Bab 43 Kamu Bukan Cowokku!

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Drik sana-sini sama Gara macam setrikaan. San anehnya Gea malah pasrah aja. Nurut dibawa Gara masuk ke outlet satu terus ke outlet yang lainnya. 

Bukan itu saja. Gara pun mendadak sibuk macam pelayan toko yang sedang menawarkan dagangannya ke pelanggan. Gea jadi mirip manekin yang harus mau jadi objek percobaan Gara untuk mengenakan pakaian satu dan lainnya yang dicomot Gara asal-asalan dari gantungan di tiap outlet. 

“Yang ini? Hmm … kurang cocok.”

“Kalau ini? Hmm … Badan kamu jadi kelihatan bantet kayak kurcaci.”

Seenaknya juga Gara berkomentar.

“Ini deh coba dulu? Tapi, tunggu. Warnanya gak sesuai sama kulit kamu. Oke. Ganti yang lain.”

“Kalau ini? Bagus sih, tapi ….”

Gara menarik satu per satu barang yang berjejer rapi, dari mulai pakaian atasan, bawahan, bahkan sampai sepatu.
Gea belum mencoba secara langsung loh! Gara cuma ngambilin barangnya, terus dideketin ke tubuh Gea. Sok menerawang dari kejauhan apakah barang itu pas atau enggak.

Gea sendiri? 

Malu banget! 

Bukan cuma di satu outlet aja tingkah Gara kayak gitu. Tapi hampir semua outlet yang mereka kunjungi, Gara bertingkah kayak pelayan toko yang sedang kerepotan melayani pelanggan VVIP.

Mau protes?

Gak bisa! Gea gak mau. Diam-diam dia tersenyum senang sebenarnya melihat tingkah Gara yang menariknya ke sana kemari macam setrikaan. Sentuhan tangan laki-laki itu kasar namun menuntut. Getaran aneh di dalam hati Gea mendorongnya untuk hanya pasrah saja dengan keadaan.

Kapan lagi kan Gara bersikap sehangat ini dengannya?

Dulu, boro-boro meladeni Gea macam pelayan toko begini, doyannya kan nyuruh Gea macam babu. Tapi lihat sekarang! Situasinya berbanding terbalik! Gea merasa seperti Cinderella yang sedang diistimewakan saudara tirinya! Eh, tapi … anggap Gara ini pangeran berkuda putihnya boleh juga, kan? Atau babu aja deh. Pelayan. Lebih setimpal!

“Coba deh kamu pakai dulu, Ge.”

Gara tiba-tiba menyodorkan setelan pakaian lengkap dengan sepatunya pada Gea yang tengah duduk di salah satu sofa. Menunggu tingkah apalagi yang akan ditunjukkan Gara padanya. Dari sekian banyak outlet yang sudah mereka kunjungi, baru kali ini Gara memintanya untuk mencoba memakai pakaiannya seperti ini.

Gea membuang nafas kasar. Melipat dua tangannya di dada sambil punggungnya ke badan sofa secara penuh. Sengit menatap laki-laki itu.

"Kamu pikir aku ke sini buat belanja?" sengit Gea. Sok malas meladeni permintaan Gara padahal lubuk hatinya senang bukan main!

"Iya," jawab Gara dengan penuh percaya diri. Tak banyak berpikir.

"Siapa yang bilang? Kapan aku bilang kalau aku mau belanja?" Gea jelas mengelak. Bukan ini tujuan dia berkeliling mall. Gara saja yang aneh. Tiba-tiba narik tangan Gea dan masuk ke dalam beberapa outlet. Gea gak minta loh! Ini semua idenya Gara.

"Ta …," Gara berpikir keras, "ya … kalau bukan buat belanja, kenapa juga kita keliling dari tadi?"

"Kamu tuh yang kenapa? Seenak jidat seret-seret orang masuk outlet ini dan itu."

"Kamu juga gak protes tuh dari tadi. Kamu tuh yang kenapa cuma diam aja? Aku pikir kamu sengaja diam biar aku inisiatif beliin kamu barang di sini. Cewek kan biasanya paling suka di manja sama cowoknya buat belanja. Kenapa baru protes sekarang?"

Giliran Gea yang harus berpikir keras sekarang. Harus bisa mengelak sindiran Gara barusan. Tapi, isi kepalanya mendadak buntu. Mau setuju sama perkataan Gara, itu sama saja seperti menyerahkan diri dilahap mangsa. Kalah telak Gea!

"Buat apa juga kamu manjain aku? Cowokku juga bukan!" Gea hanya membela diri. Ingin meluruskan saja karena kata-kata terakhir Gara itu terdengar ambigu. Namun, Gea justru jadi malu sendiri. Ia langsung memalingkan wajahnya detik itu juga.

Gara menyemai senyum tipis ketika Gea tiba-tiba berpaling muka darinya dengan wajah kusut setelah menanggapi pertanyaannya barusan. Menarik tangan Gea, lalu menyerahkan barang yang tadi memang ingin ia berikan padanya.

"Mau dicoba dulu gak? Kalau enggak, aku langsung bayar."

"Apaan sih?"

Gea hendak menarik tangannya lagi. Enggan menerima pemberian Gara tentu saja. Tujuannya berkeliling mall bukan untuk belanja. Alasan kenapa dia gak protes dari tadi, itu juga masih jadi misteri di benak Gea sendiri. Bisa-bisanya dia malah protes sekarang, bukannya dari tadi.

Malu banget, Tuhan!!!

"Hadiah karena kamu diterima kerja di sini. Setuju?" kata Gara kemudian.

Gea melirik Gara dengan tatapan terkejut. "Hadiah?"

"Aku memaksa dan kamu tak boleh menolaknya." Gara menarik pakaian itu, lalu memberikannya pada salah satu pelayan toko yang sejak tadi terus melayani mereka. "Saya ambil yang ini saja."

"Baik, Pak."

Mulut Gea mendadak bisu sekarang. Gak tahu harus mengucapkan terima kasih atau protes lagi. Dua-duanya bukan pilihan yang tepat karena akan membuat Gea semakin malu. Mau menunjukkan rasa senang juga gak mungkin. Itu sama saja seperti mempermalukan diri sendiri.

Selang beberapa menit kemudian si pelayan datang kembali dengan beberapa tas belanja di tangan. Menyerahkannya pada Gea, namun perempuan itu malah balik badan dan keluar dari outlet. Si pelayan sampai bingung sendiri. Namun Gara dengan sigap menarik tas belanjaan itu dan keluar dari outlet menyusul Gea.

"Gea!" teriak Gara.

Untung saja Gea tak lari, jadi Gara bisa menyusul dengan cepat. Menghadang langkah perempuan itu sambil menyodorkan tas belanjaan.

"Ambil, Ge. Ini hadiah dariku buat kamu."

"Terus nanti kamu minta aku ganti uangnya? Gitu kan maksud kamu?"

"Ya ampun, Ge. Ini beneran hadiah! Aku gak akan minta kamu ganti uangnya."

"Kali aja kan kamu mau menjebak aku lagi ke dalam masalah lain? Bisa jadi, kan? Gak salah kan kalau aku bersikap waspada begini?"

Gara menarik tangannya lagi. Menjinjing tas belanjaan itu dengan perasaan mencelos. Perkataan Gea cukup tak nyaman untuk didengar tapi itu memang wajar dikatakan oleh Gea. 

"Ge … aku minta maaf untuk masalah itu. Tapi sungguh, ini cuma hadiah. Aku gak punya maksud apa-apa. Ambillah! Kalau kamu gak mau, aku buang aja kalau gitu."

Gara gesit melangkahkan kaki menuju salah satu tong sampah. Siap membuang tas belanjaan itu di sana, namun sebuah tangan tak kalah gesit mengambil tas belanjaan itu darinya. Ketika Gara menolehkan pandangan ke arah si perebut, ia mendapati Gea memasang wajah kusut sambil menenteng tas belanjaan itu.

"Awas yah kalau kamu tiba-tiba minta duit buat bayar ini belanjaan! Aku menerima hadiah ini demi menghargai pemberian orang, bukan karena ini dari kamu. Ngerti?"

Gea balik badan cepat-cepat. Berlalu meninggalkan Gara yang tengah tersenyum mengembang.

***

Dua gelas kopi sudah tersaji di meja. Tidak ada kepulan asap mengudara mengartikan kopi ini sudah teronggok di sana dalam waktu cukup lama. Dan selama itu pula Bu Riawati dan Ibu Gara saling diam. Tak ada yang membuka percakapan setelah tadi Ibu Gara sempat kaget karena kehadiran Bu Riawari yang mencari Gea.

Yah. Gea memang bukan pergi dari rumah karena keinginannya sendiri, tapi kena usir. Dan ini adalah akibat ulah anaknya, Gara. Malu tentu saja. Sampai Ibu Gara rasanya ingin lenyap dari muka bumi sekarang juga. Apalagi ia sekarang harus berhadapan dengan orang tua dari anak yang sudah diusik Gara.

"Bu, sa– saya … mau minta maaf atas nama Gara. Sa–" Ibu Gara tergagap. Tapi tetap berusaha membuka percakapan setelah memberanikan diri pada akhirnya.

"Yang bersalah itu anak saya karena mencoba menggoda atasannya," potong Bu Riawati sengit. 

Matanya sejak tadi sudah mengedar ke sekeliling rumah yang besarnya tiga kali lipat rumah miliknya. Catat. Tanpa mengukur halaman beserta kolam di depan rumah ini. Saking seriusnya meneliti setiap isi rumah itu, ia nyaris saja lupa alasan utama datang ke tempat ini.

"Enggak, Bu. Ini semua salah anak saya. Gar–"

"Anak itu!" dengkus Bu Riawati memotong lagi ucapan Ibu Gara yang kembali membuka mulutnya. "Setelah mengubah fisiknya, kelakuannya semakin bikin pusing orang tua. Diminta menutup aurat, malah ngeyel. Sukanya dandan pakai baju seksi, kerja sampai malam larut, benar-benar gak bisa menjaga harga dirinya sendiri sebagai perempuan. Dan sekarang apa? Dia malah menggoda laki-laki yang sudah bertunangan dan tanpa tahu malu malah tinggal di rumah laki-laki ini."

"Bu, saya bisa je–"

"Tolong!" Bu Riawati sama sekali tak memberikan Ibu Gara kesempatan untuk bicara banyak. "Jangan membuat anak saya semakin tak punya harga diri, Bu. Suruh dia pulang ke rumahnya! Kena usir malah beneran minggat. Mana minggatnya ke rumah laki-laki lagi! Coba saja bayangkan jika Ibu ada di posisi saya. Punya anak perempuan yang malah mencoreng nama baik keluarga. Sukanya buka aurat dan gatal sama lelaki. Percuma kan wajah cantik tapi kelakuan kayak setan?"

Mulut Ibu Gara langsung kaku. Ia sebetulnya paham kalau omelan Ibu Gea bukan hanya ditujukan untuk anaknya sendiri, tapi untuk anaknya juga, Gara. Ibu Gara merasa begitu tertohok.

"Anak saya yang salah, Bu."

"Dan anak saya juga." Bu Riawati bersikeras.

"Enggak, Bu. Ini murni kesalahan anak saya. Ge–"

"Gak perlu membela anak orang lain hanya demi membenarkan kejadian ini."

"Dengarkan penjelasan saya dulu, Bu. Tolong! Terserah Ibu mau percaya atau tidak. Tapi, Ibu harus tahu kejadian sebenarnya itu seperti apa. Bukan karena saya ingin membela Gea atau bagaimana, tapi saya hanya merasa harus memberitahu Ibu kejadian yang sebenarnya."

Bu Riawati melunak. Mendengarkan keseluruhan penjelasan Ibu Gara yang tentu saja membuat isi kepalanya semakin meradang, bukannya mendingin. Sungguh! Ia benar-benar kesal bukan main!

"Salah anak saya apa, Bu?" Bu Riawati sampai bangkit dari sofa. Menatap dengan mata nanar Ibu Gara yang langsung tertunduk. "Ibu tahu kesalahan anak Ibu apa tapi malah diam? Membiarkan berita ini mencoreng nama baik anak saya sampai sekarang? Dan apa dengan menampung Gea tinggal di sini akan menyelesaikan masalah? Dengan memberikan Gea pekerjaan baru maka semuanya selesai? Enggak, Bu! Anak saya akan tetap di cap sebagai pelakor! Masa depannya suram! Orang mana mau peduli fakta yang terungkap setelah kebohongan satu menyebar? Yang ada hanya akan dianggap sebagai kebohongan lain!"

"Saya minta maaf, Bu."

"Bukan Ibu yang harusnya minta maaf, tapi anak Ibu sendiri! Di mana anak saya sekarang? Kalian mau apakan lagi anak saya? Huh! Gea! Keluar kamu! Gea! Ayo pulang! Kamu lebih suka tinggal di tempat orang asing ketimbang tetap pulang ke rumah sendiri meskipun orang tua kamu mengusirmu? Mau jadi perempuan macam apa kamu?"

Bu Riawati bergegas masuk ke ruang satu dan yang lainnya. Dari dapur yang nyatanya kosong. Tak ada keberadaan sosok Gea di sana. Sampai naik ke lantai atas yang hanya ia dapati jejak-jejak keberadaan Gea di salah satu sudut ruangan. Bu Riawati membuang nafas kasar sebelum memberanikan diri masuk ke dalam kamar itu, menjejalkan baju-baju Gea yang berserakan ke dalam koper yang teronggok di sudut kamar.

"Bu, bisa tunggu sampai Gea datang? Dia pasti bingung kalau tiba-tiba barang-barangnya hilang begini."

"Suruh dia pulang ke rumahnya kalau begitu! Anda jangan membuat anak perempuan saya jadi orang yang tak punya harga diri. Tolong! Posisikan diri Anda sebagai seorang Ibu juga."

Bu Riawati menyeret koper itu turun dari lantai atas. Diekori Ibu Gara yang benar-benar merasa serba salah entah harus bertindak apa. Semua kata-kata Bu Riawati sejak tadi terlalu sulit untuk ia balas atau sanggah. Rasanya memang perkataan wanita berhijab ini benar adanya.

"Ibu?"

Pandangan Bu Riawati dan Ibu Gara langsung tertuju hanya ke satu arah. Sosok yang sejak tadi mereka bicarakan kini tengah berdiri di ambang pintu masuk dengan wajah tegang. 

"Gara!" teriak Ibu Gara histeris. Lega bercampur bingung.

"Dari mana saja kalian berdua?" serbu Bu Riawati dengan tatapan sengitnya. Bukan hanya pada Gea, tapi juga pada Gara.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro