Senandung Purnama

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hening malam dengan angin teduh, sayup-sayup terdengar nyanyian jangkrik yang entah menenangkan atau justru mengganggu. Dengkuran beberapa anak menentramkan hati, kiranya mereka mendengkur karena merasa hidup aman. Bukan tidak mungkin jika di belahan dunia lain banyak anak yang jangankan mendengkur, barang sebatas mengantuk pun harus mati-matian ditahan jika ingin tetap siaga dan aman.

"Ya ampun, menyebalkan." Dengan tatapan sayu, Emma mengumpat kecil menepis segala pemikirannya. Hati kecilnya seakan rancu ketika membayangkan banyak orang diluar sana dengan hidup menderita.

Baik itu Emma, dan teman-teman satu panti memang tak mengenal orang tua. Secara kebetulan Grace Field, yaitu panti asuhan tempat Emma hidup ini selalu diisi anak-anak yang dibuang sejak lahir. Menyedihkan, bahkan ada yang ditemukan di pinggir jalan. Tapi pada akhirnya, mereka semua berkumpul dan bahagia sekarang.

Ketika lamunan Emma telah mencapai batas, overthinking-nya menyeruak dan seolah memanaskan otak. Sungguh, gadis yang genap berusia 12 tahun ini mulai merasakan pubertas kecil-kecilan. Baginya, tumbuh besar cukup menyebalkan ketika kita harus repot memikirkan berbagai hal sebelum tidur. Ia rindu dongeng tidur Mama, alias pengurus panti yang penuh keteduhan itu.

Dengan mata yang terbuka lebar, Emma memilih menyelinap keluar kamar untuk bertemu dengan sohibnya, Norman dan Ray. Tentu saja Emma mengendap-ngendap, terlebih lagi jarak antara kamar anak laki-laki dan perempuan terpisah cukup jauh untuk menghindari keusilan seperti yang Emma lakukan ini. Namun ditengah laganya sebagai ninja dibalik bayangan, Mama berjongkok di tepian pintu dengan tangan memegang lentera.

"Sepertinya ada kucing nakal yang tertangkap basah," senyum lembut nan teduh Mama nampak mengerikan saat terpancar sinar lentera. Emma terbujur kaku ketika mendengar suara menusuk Mama, terlebih sosoknya dengan rambut tergerai panjang dan pakaian gaun putih.

"Kun-"belum selesai Emma berteriak, Mama menahan mulut Emma dengan tissue yang sedikit basah, rasa asin yang mirip air mata dapat dirasakan Emma. Mungkin tissue dengan air mata adalah simbolis orang dewasa yang meratapi nasib tiap malam.

Mama menghela nafas kecil, "Emma, sedang apa kamu tengah malam begini? Mau ke kamar anak laki-laki? Ya ampun, sudah kuduga Ray mendidik mu menjadi kupu-kupu malam."

"Mama! Ya ampun, Ray tidak salah apa-apa. Aku hanya susah tidur," wajah Emma semrawut. "Lagipula, kupu-kupu malam itu apa?"

Seketika, Mama merasa malu pada dirinya sendiri. Otaknya terlalu traveling akan hal ini, padahal yang ia hadapi hanya anak berusia 12 tahun dengan sifat polos dan kelewat ceria. "Ah sudah lupakan, besar nanti kamu paham. Lagipula, kenapa Emma susah tidur?" Dengan lembut, Mama mengelus puncak kepala Emma sembari menekan rambut antena khasnya agar tidak mencolok, namun sia-sia. "Ah, jangan-jangan kau memikirkan Norman atau Ray yah? Sampai susah tidur begini."

"Hah? Untuk apa memikirkan mereka?" Untuk sejenak, suasana malam yang hening kian hening saja. "Ah, mereka kan sahabat terbaikku, tentu saja aku memikirkan mereka. Sebagai sahabat tentunya."

Ray mungkin akan biasa saja menanggapi ini, tapi mungkin Norman akan depresi tujuh hari tujuh malam karena merasa tertolak sebelum mencoba. "Aku, hanya memikirkan dunia luar. Apa anak-anak di belahan dunia lain bahagia?"

Mama tertegun, menurutnya Emma cukup perasa untuk ukuran anak-anak, cukup sulit menemukan anak seusianya yang mau repot-repot memikirkan nasib orang lain di luar sana. "Kalau begitu, Mama akan menceritakan dongeng tidur, mungkin dengan itu Emma akan tahu jawabannya. Ayo kembali ke kamar."

Langkah mereka senyap, tak ada satupun anak-anak yang terbangun saat Emma dan Mama datang ke kamar. Di kamar, Emma sudah siap mendengar cerita Mama. Tak ada buku dongeng, wajah Mama yang sedikit sendu itu nampak indah ketika bulan menyinarinya.

"Cerita apa yang akan Mama ceritakan? Kisah nyata istri yang ditinggal suami pergi bersama gay?" Wajah teduh Mama tercengang. "Itu sinetron favorit Gilda dan Anna,"tambah Emma yang membuat wajah Mama sedikit lega. Sepersekian detik kemudian Gilda dan Anna bersin secara bersamaan.

"Bukan itu Emma, ini kisah sederhana. Tidak menodai pikiran anak-anak seperti sinetron favorit Gilda dan Anna." Mama sedikit menimbang-nimbang akan memulai dari mana ceritanya. "Tentang dua anak dan takdirnya, kisah manis yang berakhir singkat."

Emma merasakan kehangatan yang berbeda dibalik wajah sendu Mama, mungkin ini akan menjadi kisah yang cukup menyedihkan.

"Mama mulai bercerita yah?" Mama menghela nafas sejenak, "malam yang dingin, udara yang sejatinya mulai sejuk namun tetap saja menusuk paru-paru. Di pinggiran kota Minerva, terdapat kehidupan yang menyedihkan, kotor, namun tak pernah luput dari senyuman. Di sana, gadis bernama Isabella, dan teman satu-satunya yang bernama Leslie nampak kedinginan sembari berbagi kain tipis yang koyak. Malangnya mereka harus hidup susah meski masih berusia 12 tahun."

Emma terdiam, pikirannya berusaha positif namun rasanya sulit. Mereka berdua masih seusianya, namun hidup di dunia yang keras.

"Bernasib sama, mereka berdua sama-sama anak buangan yang hidupnya bermodal uang recehan hasil menarik suara di jalanan. 'Leslie, menurutmu sampai kapan kita hidup seperti ini?' tanya Isabella yang mengepang rambut panjangnya. Menurutmu Emma, apa jawaban Leslie?"

Belum ada jawaban, Emma berusaha mencari jawaban menurut sudut pandang anak yang hidup di pinggiran kota dengan keadaan memprihatinkan. "Sampai, ah menurutku Leslie hanya akan menjawab kalimat penyemangat, karena semua itu mungkin tidak akan berakhir kecuali ada keajaiban."

Iris mata Mama membulat, sebuah jawaban yang sudah sangat ia duga. Bukan karena Emma anak-anak, justru karena itu Emma. Anak lain boleh jadi memberi jawaban berupa harapan palsu seperti "sampai besok" atau kata-kata manis yang terbukti omong kosong besoknya.

"Ya, itu cukup benar. Leslie menjawab 'dulu saat kita masih berumur 5 tahun, kau pernah bertanya hal ini bukan? Kau bilang sudah tidak kuat. Tapi lihatlah, sampai sekarang kita masih hidup, itu berarti kita menjalani semua ini karena kita kuat!' Hebat bukan? Jarang sekali Leslie mengeluh soal itu, padahal Leslie juga masih anak-anak. "

Jarum jam bergerak, tidak ada tanda-tanda bahwa anak lain akan terbangun. "Kembali ke cerita. Saat purnama kian terang, Isabella meneteskan air matanya seraya menjatuhkan diri ke bahu Leslie. Dengan tulus hati, Leslie mengambil gitar kecil nan usang yang tergeletak di sebelahnya. Dengan lembut, ia memainkan alat musik itu. Tak kalah lembut, Isabella mulai bersenandung mengisi petikan halus Leslie. "

"Malam dingin yang indah. Bulan purnama menerangi mereka berdua yang berserah diri pada kehidupan. Bersandar pada dinding pabrik bekas, mereka mulai terlelap tidur dengan senyuman simpul." Mama terdiam sesaat setelah bicara, menatap langit dari jendela.

"Purnama yang indah, pantas saja mereka berdua merasakan kehangatan hati," Mama mengangguk karena setuju pada pendapat Emma. Bulan yang sama-sama indah, dengan nasib yang berbeda, itulah perbandingan kisah yang diceritakan Mama dengan keadaan saat ini. "Apa yang terjadi setelah mereka terbangun?"

"Hari-hari yang seperti biasa, menghadapi panasnya terik matahari, sumpeknya jalanan, dan tentunya umpatan pengguna jalan yang merasa terganggu. Seindah apapun permainan musik Leslie, semerdu apapun nyanyian Isabella, itu semua sia-sia dan tak berharga ketika di jalanan. Inilah kehidupan jalanan, Emma bersyukur kan hidup di panti ini?"

Emma mengangguk keras, tak menjawab banyak karena penasaran dengan lanjutan cerita. "Hingga sekitar pukul dua belas siang, bola sepak menggelinding ke arah Leslie dan Isabella. Leslie yang sadar akan hal itu segera mengambilnya dan pada saat itu juga seorang anak kecil datang. 'Ini ambil bolanya, hati-hatilah,' ucap Leslie lembut. Isabella ikut tersenyum pada anak itu, dari bola sepak yang nampak mahal, dan pakaian anak itu sudah ditebak kalau ini adalah komunikasi antar orang berkasta beda. "

"Kau tahu Emma? Hidup di jalanan amat keras. Leslie dan Isabella tak mengusik anak itu, justru sang anak malah senang dan mengajak mereka berdua bermain. Sampai takdir orang berkasta rendah mengambil alih keadaan, seorang wanita tua dengan lipstik terang menyala datang menarik paksa anak itu. 'Dasar rendahan! Apa-apaan kalian bermain dengan cucuku? Sadar dirilah!' Tentu itu kata-kata yang kasar. Isabella geram, namun ia sudah menduga hal ini, bahkan menurutnya bisa menemukan orang kaya di pinggiran kota ini sangatlah jarang. "

"Mereka datang pasti hanya untuk ikut acara amal, meski dalam hati mereka sangat membenci itu. Benarkan Mama?" Dugaan Emma tidaklah salah, memang benar begitu adanya. Ini tidak jauh beda dengan orang-orang atas yang berusaha mendapatkan hati masyarakat kecil dengan berbagi mie instan, untuk dikemudian hari diperas hak suaranya. Darimana Emma memahami ini? Sungguh, dia anak yang pintar dan perasa, terlebih lagi temannya yaitu Don selalu menceritakan berbagai cerita tentang Ibu tiri yang pencitraan di depan Ayah kandung, dan tentang orang-orang sombong yang dapat karma.

"Tak cukup sampai disitu, Nenek tua itu menarik paksa bola sepak dari cucunya, yang langsung dilempar ke wajah Leslie. Cucunya menangis, tapi diabaikan. Sebagai orang kaya yang merasa paling hebat, Nenek itu pasti merasa bola sepak cucunya sudah ternoda takdir miskin. Kejam bukan?"

"Dasar Nenek tua bau tanah!" Mama sedikit terkejut dengan umpatan Emma, namun ia tak mempermasalahkannya. Umpatan seperti itu mungkin ajaran Ray. Mama terus bercerita, Emma semakin tenggelam dalam cerita ketika mengetahui bahwa Leslie dan Isabella tetap sabar dan memilih minta maaf lantas pergi dengan hati lapang. Nenek itu sendiri, sepertinya pergi ke beberapa tempat lain di dekat situ. Memasang wajah santun dan senyum lebar yang memamerkan bibir gincunya.

Lagi-lagi pencitraan, memasang wajah baik saat berjabat tangan dan memberi sembako. Isabella sendiri melihat bahwa Nenek itu mengumpat sembari membersihkan tangannya dengan hand sanitizer tiap selesai berjabat tangan. "Kalau jijik, kenapa tidak langsung bilang saja?" Tanya Emma dengan wajah cemberut.

"Entahlah, tapi mungkin karena ada butuhnya." Jawaban singkat dari Mama, cukup logis karena biasanya manusia berbuat baik untuk harap timbal balik. "Saat hari sudah sore, Isabella dan Leslie beristirahat dipinggir jalan. Mereka mengobrol santai sembari menghitung berapa banyak kendaraan berwarna merah yang melintas. 'Kakak!' teriakan nyaring yang memecah fokus berhitung Isabella dan Leslie. Di seberang jalan, cucu Nenek tua yang tadi datang melambai dengan senyum merekah. "

"Isabella dan Leslie tersenyum balik, Nenek tua itu tidak ada. Harusnya aman bukan?" Emma mengangguk, namun wajah Mama menunjukan rasa kalut. "Yah, dia hanya anak kecil yang polos. Menyebrang tanpa tahu jalan sumpek penuh kendaraan di pinggiran kota. Langsung berlari tanpa lihat kanan dan kiri."

Mata Emma membulat, semua pikiran positifnya akan ending cerita mulai diuji. "Klakson kendaraan umum melengking, dan saat itu juga Leslie sudah berlari mendorong anak itu menjauh. Emma tentu paham maksudnya, bukan?"

Ya, anak bodoh pun pasti paham maksudnya. Apalagi Emma yang merupakan salah satu anak terpintar di panti. Pada akhirnya, nasib Leslie hanya sebatas menggantikan nyawa anak kecil yang nyaris melayang.

"Menyedihkan, Isabella sangat berharap tangannya bergerak barang sedikit untuk menahan Leslie. Tapi semua berlalu begitu saja, menyisakan Leslie yang sudah terbujur kaku dan berdarah-darah. Kalau Mama jadi Isabella, tentu sudah langsung bergerak. Biarlah anak kecil itu tertabrak, dengan uang pasti ia bisa selamat karena dirawat sangat baik di rumah sakit. "

Faktanya memang begitu, namun Mama sendiri menarik kata-katanya karena merasa itu sudah takdir bagi Leslie dan Isabella. Untuk saling terpisah diakhir cerita. "Sementara anak miskin antah berantah macam Leslie siapa yang peduli? Hanya Isabella yang menangisinya, tak ada yang menolong."

"Apa berakhir begitu saja?" Tanya Emma yang berharap akhir bahagia, barang sedikit saja.

"Ah belum, Mama ingat tentang akhir ceritanya. Bukan hanya itu kejutan yang ada, anak kecil yang diselamatkan mulai berteriak kencang dan menangis sejadi-jadinya. Neneknya yang menyebalkan datang, untung saja otak kolotnya paham situasi saat melihat cucunya histeris dan ingin memeluk Leslie."

Cerita berakhir cukup bahagia, saat itu mobil ambulan dipanggil. Isabella yang menangis tak henti-henti, sampai ia mendapat pesan lirih dari Leslie. "Sungguh indah, Leslie berpesan pada Isabella untuk hidup dengan lapang. Jika mendapat kebahagiaan, maka harus dibagikan. Leslie hanya ingin tidak ada anak lain yang bernasib sama dengannya. Leslie pun meninggal, mungkin Tuhan berbelas kasihan dengan memberi Isabella kehidupan yang lebih baik. Isabella mendapatkan keluarga baru, ia diadopsi dokter yang merasa tersentuh mendengar pesan Leslie."

Secara garis besar, Emma sangat paham dengan akhir cerita dari Mamanya. Bahwa dunia luar itu keras, namun juga indah. Selalu datang keajaiban ketika mulai kehilangan. Memang menyedihkan, kita menemukan ketika kehilangan. Tapi itulah roda kehidupan. Mama berpesan pada Emma, untuk selalu mendo'akan  mereka yang memiliki kehidupan keras diluar sana.

"Meski keras, hidup itu adil. Dengan kehidupan barunya, Isabella bertekad membahagiakan banyak anak-anak. Sedikit demi sedikit, Isabella semakin mengikhlaskan kepergian Leslie sahabat pertamanya, dan cinta pertamanya."

Bulan purnama masih terang menyinari wajah Emma. Helaan nafas terdengar kemudian Emma mulai berbisik, "di surga, Emma yakin Leslie sangat bangga pada Isabella. Jadi Mama, tolong jangan menangisinya lagi."

"Eh?" Emma tersenyum tipis yang kemudian memeluk Mama. Sempat terdiam, hingga Mama memeluk balik Emma dengan hati yang tercekat. Tepat pukul 3 pagi, cerita berakhir dengan Emma yang terlelap dan Mama yang meratapi bulan sambil bersenandung. Senandung purnama, dengan bayang-bayang senyum Leslie yang memainkan gitar kecilnya.

"Selamat tinggal, Leslie."

______

Cerita dibuat dalam rangka mengikuti Event TRPH.

Dipersembahkan untuk admin TRPH yaitu:
SynDeVender
Xiao_Fa
Akemi_Akutagawa
DeyRawwwww
CintaAlika4

Ngomong-ngomong, ini agak menyimpang. Tapi karena yang kubuat itu fanfict anime Promised Neverland, jadi sekalian aku sisipin aja fanart lama Isabella&Leslie. Gak bagus sih gambaranku ini, tapi yang jelas pict cuma pemanis aja.

Isabella & Leslie

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro