Bab 25 Kamu Suka Sama Dia, Gak?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Gara adalah tunangan Vania!”

“Siapakah Gara yang menjadi tunangan Vania?”

Dan masih banyak lagi berita mengenai Gara yang beredar luas, menjadi buah bibir di berbagai media. Mendadak jadi tenar seperti ini tentu saja sudah Gara perkirakan sebelumnya. Bahkan ketika ia sedang menghabiskan waktu di tempat gym dengan Vania seperti yang dikatakan perempuan itu, keberadaan mereka rupanya mengundang banyak perhatian. Beberapa orang bahkan sampai meminta berfoto dengan mereka.

“Harusnya kita ke tempat gym yang biasa aja, Van. Ngapain kita ke tempat gym yang ramai begini? Gak ada bagus-bagusnya juga tuh! Tempatnya bahkan lebih sempit daripada tempat gym yang biasa,” dumel Gara jengkel.

“Ini namanya uji coba, Yang.”

“Uji coba apa maksud kamu?”

“Aku pengen tahu aja reaksi masyarakat sama hubungan kita itu gimana? Pro atau kontra? Setuju atau tidak? Apakah mereka suka kamu atau enggak?”

“Penting?”

“Pentinglah! Emangnya kamu mau kalau kita punya haters yang gak suka hubungan kita?"

“Gak perlu dipikirin. Biarin aja! Itu kan hak mereka suka atau tidak ke kita.”

“Kamu tuh, yah! Mulai keluar deh egoisnya. Kamu juga harus mikirin aku dong? Kalau aku punya haters, itu artinya karirku juga terancam. Akan banyak  orang menghujat ketimbang memuji. Memangnya ada artis yang makin tenar karena banyak haters? Gak ada, Gara! Justru keberadaan mereka itu malah dibenci dan akan dengan mudah dilupakan. Aku gak mau dong karirku hancur gitu aja!”

“Terus? Reaksi mereka gimana atas hubungan kita?"

"Hmm ... kayaknya sih setuju-setuju aja deh.”

“Oh. Ya udah! Kita balik sekarang. Aku gak suka di tempat ini. Kita ke tempat gym yang biasa aja.”

Vania mengangguk sambil menggamit lengan  Gara dengan semringah. Tapi senyumannya meredup ketika ia melihat Gea berada di ambang pintu.

“Kenapa sih kamu harus bawa asisten kamu ke sini juga? Suruh aja dia pulang!” bisik Vania sinis.

“Dia gangguin gak?”

“Enggak sih. Cuma ....”

“Ya udah. Tugas dia emang gitu kan. Selama dia gak ngomel atau nurut-nurut aja pas kita suruh, ya udah biarin aja. Yang penting dia gak ganggu.”

“Oh ... gitu. Ya udah deh.”

Jadinya, Gea terus mengekori Vania dan Gara ke mana pun mereka pergi. Berpindah tempat gym, sampai akhirnya pergi ke sebuah restoran vegan milik seorang Chef ternama. Tentu saja Gea mau tak mau juga ikut menghabiskan makan  malam dengan mereka karena Gara tak kunjung memberikannya izin untuk pulang.

[Aku harus pulang, Gara! Gak ada kerjaan banget cuma ngintilin kamu yang lagi pacaran? Emangnya aku ini apaan coba?]

[Aku mau pulang sekarang juga!!!]

[Izinin woy!!!]

Gea gencar mencecar Gara dengan rentetan pesan ke ponsel cowok itu. Beberapa kali Gara tampak mengintip ponselnya disela-sela perbincangannya dengan Vania. Tapi hanya melirik sebentar saja, lalu setelah itu berpaling dan memilih mengobrol lagi dengan Vania.

Nyebelin banget emang tuh cowok!

“Maaf ganggu bentar. Aku boleh minta izin buat pulang gak? Kayaknya tugasku juga udah beres.” Gea memberanikan diri membuka suara setelah rentetan pesannya diabaikan oleh Gara. Tugasnya tadi kan cuma bantu Gara nyari setelan buat konferensi pers. Yah ... meskipun pada kenyataannya malah diambil oleh si Vania. Setelah itu, dia malah harus ngikutin si Gara ke konferensi pers, gym, sampai makan malam di restoran ini. Tugasnya di hari libur jelas-jelas di luar kesepakatan!

Eh? Tapi tak ada kesepakatan apapun antara ia dan Gara tuh! Karena kenyataannya, sebagai asisten pribadi Gara, Gea diperlakukan semena-mena. Seperti sekarang ini nih! Malah harus ngintilin Gara pacaran sama Vania.

Kurang ajar!

“Pulang aja!” Vania menimpali dengan cepat. Ia memang sangat ingin Gea pergi dengan sendirinya karena Gara sama sekali tak mau mengusir asisten pribadinya itu pergi dengan dalih tidak mengganggu. Padahal, Vania risi sekali melihat perempuan itu wara-wiri saat dia dan Gara sedang kencan.

“Kamu yakin tugas kamu udah beres?” Gara malah balik bertanya. Membuat Gea jadi bingung sendiri akan pertanyaannya itu.

“Emang tugasku udah beres kok!” Gea bersikeras. Meyakini keputusannya.

“Oh, yah? Kamu yakin?” tanya Gara lagi. Melempar pertanyaan yang begitu ambigu.

Duh! Maksudnya apa sih nanya aneh begini? Gea harus jawab apa coba? Perasaan tugasnya emang udah selesai kok? Kenapa juga Gara pake nanya segala kayak gini? Emang ada tugas yang belum Gara selesaikan? Mana ini hari liburnya lagi! Gak bisa apa si Gara ini ngasih Gea kesempatan untuk menikmati waktu libur?

Dasar atasan gendeng!

“Emang tugas apa lagi yang belum aku selesaikan?” Gea memilih bertanya balik. Seperti yang dilakukan Gara tadi. Menanggapi pertanyaannya dengan pertanyaan lagi.

“Membujuk Chef Malaka untuk menjadi juru masak di Molapar. Itu tugas yang belum kamu selesaikan!”

Mata Gea membola sempurna. “Hah? Bujuk Chef Malaka jadi juru masak di Molapar?” Ia celingukan memandang sekitar restoran. “Kamu mau dia yang udah sibuk ngurusin restorannya buat kerja di Molapar?”

“Siapa bilang dia sibuk?”

“Lihat aja restorannya! Ramai begini, Gara!!!”

“Terus kalau ramai emang kenapa? Kalau dia sibuk emang kenapa?”

“Ya, mana mau dia jadi juru masak di Molapar! Ngaco kamu!”

“Udah tanya dia kalau dia gak mau jadi juru masak di Molapar?”

“Gak perlu ditanya juga harusnya kita udah bisa menilai!”

“Jangan berpendapat tanpa fakta, Gea. Kamu hanya menerka-nerka! Tanya sana langsung! Tawari Chef Malaka untuk kerja di Molapar.”

“Tapi, Gar –“

“Kalau dia emang gak mau, maka tugasmu adalah mencari juru masak lain, Gea. Secepatnya!”

“Tapi –“

“Aduh, Ge. Kamu tuh banyak tapi-tapi aja dari tadi. Sini! Sini!” Gara tiba-tiba bangkit dari tempat duduknya, “ikut aku! Biar aku tunjukkan caranya menawarkan pekerjaan pada seorang chef agar mau bekerja di Molapar. Ayo!”

Gara pergi begitu saja dari tempat itu diekori Gea yang berjalan begitu saja di belakangnya. Keduanya meninggalkan Vania yang tak sedikit pun bisa menghentikan aksi Gara. Gea juga tak bisa berkutik selain mengekori lelaki itu meski sambil ngedumel. Kepergian mereka tentu saja menjadi perhatian khusus Vania. Terlebih dari cara Gea dan Gara berbicara terkesan begitu ganjil.

“Mereka beneran temen baik rupanya. Sampai panggil nama segala! Katanya atasan dan bawahan. Tapi kok bawahannya kayak gak ada sopan-sopannya sih manggil Gara? Masa manggil nama sih?” dumel Vania jengkel. Ia melahap makanan di meja sambil terus menggerutu kepergian Gara dan Gea. “Aku harus nyusul mereka!” tegasnya sambil menggebrak meja cukup keras.

***

Nyebelin! Gendeng! Gila! Duh? Apa lagi yah sebutan yang cocok buat kelakukan Gara sekarang? Gea bener-bener gak habis thinking!

“Kamu mau ninggalin dia gitu aja?” Gea berkaca pinggang di belakang Gara yang tengah membuka pintu mobil. Matanya sudah melotot tajam. Tapi sayangnya hal itu tak dilihat oleh Gara yang lebih memilih mengabaikannya. “Dia itu tunangan kamu! Bisa-bisanya kamu tega ninggalin dia, Gara. Gila kamu yah!”

Gara membanting pintu mobil cukup keras. Ia berbalik badan, lalu mendelik tajam pada Gea yang tentu saja langsung membuat mata melotot Gea tadi langsung menyipit. Dua tangannya yang berpangku di pinggang pun perlahan turun. Berbarengan dengan kepalanya yang sesekali tertunduk dan berpaling dari pandangan Gara.

“Kamu tak perlu ikut campur urusan pribadiku!”

“Gimana aku gak ikut campur kalau kamu sendiri yang minta aku ngurusin urusan pribadi kamu.”

“Kapan aku minta kamu ngelakuin itu?”

“Itu yang minta aku nemenin kamu jemput si Vania di bandara. Emangnya itu artinya bukan kamu yang minta aku ikut ngurusin urusan pribadi kamu? Huh!”

Bibir Gara langsung terkatup rapat mendengarkan jawaban Gea barusan. “Itu ---“

Belum sempat Gara membuka suara lebih banyak lagi, Gea sudah menyela lebih dulu, “bukan cuma itu aja!” Gea sampai mengarahkan satu jari telunjuknya ke muka Gara. “Pagi tadi kamu bangunin aku subuh-subuh cuma buat milihin setelah buat konferensi apalah gitu. Pokoknya hal yang gak penting yang harusnya itu jadi urusan pribadi kamu, bukannya aku! Ngintilin kamu sama si Vania wara-wiri ke gym, mall, sampai di sini! Dari subuh sampai malam, Gara! Kamu ngerusak waktu liburku dengan minta aku ngurusin kehidupan pribadi kamu! Sadar gak sih? Huh! Huh! Huh!”

Duh! Pengen banget deh Gea jitak kepalanya Gara sekarang. Bukannya ngomong apa gitu, tapi malah bengong kayak orang bego. Ngerti gak sih dia sama omongannya Gea barusan? Atau jangan-jangan Gara gak ngerti?

“Terus mau kamu sekarang apa? Pulang? Ya udah sana! Kamu dari tadi pengen pulang, kan?” balas Gara yang malah  mengalihkan topik pembicaraan.

“Emang! Aku mau pulang sekarang juga!”

“Ya, udah sana! Ngapain juga masih di sini?”

Gea bener-bener nyesel udah khawatirin Vania tadi waktu Gara berencana ninggalin dia. Bodo amat deh! Buat apa juga sih ngurusin hubungannya si Gara sama si Vania? Bener, gak? Ini bukan urusan Gea! Yang penting, sekarang Gea bisa pulang. Sesuai keinginannya tadi.

“Dasar atasan gendeng!”

Gea sempat mengumpati Gara sebelum meninggalkan lelaki itu yang langsung emosi mendengar umpatan itu.

“Gendeng kamu bilang? Heh! Gea! Sini kamu! Balik sini! Apa kamu bilang barusan? Kamu berani ngata-ngatain atasanmu sendiri? Gea! Gea! Heh! Gendut! Perut donat!”

Gea menutup dua cuping telinganya dengan tangan. Mengabaikan teriakan Gara yang membalas umpatannya tadi. Puas tentu saja! Ia tak peduli Gara mengumpatinya balik. Toh hasilnya sama-sama seri. Gea tak perlu takut lagi! Pokoknya, darah harus dibalas darah!

Kalau Gara semena-mena lagi padanya, maka ia akan membalasnya.

“Aku pulaaaaang!!!”

Gea balas berteriak lagi. Sambil melambaikan tangan ke udara dengan tubuh membelakangi Gara. Sementara cowok itu terus meneriakinya tanpa henti. Tampak bersemangat sekali. Hanya fokus memerhatikan kepergian Gea tanpa peduli pada Vania yang diam-diam melihat dari kejauhan.

“Temen macam apaan ini?” gumam Vania penuh tanya. ”Gara!!!”

***

Dua tangan Gara erat memegang setir. Matanya tetap lurus memandang jalanan yang ramai meski Vania yang duduk di sampingnya terus mengajaknya bicara.

Lebih tepatnya memarahi Gara sebenarnya.

“Sekalipun kalian temenan, harusnya sebagai atasannya dia, kamu tuh bisa bertindak tegas kalau dia bersikap tak sepantasnya ke kamu. Bukan malah teriak kayak orang gila seperti tadi, Gara! Pecat aja dia langsung kalau emang dia gak becus sama kerjaannya. Tunjukkin ke dia meskipun kalian temenan, kalau soal kerjaan itu yah harus bersikap profesional! Aku gak terima kamu diginiin sama bawahanmu sendiri sekalipun dia itu temen kamu.”

Gara tak tahu harus menyela ocehan Vania seperti apa setelah tunangannya itu berhasil membatalkan rencananya untuk kabur. Seharian ini Gara sudah dibuat repot karena ‘kencan’ dengan Vania. Atau lebih tepatnya harus mengikuti kemauan Vania. Kalaupun dia membela diri, sudah pasti hubungan mereka akan jadi rusak.

Tidak! Gara tak mau hubungannya ini kacau balau. Akibatnya akan sangat fatal! Belum lagi hubungan mereka ini sudah diketahui publik hari ini.

Apa kata mereka nanti kalau hubungan mereka malah harus  putus sehari setelah konferensi pers? Bener-bener gak lucu, kan?

“Nanti aku obrolin ke dia.” Gara tak mau memperumit masalah. Begini saja deh. Mengiyakan apa kata Vania seperti sebelum-sebelumnya. Yang penting dia diam. Semuanya beres!

“Ngapain kamu ngobrol sama dia? Pecat aja langsung!"

“Gak bisa gitu, Van. Gea itu---“

“Apa? Kamu mau ngebela dia setelah dia bertindak semena-mena ke kamu sebagai atasannya? Karena dia temen kamu? Gitu?”

“Van, ini urusan pekerjaanku. Jadi ---“

“Ini jadi urusanku juga! Aku mana terima tunanganku sendiri dapat sikap kayak gitu dari bawahannya?”

Gara memalingkan bola matanya pada Vania yang malah membanting tubuhnya di kursi. Kepalanya berpaling. Dua tangannya bersilangan di dada. Dari raut wajahnya, Gara dapat menangkap ada rona amarah di sana. Padahal yang harusnya marah di sini tuh kan sebenarnya Gara. Yang berurusan dengan Gea itu kan Gara. Kenapa Vania jadi merasa kalau ini urusannya juga? Biasanya juga dia gak kayak gini!

Gea juga tadi bersikap sama juga nih kayak Vania! Sok mengurusi kehidupan pribadinya! Kenapa sih dua cowok ini? Mereka pada  kenapa coba? Kok pada kompakan gini sikapnya? Apa mereka sengaja mau bikin Gara sakit kepala?

“Tapi aku gak bisa pecat Gea!” Gara menegaskan tanpa ragu. Tak peduli raut wajah Vania semarah apa, meski tahu jawabannya ini hanya akan menyulut api yang sudah membara, Gara tetap nekat melakukannya. “Aku gak bisa pecat Gea dari posisi ini karena aku membutuhkan dia.”

“Kamu butuh dia atau kamu emang suka sama dia?”

“Aku suka sama dia.”

“Apa? Jadi kamu suka sama Gea?”

“Suka karena kinerjanya, Van. Dia bisa diandalkan dan gak neko-neko. Penurut. Gak terlalu banyak ngatur buat aku yang gak suka diatur. Kamu bisa menilainya seharian ini gimana dia  gak pernah komentar ngikutin kita berdua. Dia pernah protes ke kamu? Enggak, kan? Tadi itu dia minta pulang karena emang udah jadwal dia pulang. Aku niatnya mau nganterin, tapi dianya ---“

Enggak! Bukan seperti ini yang Vania saksikan tadi. Bukan pembicaraan ini yang ia tangkap dari obrolan Gara nda Gea sampai Gara meneriaki kepergian Gea tadi. Kenapa Gara berbohong seperti ini padanya?

To be continued ….

***

Kelanjutannya hanya tersedia di:
BESTORY dan KK dengan judul yang sama

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro