Bab 2 Gagal Sembunyi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Oh! Kamu si anak gajah itu, kan?" serbu Gara penuh semangat. Seperti baru saja berhasil memecahkan teka-teki sulit. Tapi, sungguh! Gara belum terlalu yakin. "Kamu beneran Gea Ananda, kan? Anak IPS 3 yang suka makan—aaw!!!"

Gara memekik keras. Wanita yang dikenalnya itu baru saja menginjakkan ujung sepatu hak tingginya ke kaki Gara. Saking kerasnya pekikan Gara, seisi ruangan langsung memerhatikan mereka.

Gea jelas langsung gelagapan, panik bukan main! Niat hati ingin bersembunyi, rupanya Gara berhasil mengenalnya. Bagaimana bisa dia mengenalku? Aku sudah berubah total begini, masa dia bisa ngenalin sih?

Percuma juga Gea menggerutu karena ia dan Gara kini sedang menjadi pusat perhatian. Tentu saja hal ini tak Gea harapkan. Apalagi ini adalah pertemuan resmi dengan CEO baru Molapar. Semua karyawan Molapar ada di sini!!!

Tanpa membuang banyak waktu, Gea langsung lari keluar ruangan. Ia sampai mendorong orang yang menghalangi langkahnya cukup kasar, tak peduli apakah mereka memiliki jabatan lebih tinggi atau tidak sekali pun darinya.

Sesekali Gea menoleh ke belakang seiring langkahnya kian menjauhi ruangan pertemuan tadi. Takut sekali jika Gara malah menyusulnya. Sampai di dalam lift, Gea baru bisa bernapas lega sejenak. Ia sampai menyandarkan punggungnya di dinding lift.

"Bodoh banget sih kamu, Gea! Gara itu atasan kamu! Ngapain malah kabur begini? Mana orang-orang pada lihat lagi! Mereka bakalan mikir apaan coba? Aaarrrggghhh!!!"

Gea sibuk merutuki dirinya sendiri sesaat setelah tiba di ruang kerjanya. Ia langsung duduk di kursi kerjanya, menelungkupkan kepalanya di atas meja, lalu menggerutu lagi. Merutuk tindakannya barusan yang malah lari setelah Gara berhasil mengenalnya.

"Harusnya aku pura-pura gak kenal! Bodoh kamu, Gea! Bodoh! Kalau begini, Gara udah pasti ngenalin kamu! Aaarrrggghhh!!! Gimana ini???"

Gea mengangkat kepalanya. Raut wajah kusutnya kentara sekali. Ia celingukan memandang sekitar ruang kerjanya yang masih sepi. Tapi justru kondisi ruangannya yang kosong itu malah membuatnya tak tenang.

"Aku harus gimana nanti? Aku pasti ditanyai sama anak-anak kenapa sampai nginjek kaki CEO baru Molapar. Aaarrrggghhh!!! Bodoh banget kamu, Gea! Bodoh! Ngapain juga sih pake nginjek kaki si Gara segala?" rutuk Gea tak henti-hentinya. "Gimana kalau langsung kena pecat?"

Gea makin sulit menyembunyikan ketakutannya. Membayangkan ia akan menjadi pengangguran kembali setelah tiga tahun ini berjuang di Molapar, rasanya Gea ingin mati saja. Ibunya pasti akan mengomel hebat kalau sampai ia kehilangan pekerjaannya lagi seperti sebelumnya.

Umur udah kepala tiga, belum nikah, pengangguran lagi! Duh! Gea ngeri kalau harus mengalami nasib buruk begini? Apa kata orang nanti? Sarjana kok pengangguran? Enggak! Gak mau! Gea gak mau kena sial begini!!!

"Tapi, tunggu! Kalau aku dipecat dari Molapar, itu artinya aku gak bakalan bertemu sama si Gara, kan?" Gea berpikir sejenak. Seperti menemukan sesuatu yang menyenangkan di tengah kekalutan hatinya. "Bukannya ini bagus, ya?" pikirnya keras.

Gea tiba-tiba berlonjak senang. Ia sampai heboh bertepuk tangan sendirian. Aksinya tadi yang dengan berani menginjak kaki Gara bukanlah sebuah malapetaka, melainkan solusi dari masalah yang baru saja muncul!

Daripada harus bekerja dengan musuh bebuyutannya, Gea lebih baik jadi pengangguran dan mencari pekerjaan baru lagi saja. Kena omel Ibunya pun masih lebih baik ketimbang sampai dibully lagi oleh Gara, kan?

"Bagus, Gea! Tindakanmu ini sudah benar! Kamu harus keluar dari Molapar ketimbang harus jadi bawahan si Gara!" Gea meyakinkan dirinya.

Tak lama berselang, para karyawan bermunculan. Langsung memburu Gea. Bukan untuk mendiskusikan pekerjaan, melainkan membahas kejadian tadi. Tentu saja Gea tak panik. Ia senang sekarang!

"Bu Gea kenapa nginjek kakinya Pak Gara?"

"Maksudnya Pak Gara tadi apaan, yah?"

"Si anak gajah itu siapa?"

"Anak IPS 3? Bu Gea sama Pak Gara satu sekolah dulunya? Sama-sama anak IPS, gitu?"

"Gimana kalau Bu Gea kena hukuman gara-gara insiden tadi?"

"Iya loh, Bu! Ngapain juga coba pake nginjek kaki atasan segala sih? Ada-ada aja Bu Gea ini."

Gea dicecar beragam banyak tanya, nyaris seperti diserbu para wartawan yang sedang mencari informasi dari artisnya. Ia tentu saja tak panik karena ini memang sesuai prediksinya tadi. Gea malah mendengarkan dengan saksama setiap pertanyaan yang terlontar dari para karyawan. Sampai tak tahu harus menjawab pertanyaan yang mana terlebih dahulu.

"Tenang. Tenang. Satu-satu dulu aja kalau nanya. Aku bingung harus jawab yang mana dulu kalau kalian nanyanya keroyokan begini?"

Gea beralasan agar suasana gaduh di ruang kerjanya kembali kondusif. Ia tak masalah kok jika harus menjawab semua pertanyaan mereka. Asalkan ia bisa kena pecat nantinya!

Tenang! Gea waras! Ia ingin dipecat karena ia SANGAT WARAS!

Tepat ketika Gea hendak berbicara lagi, sosok Gara muncul di tempat itu. Ini tentu saja bukan hal yang Gea duga sebelumnya. CEO sebelumnya lebih sering memanggil bawahan ke ruang kerjanya ketimbang menemui bawahannya langsung seperti ini.

Bergegas para karyawan kembali ke kursi kerjanya sendiri. Tak lagi mengerumuni Gea yang langsung memalingkan pandangan, pura-pura tak melihat kemunculan Gara di sana. Bisa jadi kan Gara datang ke sana bukan untuk mencarinya?

"Mau ngapain dia ke sini? Masa sih mau nyariin aku gara-gara insiden tadi sih?"

Gea jadi geer sendiri jadinya. Jari-jemarinya bergerak rancu di atas keyboard, tapi layar laptopnya kosong melompong. Gea panik, lega, sekaligus bingung juga.

"Gea!"

Panggilan itu terdengar lantang sekali. Gea yakin itu suara Gara. Ia bahkan sempat menoleh sebentar dan melihat lelaki itu tengah memasang tampang marah, matanya begitu sibuk bergerilya ke sesisi ruangan seperti mencari sesuatu tapi sambil menyerukan nama Gea. Nyali Gea yang tadinya sempat percaya diri siap untuk menghadapi segala macam situasi malah mendadak ciut.

Ia ingat wajah Gara yang memang tak pernah bersahabat. Itu benar-benar menakutkan!

Secara perlahan Gea malah menundukkan kepalanya. Berharap dinding pembatas antara ia dan karyawan lain cukup mampu membuatnya tak terlihat siapa pun, terkhusus Gara. Bikin cowok itu buta juga gak apa-apa deh!

Ekor mata Gea mengedar ke arah samping, pada Lea yang tengah menatapnya bingung.

"Pak Gara manggil, Mbak!" bisik Lea sambil mencondongkan badan ke arahnya. "Mbak Gea gak denger?" tanyanya.

Ingin sekali Gea menjitak kepala Lea yang malah mengajaknya bicara. Salahnya juga sih tak mengajak Lea bekerja sama dulu agar mau pura-pura tak melihatnya.

"Gea Ananda!" Suara Gara terdengar lagi.

Panggilan Gara semakin lantang. Bukan hanya Lea saja yang melemparkan bisikan pada Gea yang masih berusaha menyembunyikan diri. Karyawan yang duduk di depan, bahkan di belakangnya pun ikut mendongak, mengintip keberadaannya.

"Bu Gea dipanggil tuh! Ngapain sembunyi segala?"

"Dipanggil Pak Gara, Bu!"

Bisik-bisik terdengar. Semuanya membahas Gea yang kini perlahan memberanikan diri menampakkan wajah, mengubah posisi duduknya seperti sedia kala. Satu tangannya juga perlahan terangkat. Hati-hati sekali.

"Sa—saya, Pak!" seru Gea takut-takut.

Gara langsung mengarahkan pandangan pada wanita itu. "Ke ruangan saya sekarang juga!" balas Gara dengan mata melotot. Tajam sekali!

Mampus! Dia marah! Gimana ini?

To be continued ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro