Let Me In

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kalau kamu tertangkap basah sedang melakukan hal konyol, bilang saja kamu kalah taruhan."

- Eza Harudi -

🍀

Tangisan Feya tumpah begitu bokongnya menempel di kursi piano. Eza menutup pintu ruang musik, mengintip jendela dan memastikan tidak ada siapapun yang lewat. Ini kali pertama ia membolos jam pelajaran. Perkara Feya selalu utama baginya. Dan setiap tetes air mata Feya membuatnya lemah.

Eza menggeser kursi, duduk di hadapan Feya yang meraung-raung seperti anak kecil. Dia benar, stok air di tubuhnya sangat banyak. Karena sampai menit ke sepuluh, air mata itu masih luber membanjiri pipi, lalu merembes ke rok abu-abunya.

Feya mulai tenang. Matanya mencari mata Eza yang menatap nanar. Ada ketenangan dari cara ia mengedipkan mata. Eza memang ahli dalam hal mendamaikan seseorang.

"Kaichou~" rengeknya mirip seperti anak kecil. "Rean-kun dan Sanny-chan sudah ciuman. Aku tahu dari foto yang Sanny-chan simpan."

Eza mengerjap. Memorinya kembali pada kejadian dua tahun ke belakang. Ya, Eza memang tahu perihal itu, kebetulan ia juga ada di sana.

"Oh!" Akhirnya Eza tahu apa yang membuat Feya menangis begitu lama.

"Sanny-chan simpan fotonya, apa dia masih suka Rean-kun? Apa dia bohong waktu kutanya masih ada perasaan atau engga? Gimana kalo ternyata Sanny-chan beneran masih suka? Aku akan kalah kalo dibandingkan Sanny-chan. Rean-kun kan suka suaranya," katanya masih terisak-isak.

Eza menelan ludah. Sekali lagi ia mengizinkan tangisan itu mengalir, sebab detik kelima ia sudah memutuskan akan membuatnya berhenti.

"Feya... Sanny yang kukenal bukan orang yang berkhianat. Ia serius waktu bilang kalo ga ada lagi perasaan sama Rean. Aku berani jamin itu soalnya di antara semua cewe yang kukenal, cuma dia satu-satunya yang selalu jujur," jelas Eza. Nampaknya hal itu berhasil membuat Feya menghentikan isakan.

"Sanny pilih kamu jadi temannya, selama ini dia ga pernah benar-benar punya teman. Kamu tahu artinya apa? Sama kaya cinta pertama, berteman sama kamu adalah pertama buat Sanny."

Eza sendiri kaget, apa ia mengenal Sanny sejauh itu. Sosoknya selalu ia abaikan, tapi hatinya tertangkap oleh pesona dari gadis cantik asal Aussie itu.

"Tentang foto itu, mungkin ada kesalahpahaman. Sanny sangat membencinya. Setahuku dia marah waktu Jhon mencetak foto itu dan diam-diam menyelipkan di buku Sanny."

"Fey, bicaralah sama Sanny. Dia ga akan pernah benci kamu. Sanny udah menganggapmu sebagai porosnya. Kamu dunianya."

"Demo, Kaichou~ Kalo dia beneran suka Rean-kun, gimana?"

Eza menampilkan senyum seribu watt-nya. Ia bisa memastikan satu hal itu dengan pasti, valid, dan akurat.

"Engga. Sanny ga pernah suka sama Rean-mu. Aku jamin."

Sengaja Eza menggunakan kata ganti -mu untuk membuat Feya tenang. Dan benar saja, bibir tipis itu akhirnya bisa melengkung ke atas. Feya menyeka air mata dengan kedua telunjuknya. Bagi Eza, sangat melegakan melihat Feya kembali tersenyum.

"Arigatou, Kaichou selalu bisa menghiburku. Daisuki desu."

Kata terakhir Feya membuat Eza salah arti. Selama ini Eza selalu membangun pertahanan kokoh, sehingga setiap Feya menggumamkan nama Rean ataupun melihat mereka bersama, ia akan menguatkan diri. Tapi di hadapannya kini, pertahanan itu rubuh. Feya sendiri yang menghancurkannya dengan senyuman bak bunga matahari.

"Feya..." giliran Eza yang gundah. "Kamu pernah bilang kan, akan kasih aku Kupon Apa Aja. Apa itu masih berlaku?"

Feya mengangguk. "Hai, so desu. Apa Kaichou mau menukar kuponnya sekarang?"

"Iya."

"Sou ka? Minta apa?"

"Aku minta kamu diam, satu menit aja."

"Diam? Mmm... oke, diam gimana sih maksudnya. Diam begini?" Feya duduk rapi di kursi dengan kedua tangan di paha serta menegakkan tubuhnya. "Satu menit, kan? Sekarang?"

Eza tidak menunggu Feya siap. Eza mencari bahu Feya, menarik dalam-dalam ke tubuhnya.

Dan...

Memeluknya.

Feya mengerjap. Ia menghirup aroma jasmine yang kental. Belakangan ia tahu, aroma itu berasal dari tubuh Eza. Feya diam menuruti perintahnya. Merasakan debaran jantungnya berdetak cepat.

Dada Feya hampir meledak. Satu menit terasa seperti satu tahun. Sentuhan lembut Eza membuatnya terbuai dan tanpa sadar Feya ikut menutup mata. Lalu bermain dengan debarannya.

Sekeliling mereka terasa kosong, yang bisa mereka rasakan hanyalah sentuhan lembut juga napas yang memburu. Jemari Eza bermain di ujung rambut gelombang Feya.

Satu menit berlalu. Tempo napas mereka tak beraturan. Eza yang menarik diri. Masih dalam keadaan setengah sadar, ia melarikan pandangannya ke berbagai arah. Kikuk.

Tapi kemudian, laki-laki itu pergi. Ia meninggalkan Feya dengan dadanya yang masih bergetar hebat. Pikirannya kosong, raganya seolah tercabut. Feya menyentuh dadanya. Merasakan desiran yang tak kunjung berhenti.

🍀

Eza kembali ke kelas. Ia membungkuk pada guru dan minta maaf datang dengan sangat terlambat. Untungnya dia tidak punya catatan buruk di mata guru, sehingga alasan keterlambatannya dimaklumi. Habis dari toilet.

Hanya Rean yang tahu Eza sedang berbohong. Rean belum pernah mendengar suara jantung Eza berdetak sangat cepat seperti sekarang. Ditambah ia sangat linglung menggeser kursinya untuk duduk.

Rean tak lepas mengawasinya, sampai Eza menoleh padanya di belakang. Eza mendesiskan kata 'maaf' sangat tipis. Tapi bukan Rean namanya kalau tidak bisa menangkap suara sejelas itu.

Kening Rean mengkerut, ia tahu ada yang tidak beres dengan Eza.

Dan begitu bel istirahat berbunyi, Rean bergerak ke meja Eza. Ia benar-benar penasaran.

"Hei, apa maksudmu dengan maaf?" Rean berdiri di samping Eza yang terduduk.

Eza tak lantas menjawab. Ia membuang pandangannya, bersikap senetral mungkin.

"Kapan aku bilang begitu?" jawab Eza santai.

Rean gusar. "Barusan kamu melakukannya, aku bisa dengar kamu, bodoh!"

"Oh..."

"Apa maksudmu, oh?"

Eza mengatupkan bibir. Ia memandang mata Rean. "Bukan apa-apa, lupakan!"

Rean menendang meja Eza. Pelan memang, tapi cukup menghentak Eza yang menghela napas panjang. Eza ikut berdiri.

"Kamu habis ngapain, kenapa segugup ini?" marah Rean.

"Jangan sok menebak tentang aku, mentang-mentang telingamu sensitif."

"Kamu aneh, Za!"

"Kamu lebih aneh."

"Apa ini ada hubungannya sama Feya?"

Dibilang begitu Eza langsung bungkam. Degup jantungnya tidak normal lagi. Rean menangkap itu dan mengkerutkan keningnya.

"Kamu apakan Feya?" Rean mencengkeram kerah Eza dengan sebelah tangan.

Eza menepisnya. Ia merasa wajib menjaga teritori, yaitu badannya sendiri. Tangan Rean berada di udara.

"Ga ada hubungannya sama kamu," pembelaan Eza.

Rean memaki. Kalau saja tidak ada seorang gadis yang mencarinya di depan kelas, sudah pasti mereka akan berkelahi. Suara gadis itu sangat ia kenali. Suara yang dulu pernah ia suka.

"Hei guys, ada yang tahu Feya dimana?" tanya Sanny di mulut pintu. Dua laki-laki itu menoleh. "Dia ga ikut pelajaran pertama atau kedua. Aku cari pun dia ga ada di sekitar sekolah."

"Kamu udah cari ruang musik?" ucap Eza membuat Rean mendelik padanya.

"Udah, dia ga ada di sana," jawab Sanny.

"Apa mungkin dia pulang? Akan kucoba telepon Feya." Eza merogoh ponsel di saku celananya. Tapi Rean tepis hingga tangan Eza keluar lagi dari saku.

"Kenapa harus kamu. Biar aku yang cari Feya," ketus Rean sambil berlalu dari sana. Ia juga melewati Sanny di mulut pintu. Raut wajah Rean sangat tidak menyenangkan. Ia benar-benar marah pada Eza.

Sanny meneriakkan kalimat yang buat Rean berhenti mendadak.

"Feya marah padaku karena lihat foto kita ciuman itu."

Rean berbalik badan. Dahinya mengernyit. Kurang lebih artinya 'kenapa foto itu masih kamu simpan?'

"Aku minta maaf, itu ga sengaja," ucap Sanny kemudian. "Kalo kamu ketemu Feya, sampaikan maafku sama dia."

Rean berbalik kembali dan pergi. Ia tahu kemana harus pergi.

🍀

F I N

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro