah. Lagi, ia seperti sedang memikirkan banyak hal. Kemudian ia menatap mata Rean dengan mantap. Ia mundur selangkah, memberi jarak pada mereka berdua.

"Dekinai!" jawabnya defensif. "Maaf, aku ga bisa."

Rean kebas, mati rasa. Feya menutup perbincangan mereka dengan seulas senyum yang nampak getir. Feya berbalik dan pergi.

Bisa saja Rean tangkap tangan itu lagi, bisa saja ia memohon sampai bersujud di hadapan Feya, tapi... Rean hanya terdiam. Punggung Feya yang makin jauh seakan merutuki diri sendiri, bahwa mereka tidak mungkin kembali.

Saat itu, saat wanita yang dicintainya memutuskan pergi, saat itu pulalah Rean merasa lumpuh. Hatinya telah mati.

🍀

Taksi jadi kendaraan Rean pulang. Ia sengaja meminta supir taksi untuk memutar lagu dengan kencang. Kebetulan lagu yang diputar di radio adalah lagu yang mewakili suasana hatinya.

Rean mau merasakan not demi not, bait demi bait, di sela tubuhnya yang bersandar ke jendela mobil. Lagu Sudah dari Afgan menggaung di telinganya. Rean menutup mata.

Sudah, kini ku melepaskan

Cinta yang dulu aku banggakan

Aku sadari semua ini

Memang bukan salahmu

Aku tahu...

Kamu bukan untukku

Pikiran Rean kusut, hatinya remuk, jiwanya seolah dicabut paksa oleh si pemilik hati. Rean sedang menghibur dirinya, mengucapkan Hakuna Matata berkali-kali seperti kaset rusak. Tetap saja, rasanya perih. Lebih besar dari pada saat terakhir kali, lebih sesak dibanding terpuruk karena rindu.

Kini Rean harus menerima, tidak ada lagi Feya dalam hidupnya. Sudah, ia harus melepasnya.

Rean menutup mata. Imajinasi tentang Feya yang tersenyum padanya terpaksa harus ia hapus, Feya yang menggembungkan pipi, Feya yang berjingkrak-jingkrak riang, Feya yang meminum jus pir dengan lucu, Feya yang memiringkan kepalanya, Feya yang menggenggam jarinya, semua tentang Feya... ia harus menghapusnya.

Berat. Seperti memintanya mati pelan-pelan.

Sementara itu, taksi meluncur cepat di jalanan sepi kendaraan. Sebuah sedan hitam nampak mengejar taksi Rean, terburu-buru menyusul. Sopir taksi menyadari lampu sein depan sedan itu berkedip-kedip, seolah memberi tanda.

Rean tidak memperhatikan. Kepalanya bersandar pada jendela yang berlawanan.

Sedan hitam itu sedikit menyerempet taksi, sekarang mereka sejajar. Pengendara sedan membunyikan klakson, tangannya memberi tanda agar taksi menepi.

"Pak, kita diminta menepi sama pengendara sedan itu. Apa kita menurut atau tancap gas aja pak?" sopir taksi meminta pendapat.

Rean menurunkan kaca jendela, ia melihat si pengendara itu adalah Aru. Karena mengenalnya maka Rean memerintahkan sopir taksi untuk menepi sesuai permintaan. Dan taksi berhenti, tepat di belakang mobil sedan yang parkir asal-asalan di pinggir jalan.

Aru keluar dari mobil, ia menghampiri taksi. Sejurus kemudian ia meminta Rean untuk keluar taksi. Raut wajahnya seperti baru saja dapat berita buruk. Muram dan gundah.

Kini mereka berdiri sejajar di luar mobil. Tanpa aba-aba, Aru menyerahkan kunci mobilnya ke tangan Rean. Kening Rean mengerut, banyak pertanyaan yang hendak ia lontarkan. Namun Aru menjawabnya dalam satu kalimat.

"Selesaikan urusan kalian, aku ga menerima Feya pulang dalam keadaan seperti itu," katanya pada Rean.

Aru membungkuk pada sopir taksi, berdiskusi.

"Pak, bisa kita ganti tujuan? Antarkan aku ke perumahan Kencana," seru Aru. Sopir taksi mengangguk. Aru menatap Rean sekali sebelum masuk ke dalam taksi.

"Kamu masih ingat rumah Yicky, kan? Antarkan Feya ke sana!" Aru membuka pintu mobil dan masuk. Kaca jendela taksi diturunkan untuk mengatakan perintahnya yang lain. "Jangan terlalu malam!"

Setelahnya, taksi pergi membawa Aru. Tinggalah Rean di trotoar jalan sedang menatap kunci mobil sedan yang ia tahu ada Feya di dalamnya.

Rean menghela napas. Baru tadi mengatakan pada diri sendiri untuk melepas Feya, namun imannya mesti tergoda lagi.

Rean berjalan perlahan ke arah sedan hitam. Ia melihat Feya di dalam mobil. Feya sedang menangis, isakannya mengkhawatirkan seolah sangat menyakitkan. Rean membuka pintu mobil di bagian sisi Feya. Lalu berjongkok agar pandangan mereka sejajar. Feya tidak berhenti menangis, air mata mengalir deras jatuh ke pipi lalu menetes ke gaun putihnya.

"Bagaimana ini... aku suka Rean-kun, aku selalu memikirkan Rean-kun, aku ingin hidup selamanya dengan Rean-kun..." Feya mulai meracau. Rean memperhatikan seksama. "...tapi aku udah menyakiti Rean-kun, aku wanita paling jahat yang buat Rean-kun terluka berkali-kali, aku ga pantas buat Rean-kun."

Isakan Feya memporakporandakan hati Rean. Ia tidak ingin menyaksikan ini, melihat Feya menangis sama artinya seperti sedang mengiris pergelangan tangannya sendiri.

"Maafkan aku Rean-kun, aku ga bisa berhenti suka sama kamu. Aku ga mau bersandiwara lagi. Aku suka Rean-kun. Aku mau kamu. Cuma kamu."

Rean menarik napas panjang. Sekarang ia lega. Bila tadi hatinya resah karena harus melepaskan Feya, kini wanita itu ada di hadapannya. Sedang bergumul antara penyesalan sudah menyakiti, atau terus saja menyukai.

Jari-jari Rean menyeka air mata Feya. Butir demi butir ia kumpulkan hingga tangannya basah. Rean melengkungkan bibirnya ke atas. Detik itu, Rean menarik tengkuk Feya perlahan. Rean kecup puncak kepala Feya sampai tangisannya sedikit mereda.

"Iya Feya, aku juga!" Rean membiarkan mata mereka bertautan. "Mulai sekarang dan selamanya, kau milikku."

Feya tersenyum dalam tangisnya. Ada kebahagiaan yang tidak bisa diucapkan lewat kata-kata. Cukup hanya dia dan Tuhan yang tahu, bahwa ia mencintai pria di hadapannya ini tanpa kekurangan apapun.

Mereka berpelukan. Merasakan lagi hangat yang sempat hilang. Dua hati yang terpisah itu kini telah kembali pada tambatan hati.

Ketakutan itu kini sudah sirna, dengan berdua mereka yakin bisa melampaui apapun. Dan bersama-sama pula mereka akan terus hadapi segala rintangan dan bangkit berdiri.

Cinta memang rumit, terkadang menyakitkan dan tak sempurna, tapi bersabarlah karena cinta punya waktu sendiri. Cinta selalu punya caranya sendiri.

🍀

T H E  E N D



Akhirnya tamaaaaaatttttt~

Entah harus senang atau sedih.. hiks!

menyenangkan sekali membuat karya yang satu ini

semoga rasa senangku juga tertular padamu...

terima kasih sudah menemaniku sampai sejauh ini...

akhir kata aku mengucapkan

terima kasih banyak dan sampai jumpa di story berikutnya..

dadah~

Salam


Liani April

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro