I Need You

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Soba ni itekurete arigatou."

- Feya Ryuuna -

🍀


PRIIITTTT!! Pertandingan dimulai.

Tim Yicky maupun tim Rean saling berunjuk gigi mengeluarkan kemampuan masing-masing. Bola bergerak aktif ke kanan sampai ke kiri lapangan.

Eza menunjuk Dhani sebagai wasit, ia cukup piawai menengahi pertandingan macam ini. Dan Dhani bisa dipastikan keabsahannya sebagai wasit yang adil.

Dari tadi yang banyak memasukkan angka adalah tim Yicky. Sejak awal mereka sudah menciptakan perbedaan yang cukup jauh. Mereka terorganisir, punya perhitungan matang dan masing-masing punya keahlian handal. Samuel di posisi point guard, Dileon di posisi forward, dan Yicky sendiri di posisi Center.

Tim Rean hanya tiga orang yang menonjol. Izal, Jeff dan Theo. Berulang kali Yicky kehilangan bola oleh Izal. Atau kecolongan three point karena ulah Theo, yang mengejutkan adalah aksi slamdunk yang sempat Jeff tunjukkan di detik awal. Mereka lawan yang cukup membuat tim Yicky gerah, juga makin bersemangat.

Dalam satu momen, Yicky dan Rean berhadapan man to man. Gerak kaki Rean lincah, badannya juga luwes, tapi tetap saja... ia tidak semahir Yicky. Sering kali Rean tertipu oleh gerakan Yicky. Melewatinya sangat-sangat mudah. Bahkan Yicky sempat melontarkan kata-kata provokatif padanya.

"Dasar lemah! Seharusnya lu pikir dua kali kalo bilang basket itu permainan anak kecil," cibir Yicky.

Rean tidak menurunkan sedikitpun emosinya. Kentara sekali ia berlari serampangan. Bertindak egois menguasai bola sendirian, lalu terlepas dengan mudah, membuat tim Yicky lagi-lagi mencetak poin.

Eza berkali-kali meneriaki Rean agar mengendalikan amarahnya. Tapi tidak mempan.

"Calm down, Rean!" teriaknya.

Yicky dapat kesempatan melempar bola three point di detik akhir babak pertama dengan angkuh.

SYUT!

Bola masuk begitu mudah serta ganas. Tak lama peluit dibunyikan Dhani mengakhiri babak pertama. Yicky dan Samuel melakukan tos. Skor 38-10 membuat mereka berani membusungkan dada.

Yicky menarik napas dalam-dalam, kemudian mencari sosok Rean yang berdiri payah. Napasnya naik turun tak berpola. Rean yang paling lelah karena berlari tak karuan namun mentalnya seperti digerogoti.

Dalam kondisi itu Yicky memberikan sebuah isyarat, mengacungkan jempol terbalik sambil memberinya kata tanpa suara... 'Loser!'

Yicky membalikkan badan tepat sebelum Eza dan Theo menangkap tubuh Rean dan menyeretnya ke samping lapangan bersama tim-nya.

Mereka beristirahat untuk beberapa menit. Meminum air botol yang mereka bawa. Saat itu, terjadi sesuatu di bangku istirahat tim Rean. Izal melayangkan tinju pada wajah tampan Rean. Ia berteriak seperti kesurupan. Kawan-kawannya yang lain berusaha menghentikan ledakan Izal. Mereka kalah oleh kekuatan otot Izal, hanya Jeff yang bisa mengimbangi Izal dengan badan besarnya. Izal berteriak sambil menunjuk-nunjuk hidung Rean.

"Sampai kapan lu mau bikin kami kesal, sialan!" teriaknya.

Rean tidak menyangkal ataupun membuat perlawanan berarti. Ia pasrah, napasnya terasa berat.

"Apa lu kelihatan lagi bertaruh saat ini? Jangan main-main, basket bukan hal yang bisa lu remehin dengan lari-lari kaya monyet marah."

Yicky merekam komentar barusan. Ia salut karena Izal punya anggapan yang sama terhadap basket sama sepertinya. Yicky melihat kemiripan dirinya dengan Izal dalam sekilas.

"Kak Izal, kendalikan diri lu!" perintah Jeff, masih memegangi Izal.

"Dia yang harus kendalikan diri, sialan!" marah Izal. "Gue tahu dia marah karena pacarnya digoda sama cowo kurus itu. Tapi dia juga harus tahu, alasan dia berdiri di lapangan ini demi pertaruhan. Kalau dari awal ia semudah itu terprovokasi udah tentu kita akan kalah telak."

"Setidaknya buatlah diri lu terlihat lebih punya harga diri," sambung Izal lagi.

Nyaris saja Yicky memberikan tepuk tangan untuk kata-kata terakhir Izal. Ternyata benar, usia memang punya pengaruh penting dalam pengalaman. Izal yang kelas 3 itu tentu paham, seorang pria sejati tidak boleh kalah dengan emosi.

"Kayanya aku paham deh, kenapa Yicky minta Samuel buat ngerayu Feya tadi," ucap Dileon melihat pertengkaran sengit di tim lawan.

"Ah, sialan... Sam dibilang cowo kurus," Samuel merengut.

Di tempatnya sana, Feya tidak sabar lagi untuk menghampiri Rean. Namun baru juga ia berdiri, lengannya sudah ditangkap oleh Sanny. Ia menggelengkan kepala.

"Jangan, lebih baik ga usah ketemu Rean dan buat konsentrasinya makin kacau," ucap Sanny serius.

Feya bergeming. Beberapa detik ia terdiam di posisi sama, lalu kembali duduk di samping Sanny karena menganggap Sanny ada benarnya.

Feya berbisik pelan. Hakuna Matata. Ia berharap Rean bisa mendengar itu, dan ya... Rean memang mendengarnya. Rean sempat melirik ke arah Feya di bangku penonton. Menyaksikan Feya yang tersenyum manis.

Rean menutup matanya, menenangkan diri dari suara riuh ramai penonton dan degupan jantungnya sendiri. Ia bisa mendengar, berkali-kali Feya mengucapkan mantranya. Lalu Rean seolah dapat energi.

PRIIITTT!! Babak kedua dimulai.

Rean yang pertama kali dapat bola. Permainannya berubah drastis. Tak lagi emosi ataupun tegang. Drible-nya makin mantap berkolaborasi dengan Jeff yang pintar bermanuver layaknya lecutan panah.

Bukan pilihan bagus mengelabui mata Rean dengan gerakan tipuan lagi. Ia jadi bisa membacanya dengan cepat, juga mem-blok lari bola Yicky untuk berada di tangannya ataupun tangan tim-nya.

Izal semakin berangas, ia menguasai lapangan. Bergantian dengan Theo, mereka melakukan three poin throw dan selalu berhasil.

Eza tidak mau kalah, ia jago dalam urusan drible dan mengoper bola pada posisi aman. Akhirnya mereka punya gigi.

"Heh, apa lu butuh dipukul dulu baru semangat main basket sama gue?" sindir Yicky selagi mereka bertatap muka di tengah lapangan basket.

"Tutup mulutmu dan bermainlah!" ucap Rean dingin.

Permainan terus berlanjut secara dramatis. Selisih poin terpaut 6 angka.  Tapi di menit-menit terakhir, Yicky memberikan sinyal pada tim-nya. Sebuah gebrakan yang telah mereka rencanakan jauh hari. Sengaja tidak mereka tunjukkan kemampuan penuh di babak pertama ataupun di menit awal babak kedua. Mereka menyimpan tenaga untuk melakukan serangan akhir.

Yicky yang memulai serangan itu. Melempar bola jauh di atas kepala mereka. Bola Yicky disambut lompatan tinggi Samuel. Kemudian ia lemparkan ke keranjang yang jauh di sana. Seandainya ada poin yang lebih tinggi dari three point, maka ia melakukan five point. Hanya Samuel yang bisa melakukannya.

Semua tercengang dengan aksinya. Getaran kuat di papan keranjang nyaris membungkam penonton. Juga Feya yang sedari tadi meneriakkan nama Rean.

Samuel malah menyibakkan rambut dan membuat tanda peace dengan jarinya. Sikap konyolnya nampak tidak sesuai dengan kemampuan gila seorang shooting guard.

Selanjutnya giliran Dileon yang melakukan aksi hebat lainnya. Kecepatan drible dan kaki-kaki panjangnya patut diacungi jempol. Hampir tidak ada yang bisa menandingi gerakan luwesnya di atas lapangan. Ia bergerak lincah ke kanan dan ke kiri. Secepat kilat, tahu-tahu sudah berada di bawah keranjang dan melakukan slamdunk dengan keren.

Ia berbeda dengan Jeff. Jeff masih kesusahan melakukan dunk, makanya hanya sesekali. Tapi Dileon... baginya semudah membalikkan telapak tangan. Jeff gerah, giginya gemetrukan.

Dalam waktu cepat, selisih poin jauh lagi bahkan sampai telak, 36 angka. Sedetik saja tim Rean tidak diberi kesempatan mengoper apalagi memasukkan bola. Saatnya mereka mengakui perbedaan kemampuan Yicky.

Hingga peluit dibunyikan Dhani, skor mereka tak bergerak. Tim Rean diobok-obok hampir roboh. Mereka berulang kali mengambil oksigen di udara sekitar. Mereka kelelahan, berkali-kali mengusap peluh yang tak juga berhenti.

Yicky mendekati Rean yang memegangi kedua lututnya. Tersenyum sinis bersiap dengan penghakiman sebuah pertaruhan yang mereka gadaikan di awal. Rean kesulitan berdiri tegak juga menetralkan napasnya. Yicky berada satu meter di hadapan Rean. Kekalahan membuat Rean sedikit melunakkan pandangan matanya, atau ia seperti itu karena lelah yang teramat sangat.

"Gimanapun pertaruhan adalah pertaruhan. Gue harap lu ga lupa!" kata Yicky memulai penghakiman.

Rean kesusahan menarik napas. Tim Rean tidak bisa membantu dalam hal ini. Begitu pertandingan usai, Rean yang bertanggung jawab atas dirinya sendiri.

"Seperti pertaruhan sebelumnya, lu kalah, lu ga dapat informasi apa-apa soal Urky dan... lu harus putus dari Feya," ucap Yicky.

Semua jadi berkumpul di tengah lapang. Tak terkecuali Feya, ia turun ke lapangan dikawal Sai dan Sanny di sampingnya.

"Chotto matte, Yicky-niichan! Aku ga mau putus dari Rean-kun. Silahkan aja aku dipindahkan sekolah atau dikeluarkan dari rumah Yicky-niichan sekalipun, pokoknya aku tetap mau jadi pacar Rean-kun," Feya memberondong Yicky dengan nada bergetarnya.

"Feya, kalo lu tetep ngotot kaya gitu, buat apa kita taruhan basket segala macem. Udah deh, lu nurut sama gue. Laki-laki ini ga pantes lu perjuangin."

"Demo~ Yicky-niichan..." Feya menangis.

"Lu pulang sekarang, kita urus kepindahan lu besok." Yicky menajamkan tatapannya pada Rean yang menunduk.

Yicky membalikkan badannya, ia merasa cukup untuk hari ini. Ia harus tegas sebelum semuanya terlambat.

Rean mendongak, tatapan lemahnya berlari pada punggung Yicky yang bersiap pergi. Namun kalimat Rean kali itu berhasil membuat Yicky dan semua orang yang berada di sana menoleh padanya.

"Tolong, jangan biarkan Feya pergi dariku," kata Rean nyaris berbisik. Yicky membalikkan badannya untuk melihat bagaimana raut wajah Rean ketika mengatakannya. Matanya nanar, ada bentuk kesepian dari pupil matanya.

"Aku butuh Feya!"

Hanya kalimat itu. Suara Rean lantang, mendominasi, dan tak ada yang berani berkutik setelah itu.

Samuel yang memecah keheningan. Kali ini ia tidak mengucapkan kalimat konyol. Sebaliknya, ia menggumamkan kata-kata masuk akal.

"Udah lah, Ki! Adik lu dan Rean saling suka, kenapa juga harus dipisahin."

Yicky menelan ludah. Setelah Dileon menepuk pundaknya barulah Yicky membuat keputusan.

"Oke, anggap aja lu menang. Gue akan pikir-pikir lagi soal kepindahan Feya."

Feya merasa lega mendengar itu dari mulut Yicky. Laki-laki tinggi besar itu menampilkan punggung tegapnya dan memilih pergi. Samuel dan Dileon mengekor di belakang Yicky. Mereka tidak lupa melambaikan tangan sebagai perpisahan.

Tinggalah Rean dan tim-nya.

Jeff yang berucap pertama kali. "Pertandingan udah beres, kan? Gue sama Theo pulang dulu ya, keburu malam."

"Eh, bentar. Sebelum pulang kita makan-makan dulu lah, aku traktir," tawar Eza.

"Wuiihh, Theo mau makan enak," kicau Theo.

"Kak Eza, aku boleh ikut juga ga?" Sairudi mengacungkan tangan. Eza mengangguk.

Mereka beringsut dan menuju kelas Eza lagi untuk ambil tas. Tersisa Rean dan Feya yang masih berdiri saling berhadapan dan tak melakukan apapun.

Sanny diam tidak ikut Eza dan yang lainnya pergi makan. Matanya mengawasi Feya dan Rean yang saling diam seperti patung.

Namun Eza menepuk bahunya, memberikan gestur agar Sanny ikut dan membiarkan mereka berdua saja. Sanny diam beberapa detik, kemudian memutuskan untuk ikut Eza dan yang lain.

Tinggalah Feya dan Rean di tengah lapang yang mulai sepi penonton. Rean hanya menunduk. Sepatu olahraga menjadi pemandangannya kini.

"Arigatou~" Feya mendesiskan katanya dengan tulus. Barulah Rean mengangkat wajahnya. Tatapannya saling bertautan.

"Soba ni itekurete arigatou." (1)

Angin sore menerbangkan ujung rambut mereka. Tidak pernah hari semelankolis ini. Suara yang Rean tangkap pun menyejukkan serta nyaman. Tatapan mata Rean menelusup ke bola mata nan hitam pekat. Feya tidak lepas menyunggingkan senyum. Kadar kebahagiaannya sedang mencapai puncak. Kalimat Rean barusan berhasil menyulap kegundahan sedari pagi. Aku butuh Feya.

"Feya..." ucap Rean pelan.

"Ya?"

Bila diibaratkan simponi, kata Rean saat itu adalah lantunan nada terindah. Maha karya dari segala simponi yang hidup di bumi. Feya merekamnya dengan segala indera yang ia punya. Sebab kalimatnya terlalu indah untuk ia lewatkan.

"Daisuki... desu!" ucap Rean pelan.

🍀

Rean ikut acara makan-makan dengan yang lain. Tidak banyak yang ia lakukan selain duduk di samping Feya yang begitu aktif menanggapi celotehan Theo ataupun Jeff. Sejak tadi, gadis itu sangat sumringah, bagaimana tidak, laki-laki yang disukainya melontarkan kalimat yang buatnya mabuk kepayang. Meski tidak dengan senyum merekah atau ekspresi manis lainnya, hanya datar, tapi bagi Feya, Rean sudah resmi jadi miliknya. Begitupun sebaliknya.

Menjelang magrib Rean baru beranjak untuk pulang. Ia pamit duluan dan berjalan gontai ke gerbang sekolah. Jangan tanya Rean pulang dengan Feya atau tidak. Sebelum acara makan-makan selesai, Yicky menelepon Feya berkali-kali. Memintanya pulang dan mengganggu kesenangan bersama Rean dan kawan-kawan.

Rean ada di gerbang sekolah sekarang. Sementara itu, Dileon nampak sedang menunggu. Badannya bersandar pada tembok pagar. Tas besar membelit di antara punggungnya.

"Yo!" sapa Dileon begitu melihat Rean keluar pagar. Ia memang sedang menunggu Rean.

"Aku udah dengar dari Yicky tentang taruhanmu. Kalau kamu menang, kamu bisa dapat informasi tentang Urky. Sayangnya kamu kalah, Yicky pasti ga kasih kamu informasi apapun," ucap Dileon dengan kedua tangan masuk ke kantong celananya.

Rean bergeming. Ekspresi datar seolah malas bertegur sapa dengan orang yang sudah mengalahkan tim-nya.

"Aku Dileon, anak band yang kebetulan kenal dengan Urky. Kita sempat bertemu sesekali urusan musik. Dan Urky adalah sosok musisi berbakat yang pernal aku kenal."

"Langsung saja, kamu mau apa?" potong Rean tidak suka basa-basi.

Dileon diam sebentar. Ia menghela napas panjang. Kemudian berdiri sejajar di depan Rean. Tinggi badan mereka nyaris sama. Tatapan mata berada dalam satu garis lurus.

"Sampai sekarang, aku masih sering berhubungan dengan Urky," masih kata Dileon. "Aku punya nomor kontaknya. Dan kupastikan itu masih aktif sampai kemarin sore."

Mata Rean membelalak. Ia nyaris tidak percaya pada pria di depannya ini.

"Ga seperti Yicky, aku akan berikan nomornya secara cuma-cuma. Tapi aku punya satu permintaan."

Dileon mendekat pada telinga Rean yang mematung di tempatnya.

"Jangan berhenti bermusik."

Kemudian Dileon menuliskan rentetan nomor di sobekan kertas yang ia siapkan. Dileon memberikannya pada Rean. Rean masih mematung. Namun tetap mengambil secuil kertas berisi jalan menuju ayahnya.

"See ya! Sampai nanti, anak Urky!"

Rean memandangi punggung Dileon yang makin menjauh. Sekarang pemandangannya jatuh pada secuil kertas dengan nomor ayah.

Rean menghela napas, ia tidak bisa berpikir. Antara terlalu senang dan bingung.

🍀

F I N


Kamus :

(1) Soba ni itekurete arigatou = terima kasih untuk tetap bersamaku

==================


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro