Sayonara

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Perpisahan yang paling menyakitkan adalah saat tak terucap kalimat sama sekali."

- Ariasanny -

🍀

Lagi, gunjingan itu tertangkap oleh telinga Sanny. Jengah. Dimana-mana nama Feya disebut sebagai gadis gila. Makin hari makin kejam saja tuduhan tak beralasan itu. Satu pekan, dua pekan, tidak membaik meskipun pak Irdan sudah meluruskan bahwa kabar burung itu salah.

Siapa biang keroknya?

Giria. Gadis yang dijuluki si bibir seribu itu kebetulan ada di rumah sakit yang sama dengan Feya. Dengan mata kepalanya sendiri ia melihat bagaimana Feya menggila, berteriak dan meracau.

Giria tidak pernah ada di pihak Feya, maka ketika adegan kacau itu tersaji di depan matanya, dengan mudah ia ambil kesimpulan. Feya gila. Apalagi dua hari kemudian terdengar kabar bahwa Feya keluar dari sekolah.

Hal ini terendus Sanny, ia tahu saat Giria membelakanginya dan berbisik, Giria meracuni setiap pikiran orang-orang di kelas. Kalimatnya semakin kuat karena disertai embel-embel, 'demi Tuhan, aku lihat Feya di rumah sakit.'

Well, poin Giria melihat Feya di rumah sakit memang benar. Tapi asumsi gila itulah yang tidak mau Sanny setujui. Giria terlalu mudah menuduh lewat satu pemikiran yang tidak mau dicari kebenarannya. Giria terlanjur benci, karena ikan busuk bermula dari kepalanya.

"Menurutmu apalagi yang orang lakukan di psikiater kalo bukan karena dia bermasalah?" Giria mulai lagi memanasi kepala teman-teman sekelasnya. Ia seperti saksi penting yang mesti didengar semua orang.

"Lagian kelihatan, kan. Di kelas dia selalu heboh sendiri, gerak-gerak ga jelas, emosi naik turun. Seharusnya kita tahu dong kalo Feya itu mengidap kelainan." Masih kata Giria.

"Heran aja deh, kenapa anak kayak begitu masih bisa masuk ke sekolah ini. Harusnya kan, dia masuk ke sekolah khusus yang menangani orang gila."

Sanny sudah naik pitam.

Ia menggebrak meja, menendangnya hingga tergeser setengah meter dari tempat semula. Bunyi GRAK! yang keras, membungkam mulut Giria bersama kumpulan teman wanitanya. Sanny mendelik. Giria-lah yang jadi korban tatapan kebenciannya.

"Aku bersumpah akan menyumpal mulutmu kalo kau bicara lagi sesuatu soal Feya," marah Sanny.

Giria mencibir, ia merasa kuat karena berada di lingkaran teman wanitanya.

"Emangnya kenapa, kamu mau membela si gila itu?" Bibir Giria komat kamit dengan artikulasi yang jelas.

Sanny tidak peduli lagi, ia menerobos kumpulan gadis-gadis penggunjing, dicarinya kerah seragam Giria lalu menariknya paksa hingga wajah mereka berdekatan.

Giria salah, berada di tengah banyak orang tidak membuat dirinya dilindungi. Semua yang di sana memilih jadi penonton, terkesan membiarkan Sanny melakukan aksi heroik demi Feya. Mereka mengharapkan ada seseorang yang membungkam Giria. Diam-diam mereka juga jengah pada mulut Giria yang berbisa.

"Mau kuberitahu satu hal? Kamu ga lebih baik dari Feya. Setidaknya dia ga pernah membicarakan seseorang di belakangnya, apalagi saat orang itu ga ada," ujar Sanny masih mencengkeram kerah baju Giria.

Giria gelisah, cengkeraman Sanny tidak bisa dilepas. Bola mata Sanny mengerikan bila dilihat dari dekat. Seolah bisa menerkam hanya dalam satu tatapan.

"Kamu lebih baik diam atau aku akan merusak wajah kebanggaanmu itu sampai kamu ga mau bercermin lagi," ancam Sanny serius.

Sanny melepaskan kerah Giria dengan mendorongnya ke kursi. Giria terhempas, napasnya naik turun, ia ketakutan.

Detik itu Sanny memilih keluar kelas untuk mendinginkan kepala. Teman yang menonton mereka hampir saja bertepuk tangan melihat aksi Sanny barusan. Sedangkan Giria hanya diam di kursinya seperti disiram air dingin.

Tidak boleh ada yang menghina Feya-nya. Meski gadis itu pergi tanpa mengatakan sesuatu padanya, tapi Sanny sangat menghormatinya. Sanny menyayanginya tidak kurang apapun.

🍀

Pukul 7 malam, Sanny baru selesai les. Sanny diberitahu sopirnya akan datang terlambat. Sanny malas menunggu, ia berjalan-jalan di sekitar tempat les.

Justru hal seperti ini adalah momen baginya. Ia tidak pernah bisa menghirup udara jalanan karena selalu dijemput. Ia bersyukur terjadi sesuatu dengan mobil dan sopirnya, sebab Sanny sedang ingin menerbangkan pikiran-pikirannya lewat angin malam.

Sanny berjalan sampai ke sebuah jembatan. Angin di sana sangat besar, tempat strategis untuk membuang penat.

Tapi sudah ada seseorang yang Sanny kenal berada di tempat itu. Ia sedang duduk di besi pembatas, menghadap jalanan yang berlalu lalang kendaraan dari bawah jembatan. Sedikit membahayakan memang, tapi gestur tubuhnya terlihat nyaman di posisi itu. Sekilas Sanny menangkap wajah melamun dan sendu darinya. Itu Eza. Dengan wajah tanpa ekspresi.

Sanny menghampiri. Ia mengambil jarak dari Eza yang nampak tak bergairah melakukan apapun selain melamun. Sanny nekat melakukan hal yang sama seperti Eza, duduk di besi pembatas. Eza tersenyum melihat Sanny datang. Sebuah senyum getir sedikit terpaksa.

Saling bisu, namun pikiran mereka menyatu. Angin menerbangkan rambut mereka. Terpaannya membuat mereka ingat sosok yang sama. Feya.

Satu jam mereka hanya diam. Eza dengan versi kerinduan pada Feya, dan Sanny yang kehilangan porosnya.

Bersamaan mereka menarik napas panjang, lalu mengembuskan melankolis. Mereka baru menyadarinya, kehadiran Feya memberi napas tersendiri. Menggiring mereka pada tempat yang bernama keceriaan.

Sanny berada di ambang batas. Satu sapuan angin berhasil menggelitik hatinya untuk mengucapkan kalimat itu dengan lantang.

"Aku kangen kamu, Feya!"

Sanny menangis.

Satu bulan setelah kepergian Feya, akhirnya ia kalah dan menumpahkan emosi di tempat itu. Ia terisak, tidak berusaha menyeka airmatanya. Berharap kering oleh buaian angin. Atau habis sekalian.

Eza menatap Sanny. Tidak berbuat banyak, kecuali mengelus puncak kepala Sanny. Seolah menyalurkan penenang lewat tangannya yang hangat. Tentu Eza sama terlukanya, kepergiaan tiba-tiba dan tanpa pamit seperti menyimpan duri dalam daging. Sakit. Perih.

"Jangan nangis, kita pasti ketemu Feya lagi," hibur Eza diiringi senyum simpul.

Malam yang jadi saksi. Begitu polosnya hati milik si perindu. Entah kapan mereka akan bertemu lagi, meski saat itu sosoknya masih diingat atau tidak.

🍀

Banyak yang bilang, cara melupakan seseorang adalah dengan menyibukan diri. Rean sedang mencoba. Untungnya yang terpikir adalah menyibukkan diri dengan pelajaran. Kebetulan tugasnya menumpuk, sepulang sekolah Rean bergumul dengan buku di kamarnya.

Waktunya habis terpakai, dan ya... Rean bisa mengalihkan pikirannya dari Feya. Ia mulai optimis sosok Feya hanya akan jadi masa lalu. Hanya debu.

Tapi... takdir memang licik. Baru saja Rean yakin, sekarang ia tergoyahkan lagi. Hal itu karena Rean membuka halaman buku yang pernah ditulis Feya saat di kelasnya tempo hari.

Ingatan Rean yang susah payah di-reset terpaksa mengulang lagi adegan itu. Feya yang enerjik, Feya yang tersenyum, Feya yang menggumamkan namanya dengan riang, Feya yang meminta Rean untuk memilih suki, daisuki atau aishiteru, Feya... semua tentang Feya.

Rean mengepalkan tangannya. Ia buang jauh-jauh buku itu, dan dengan gusar mengacak rambut. Rean perlu keluar rumah, udara di kamarnya terlalu banyak polusi tentang Feya. Rean mengambil jaket dan berjalan keluar.

Rean berjalan kemana saja yang ia mau. Malam yang makin pekat tidak ia pedulikan. Suara malam tidak sehingar bingar siang hari, namun bagi Rean terasa memekakkan. Sebab lagi-lagi telinganya terkontaminasi suara dari dalam kepalanya sendiri.

"Rean-kun... apa aku masih boleh menyukaimu?"

"Aku suka Rean-kun."

"Aku ingin bisa menyembuhkan Rean-kun juga seperti Sanny-chan."

"Aku punya kata ajaib biar penyakitmu sedikit mereda."

"Hakuna Matata!"

"Rean-kun, pilih suki, daisuki atau aishiteru!"

"Aishiteru."

"Apa buatmu ga apa-apa kalo kita putus?"

"Soba ni itekurete arigatou."

"Rean-kun pernah denger, setiap orang terhubung dengan pasangannya oleh benang tipis di kelingkingnya. Siap atau engga, cepat atau lambat, benang tipis itu akan mempertemukan keduanya."

"Gomen ne."

"Rean-kun tahu, aku pilih kamu karena wajahmu."

....

Rean bersandar pada pohon di dekatnya. Tangannya memegangi dada karena sesak. Sesuatu seperti sedang meremas jantungnya hingga ia sulit bernapas. Bayangan Feya entah kenapa terus dan terus saja membesar di kepalanya. Semakin ia melupakan, semakin Feya hadir di sana.

Tanpa bisa ia kontrol, air matanya jatuh ke pipi. Mulanya Rean bersikap santai, menyeka dengan sapuan jari. Tapi... makin lama air matanya keluar makin deras. Rean sendiri tidak tahu kenapa, rasanya seluruh tubuhnya tidak mau mendengarkan dengan baik.

Dan ketika ia pasrah membiarkan air mata itu tumpah, telinganya berdenging lagi. Seperti yang sudah sudah, suara di sekitarnya menjadi sangat peka. Kali ini lebih buruk karena suara itu bercampur dengan suara di dalam kepalanya. Rean tidak bisa mengontrolnya.

Ingatannya berlari pada Feya yang menutup kedua telinganya dan mengucapkan mantra, Hakuna Matata. Otaknya terngiang memori suara melengking khas Feya, tapi ia suka. Senyum mengembang yang selalu ia suguhkan. Juga panggilan Rean-kun yang ia dendangkan bersama tawa manis darinya.

Rean sangat rindu Feya.

Ia menangis. Untuk pertama kalinya ia merasakan tangis yang menyakitkan.

🍀

F I N

F.E.A.R mendekati tamat
Like dan komenmu selalu kutunggu
Jangan lupa beritahu teman2 mu kalau kamu menyukai cerita ini
Follow my IG @liani.april_
Oh ya, Eza dan Rean juga punya IG masing2 loh
Eza : @ezaharudi
Rean : @rean.kainand
Thank you~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro