Bab 11-12 Amarah Gara

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Gea mengekori Gara sejak masuk ke dalam ruangan tempat berlangsungnya acara pernikahan. Ia tak protes ketika Gara memintanya untuk melepas kartu pengenal sebagai staf acara pernikahan dengan alasan agar bisa berbaur dengan para tamu. Ia juga tak protes ketika harus menemui mempelai pengantin, berfoto bersama dengan mereka, sampai duduk di meja untuk para tamu yang sedang asyik menyantap makanan seperti sekarang.

Gea memberanikan diri mendekati Gara. Ia sedikit mencondongkan kepalanya ke arah lelaki itu sambil terus memerhatikan dua wanita paruh baya yang tengah asyik berbincang di kursi lain, masih satu meja dengan mereka.

"Pak, apa gak sebaiknya kita makan di ruang untuk staf aja? Ini kan untuk tamu," bisik Gea hati-hati.

"Makan aja," balas Gara juga sambil berbisik. Sedikit mencondongkan kepalanya juga hingga nyaris bertubrukkan dengan kepala Gea.

Buru-buru Gea menarik diri. Ia sendok makanan yang tersaji di mangkuk berupa kuah bakso dengan warna putih pucat.

"Gak pake sambel?" tanya Gara yang malah mengomentari makanan yang diambil Gea. Tapi suaranya tak berbisik seperti barusan. Malah lantang sekali sampai dua wanita yang tadinya asyik berbincang langsung menoleh. "Biasanya cewek paling doyan sambel, kan?”

Gea salah tingkah diperhatikan. Ragu-ragu menyendok bakso, tapi tak sampai ditelannya. Malah hanya kuahnya saja yang akhirnya mendarat di mulut.

"Apaan sih, Gar?" protes Gea yang jadi malu sendiri. “Gak usah keras-keras juga kali kalau ngomong! Aku gak budeg! Suka-suka aku dong mau pake sambel atau enggak. Harus emang sama kayak cewek lain?”

"Kuahnya enak gak?" Gara malah bertanya lagi. Masih soal makanan yang Gea punya. "Baksonya gimana? Kerasa gak dagingnya?"

Wajah Gea mengernyit bingung mendapatkan rentetan pertanyaan itu. "Yah ... enak. Emang kenapa sih? Kok malah nanya gitu, Gar? Kamu juga ambil bakso kan itu? Kenapa gak diicip sendiri aja."

Gara menyendok bola bakso di mangkuk dan menggigitnya sedikit. "Enak sih. Dagingnya juga—"

"Coba siomainya!" potong salah seorang wanita yang duduk di dekat mereka. Cara bicaranya setengah berbisik. Ia sampai mencondongkan tubuh dengan mata awas menatap sekitar sesekali. "Ada bau ikan busuk gitu!"

Gea terperangah kaget. Hendak membuka suara untuk menyela, tapi sentuhan tangan Gara yang mendarat begitu saja di atas tangannya menghentikan niatan wanita itu. Alih-alih meladeni si wanita yang baru protes, perhatian Gea malah teralihkan pada Gara yang kini bukan hanya menyentuh tangannya tapi juga menggenggamnya erat. Tapi kepala lelaki itu tak menoleh padanya sedikit pun.

"Ada bau ikan busuk?" Gara menyela dengan kening mengerut.

Si wanita yang bicara barusan tampak berdiskusi dengan temannya sambil menyendok makanan di wadah yang ada di depannya.

"Ini nih! Yang kulit pangsit isi ikan ini," si wanita dengan semangat menyendok salah satu potongannya dan menunjukkannya pada Gara, "olahan ikannya kerasa bau busuk gitu. Kayak udah basi!"

"Bener." Teman si wanita yang lain ikut nimbrung. "Kalau bumbu kacangnya sih enak banget. Tapi ini nih yang ngerusaknya. Bau ikan busuknya. Bikin gak selera makan!"

"Oh ... hmm ...." Gara tak berkata-kata banyak. Ia melirik Gea yang masih bengong sambil melepaskan genggaman tangannya perlahan. "Kalau makanan lainnya gimana? Ada masalah? Rasa rendangnya? Tumis sayurannya? Saladnya? Rasa buah-buahnya?"

Gea baru teringat sesuatu setelah mendengar banyak pertanyaan terlontar dari mulut Gara barusan. Memang bukan untuknya, tapi ini membuat Gea jadi ingat akan tujuan mereka datang ke acara pernikahan ini untuk apa. Gea jadi ikut-ikutan mendengarkan jawaban dua wanita itu yang secara bergantian menjawab pertanyaan Gara.

"Yaaahhh ... standar sih kalau makanan di acara pernikahan emang gak akan seenak buatan sendiri. Iya gak, Mak?"

"Betul! Wajar aja sih kalau rasanya ada yang kurang juga. Ngolah makanan buat ratusan orang kan bukan hal yang gampang. Untung gak ketemu belatung juga!"

"Duh! Jangan dong! Kalau rasanya gak pas dilidah masih bisa dimaklumi. Tapi kalau makanannya sampe belatungan kayak gitu, emang yang masak gak bisa ngebedain apa mana makanan yang cepet basi dan enggak? Atau mana makanan yang bisa diolah duluan atau yang bisa di simpen dulu?"

"Mungkin aja yang masaknya bukan orang yang suka masak, Mak. Tuh lihat! Staf acara pernikahannya aja sebaya sama anak-anak kita. Yang masak mungkin seumuran sama anak kita juga. Masih muda! Belum berpengalaman di dapur!"

"Iya juga sih. Bisa juga tuh alasannya karena itu. Tapi, Mak—"

Gara tak banyak menyela obrolan heboh dua wanita itu perihal makanan yang tersaji. Gea sendiri hanya memandang kuah bakso di depannya yang masih utuh dengan lidah sesekali terjulur. Tepat ketika itu tiba-tiba Gara bangkit dari duduknya, meninggalkan mangkuk baksonya tadi yang sudah dalam keadaan kosong.

Gea sempat menatap kuah bakso miliknya yang masih utuh dengan senyuman tipis. Sebelum kemudian ia juga ikut menyusul Gara setelah berpamitan pada dua wanita tadi. Gea kembali mengekor di belakang Gara yang kini berjalan ke ruangan khusus staf.

"Panggil juru masak kita ke hadapanku sekarang juga!"

Gea termangu sesaat mendengar perkataan tegas Gara barusan. "Juru masak?"

Gara menoleh sinis pada Gea. "Cepat panggil sana!!!" perintahnya dengan mata melotot tajam.

***

“Lo bisa kerja gak sih?”

Gara mendaratkan kepalan tangannya ke dada seorang lelaki yang tengah berdiri tak jauh darinya. Penuh penekanan tapi tak terlalu keras. Berulang kali. Sampai membuat lelaki berapron putih itu tertunduk tapi bergeming di tempatnya. Mau sekeras apa pun tinju dari Gara, dia diam saja.

“Tahu mana bedanya makanan basi dan gak basi? Lo juru masak, kan? Lo bisa masak gak sih?!” cecar Gara tanpa ampun.

Gea yang berada di dekatnya hanya bisa menganga lebar, begitu juga staf lain yang secara kebetulan menyaksikan Gara tengah mengomeli lelaki yang bertugas sebagai juru masak itu.

“Lo mau bikin bisnis Molapar hancur? Huh! Lo emang berani bertanggung jawab kalau bisnis ini gulung tikar gara-gara satu kesalahan lo tapi semuanya kena? Lo pengen rekan kerja tim lo yang lain kehilangan mata pencaharian? Huh!”

Kali ini Gara bukan hanya mendaratkan kepalan tangannya di dada si juru masak, tapi juga sampai menendang tungkai kakinya. Si juru masak sampai tersungkur di lantai, mengaduh kesakitan, namun berusaha keras berdiri kembali seperti semula.

“Maaf, Pak. Soal itu saya beritahukan pada yang lain kalau—“

“Kalau apa?” potong Gara cepat. “Lo gak usah nyalahin orang lain! Lo di sini ketuanya! Orang yang bertanggung jawab di dapur! Lo bisa kerja yang bener gak? Huh! Jangan cuma ngasih perintah ke bawahan tapi lo gak cek sendiri apa bawahan lo itu kerjanya bener atau enggak!”

Si juru masak menarik napas panjang dengan kepala tertunduk. “Maaf, Pak.”

“Maaf! Maaf! Maaf! Kesalahan lo gak akan bikin penilaian jelek para tamu berubah, bego!” Jari telunjuk Gara mendarat di pelipis si juru masak. Memberikan tekanan di sana sampai membuat kepala si juru masak terdorong.

Gea buru-buru menahan lengan Gara, mencekalnya, tapi tak cukup erat karena bosnya itu bisa menepisnya dengan mudah.

“Diem lo! Gak usah ikut campur!” Gara menunjuk wajah Gea sambil melotot. “Dan lo,” kata Gara yang kini mengalihkan jari telunjuknya ke muka si juru masak, “lo dipecat! Setelah acara ini selesai, tugas lo juga selesai. Gaji lo gue potong sebagai hukuman karena makanan busuk di acara pernikahan ini.”

Si juru masak seketika mendongak dengan wajah panik. “Tapi, Pak. Saya kan sudah—“

Gara sudah lebih dulu berjalan menjauh sebelum si juru masak menyelesaikan kalimatnya. Gea yang hendak menenangkan situasi di area staf karena tiba-tiba berubah tegang oleh kejadian barusan, batal melakukannya ketika terdengar teriakan Gara dari kejauhan.

“Gea!”

Hanya satu kata itu, tapi Gea seperti sudah tahu makna dibalik namanya yang dipanggil. Tatapan tajam Gara dari kejauhan juga cukup membuat Gea tak bisa berkutik selain segera menyusul lelaki itu.

Terburu-buru Gea menghampiri. Keluar dari hotel tanpa bicara apapun pada Gara yang sepanjang perjalanan berkaca pinggang, mendengkus kesal, dan menggerutu.

“Sialan! Jadi ini penyebab Molapar hampir bangkrut! Pegawainya sama sekali tidak berkualitas! Tolol! Bodoh! Tak becus!”

Gea tentu tak punya nyali untuk menyela di saat yang keluar dari mulut Gara hanya berupa umpatan kasar begitu. Ia kenal sekali situasi semacam ini yang juga pernah terjadi dulu ketika mereka masih duduk di bangku SMA. Meski sebelas tahun sudah berlalu, rupanya kebiasaan Gara jika sudah tersulut emosi tak pernah berubah.

Gea terus mengekori Gara sampai mereka kembali ke dalam mobil. Nyali Gea justru semakin ciut ketika Gara mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi. Berulang kali menyalip kendaraan di depannya sampai hampir terjadi tabrakkan. Bukan hanya itu saja, umpatan dan gerutuan masih terus mengalir deras dari mulut atasannya itu.

“Bego! Tolol! Bodoh! Sialan!”

“Gara!” Gea memberanikan diri memanggil nama atasannya itu, meski dengan nada gemetaran. “Berhenti! Kita bisa celaka kalau kamu nyetir kayak gini! Bahaya!”

Seketika itu juga mobil berhenti. Tepat di tengah-tengah perempatan jalan di mana dari arah sisi mobil mereka ada beberapa kendaraan yang hendak lewat terpaksa berhenti. Bunyi klakson berbunyi nyaring. Gea makin panik dengan tindakan Gara.

“Ngapain kamu berhenti?!” tanya Gea yang celingukan memandang sekitar. Beberapa kendaraan bermotor melaju di arah depan dan belakang mobil mereka, tapi tidak dengan kendaraan roda empat lain yang masih terjebak di posisi yang sama.

“Tadi kamu minta aku berhenti, kan?” balas Gara. “Aku udah berhenti sesuai perkataan kamu.”

“Tapi gak berhenti di tengah-tengah jalan raya kayak gini juga, Gara! Banyak kendaraan yang mau lewat!” Gea jadi jengkel sendiri.

“Jadi kamu mau aku menghentikan mobilnya atau bagaimana? Huh!”

Suara klakson berbunyi dari berbagai arah. Terdengar nyaring sekali. “Jalan!” teriak Gea yang semakin panik. Ia sampai mengarahkan jari telunjuknya agar Gara tahu harus mengarahkan mobilnya ke mana. “Jalan sekarang juga, Gara!”

“Aku mau kamu turun dari mobilku sekarang juga!” Gara menoleh pada Gea dengan mata melotot. “Turun sana!!!”

To be continued ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro