Bab 49 Jalang!

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bab 49 Jalang!

“Adik kamu kok ganteng?”

Gea melirik Gara dengan sinis. “Kamu ngejek aku maksudnya?”

“Bukan, Ge. Maksud aku tuh … gimana yah ngejelasinnya. Agak aneh aja gitu. Maaf yah, sayang … bukan maksud ngejek. Tapi–”

Panggilan “sayang” Gara cukup membuat hati Gea tergelitik. Rasanya aneh, tapi menggelikan. Membuat perasaannya mendadak senang bukan kepalang. Aneh deh pokoknya!

“Aku tahu kok! Dia emang ganteng dan aku jelek,” sinis Gea.

“Eh! Enggak. Enggak. Kamu cantik kok! Kamu tuh cantik, Gea sayang …. Lihat nih sekarang! Kamu cantik gini masa ngakunya jelek sih?”

Tuhaaannn … toloooong!!! Hati Gea benar-benar sedang tidak aman!

“Udah biasa kok aku denger orang nanyain soal si Dion kayak gitu ke aku. ‘kok adik kamu beda sih sama kamu?’, ‘dia gantengnya dari lahir, kan? Kok beda sih sama kamu?’, daaaannn pertanyaan serupa lainnya yang bikin telinga aku panas!” Gea sampai memberikan tekanan di setiap kata-katanya. “Tenang aja. Aku ngerti kok. Udah biasa kok aku denger pertanyaan ambigu kayak gitu. Nyantai aja. Aku gak akan tersinggung kok!”

Bilangnya sih gak tersinggung, tapi wajah kusut Gea yang dilihat Gara mencerminkan kebalikan dari kata-katanya. Untung saja saat itu mobil sudah tiba di depan mall. Gara buru-buru mengalihkan topik pembicaraan.

“Kayaknya aku gak bisa jemput kamu nanti, sayang. Gimana kalau kita ketemu pas makan malam aja?”

Terdengar cebikan keras dari Gea yang siap membuka pintu mobil. “Idih! Siapa juga yang minta jemput? Aku bisa pulang sendiri dan makan malam sendiri. Bye!”

“Eh? Tung–”

Terlambat. Gea sudah melengos keluar dari mobil dengan membanting pintu cukup keras. Langkah kaki wanita itu juga sangatlah cepat memasuki area mall. 

Gara menghela napas berat sambil menyalakan mobilnya lagi. “Cewek aneh! Untung pacar sendiri.” Ia tertawa lebar setelahnya.

***

Wanita yang berdiri di depan Gea saat ini wajahnya garang banget. Menatap Gea dengan mata melotot tajam. Gak ada ramah-ramahnya sama sekali. Begitu juga dengan orang-orang di sekitarnya yang memakai seragam yang sama seperti Gea. Sama-sama mengarahkan pandangan tajam padanya.

Jelas sekali Gea merasa terintimidasi. Baru juga datang ke outlet R fashion, ia sudah dihadapkan situasi yang sama sekali tak menyenangkan. 

“Halo!” Gea berusaha mencairkan suasana dengan menyapa lembut. Melambai ke segala arah. “Aku Gea. Karyawan baru di–”

“Jadi kamu?” ketus wanita di depan Gea. Ia membuang napas kasar sambil berkaca pinggang. “Anjir!”

“Hah?”

Gea tentu saja terkejut mendengar wanita itu tiba-tiba mengumpat kasar di depannya. Entah ditujukan pada siapa, tapi Gea merasa begitu tersinggung. Ia sudah menyapa ramah, tapi malah mendapat tanggapan begini. Apa-apaan mereka coba?

“Lo gak usah banyak tingkah di sini yah. Jangan sampai outlet kita tutup karena keberadaan lo!” serbu wanita itu lebih kasar lagi. Ia sampai menunjuk wajah Gea dengan telunjuknya. “Jadi, lebih baik lo segera mengundurkan diri daripada semua orang kena imbasnya karena keberadaan lo di sini!”

“Mengundurkan diri?” Mata Gea menyipit. “Kenapa aku? Salah aku emang apa? Ini hari pertama aku kerja dan aku belum ngelakuin apapun!” Enak saja kan main nyuruh Gea mengundurkan diri. 

Emang apa masalahnya coba? Salah Gea apa coba? Baru juga menginjakkan kaki di sini, kok tuh cewek main nyuruh Gea ngundurin diri? Siapa sih tuh cewek? Belagu amat!

“Itu dia salah lo! Karena lo kerja di sini! Gimana kalau para klien tetap outlet ini ogah belanja lagi di sini gara-gara ngeliat keberadaan cewek jalang kayak lo? Lo mau tanggung jawab?”

“Jalang?!”

Gea masih mencerna situasi saat ini. Kenapa ia diperlakukan tak baik di hari pertamanya kerja? Ada apa sebenarnya?

“Iya! Emang lo jalang! Cewek yang berani selingkuh sama atasannya yang udah bertunangan! Apa lagi kalau bukan jalang? Huh!”

Gea membatu mendengar kata-kata yang terlontar dari wanita itu. Sekarang ia bisa mengerti kenapa keberadaannya langsung mendapatkan reaksi tak menyenangkan sejak tadi. Ini masalahnya!

“Ak– aku–”

“Gak usah banyak bacot! Sekarang, lo temui Pak Randi dan bilang kalau elo gak jadi kerja di sini!” serbu wanita itu lagi sambil mendorong bahu Gea dari arah depan. Gea nyaris saja tersungkur tapi berhasil menahan tubuhnya. “Dasar jalang!”

“Gak punya rasa malu emang lo?”

“Pasti gak punya lah! Kalau emang tuh cewek punya rasa malu, dia gak mungkin nunjukkin diri kalau dia selingkuhannya Pak Gara.”

“Heran! Cewek tukang nikung zaman sekarang emang pada gak punya otak.”

“Udah gak waras, Bel. Makannya mereka masih bertahan hidup. Kalau waras, pasti udah pada mati sih daripada malu-maluin diri sendiri.”

Kuping Gea rasanya panas sekali. Hatinya juga. Panas membara. Kesal, sudah pasti. Masalah yang ia pikir sudah terkubur dalam dan tak akan mencuat kembali, rupanya meledak seperti sebuah bom tersembunyi. 

“Pergi lo! Jangan harap lo punya tempat buat kerja di tempat ini!”

“Bener banget! Pergi lo sana!”

“Mati aja lo sana!”

***

Ada yang bilang, habis badai terbitlah pelangi. Tapi, kenapa Gea hanya merasakan badai yang terus-menerus menerjangnya? Di mana pelanginya? Bersembunyi di mana? Atau pelangi miliknya memang sejak awal tak ada?

“Jalang”

“Tukang selingkuh”

“Tukang tikung”

Ah, apalagi panggilan yang disematkan orang lain pada Gea sekarang? Kalau boleh memilih, Gea mending dipanggil “perut donat” atau “anak gajah” seumur hidup sama Gara. Tapi itu artinya, Gea bakal jadi musuh Gara dong! Gak jadi pacar kayak sekarang dong! Enggak, enggak. Itu juga bukan pilihan yang baik.

Nasi sudah jadi bubur. Sekalipun fakta yang sebenarnya terjadi tidak seperti yang orang lain kira, tapi Gea bisa apa?

Tunggu! Vania!

Gea cepat merogoh ponselnya di saku. Menelepon Gara sambil menuruni tangga.

[“Gar, kirimin nomor mantan tunangan kamu! Sekarang! Siapa kata kamu? Vania! Emang tunangan kamu siapa lain selain dia? Huh! Dasar cowok brengsek!”]

***

Mata Gara bergerak ke sudut kiri dan kanan secara berkala. Kadang embusan napas juga terdengar keluar dari mulutnya. Jantungnya sudah berdetak tak karuan sejak setengah jam lalu, sesaat setelah duduk di antara dua wanita yang sekarang sedang duduk berhadapan.

“Sialan! Kenapa jadi kayak gini sih?” gerutu Gara dalam hati. Maunya sih teriak, tapi ia tak mau mempermalukan dirinya ke sekian kali di depan umum.

Gara beringsut mendekati Gea yang masih bergeming dengan dua tangan tangan terlipat di dada. Matanya lurus ke arah Vania yang santai menggulir ponsel di tangannya.

“Ge, kamu gak kerja? Ini belum jam istirahat. Ngapain kamu ngajak kita ketemuan di sini?” bisik Gara hati-hati. Teringat sejam lalu Gea tiba-tiba meneleponnya, meminta nomor Vania, dan terjadilah pertemuan ini.

“Ngomong apaan sih? Gak usah bisik-bisik, bisa?” Vania menyela dengan raut wajah tak bersahabat. “Langsung aja ke intinya. Waktu saya gak banyak!”

Gea yakin tatapannya sejak tadi sudah sangat tajam. Tapi, kenapa Vania gak ada takut-takutnya? Kok malah Gea yang merasa ciut duluan? Padahal kan dia yang manggil Vania buat ketemuan?

“Saya mau kamu klarifikasi ke semua orang tentang fitnah yang kamu sama Gara buat tentang saya.” Gea melirik Vania dan Gara bergantian.

“Aku?” Gara menunjuk dirinya dengan tampang bingung.

“Fitnah apaan sih? Yang jelas dong kalau ngomong! Gak usah belibet kayak orang bego!”

“Ish! Kok dia lebih galak sih?” gerutu Gea. Takut sendiri jadinya dengan sikap Vania.

“Yang kamu bilang ke media kalau aku itu selingkuhan Gara! Kamu yang nyebar fitnah itu dan belum meluruskannya, Vania.”

“Fitnah?” Vania terkikik tipis. “Bukannya itu fakta, yah? Buktinya kamu malah pacaran sama si Gara setelah pertunangan kami putus. Itu artinya kamu deketin Gara saat kami masih bertunangan. Mana mungkin kalian langsung jatuh cinta beberapa hari setelah pertunangan putus? Itu mustahil, kan?”

“Mustahil apanya? Saya emang gak deketin Gara waktu kalian masih tunangan kok! Saya dan Gara hanya rekan kerja! Kamu aja yang terlalu membesarkan? Memang apa masalahnya kalau saya dan Gara langsung jatuh cinta setelah pertunangan kalian putus? Perasaan seseorang gak bisa diatur siapapun kapan harus jatuh cinta atau benci!”

“Dasar cewek binal!” Vania sampai menggebrak meja dengan keras. Menimbulkan suara yang memancing tatapan orang-orang di sana. “Cewek gak tahu malu!”

Vania sudah siap beranjak dari tempat duduknya ketika Gea lebih sigap menarik tangannya. “Mau ke mana kamu? Kamu harus beri tahu semua orang kalau kamu udah fitnah saya, Vania! Saya gak pernah selingkuh dengan Gara!” teriak Gea dengan nada serak. Matanya bahkan sudah berkaca-kaca. Sudah tak peduli lagi akan tatapan orang-orang di sekitarnya.

“Lepas, jalang!” Vania menepis tangan Gea cukup keras namun berhasil di tahan Gea. “Itu masalah lo, bukan urusan gue!”

“Ini urusan kita!” Gea semakin memegang lengannya erat. “Ucapan kamu bukan hanya menghancurkan saya tapi juga diri kamu sendiri!”

“Aku? Hancur?” Vania tersenyum picik. “Aku tidak pernah merasa hancur karena menghancurkan orang sepertimu, jalang!” ketusnya dengan berusaha kembali melepaskan diri dari cekalan Gea yang perlahan melemah.

Gea menatap kepergian Vania dengan raut wajah kusut, tak menyangka jika sosok perempuan itu akan sulit untuk ia hadapi. Melirik Gara yang sejak tadi hanya menonton saja, Gea mencebik keras sebelum pergi meninggalkan laki-laki itu dengan segudang rasa kecewa.

“Gara,” Gea tiba-tiba menghentikan langkahnya, berbalik badan dan mendapati laki-laki itu mengekorinya, “aku mau kita putus!”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro