Fatbuloves - 4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pernahkan kalian diinjak gajah?

Belum?

Sama, aku juga belum pernah.

Tapi kurasa sekarang aku tahu rasanya. Dan jika bisa memilih, lebih baik aku di injak gajah saja daripada harus merasakan sakit seperti ini. Sakitnya nyelekit, mencubit-cubit setiap sel dalam tubuhku dan bahkan aku tidak punya obat pengurang rasa sakitnya. Air mataku menetes lagi seiring dengan sesendok ice cream meluncur masuk ke mulutku. Biasanya dessert yang satu ini memiliki efek morphine pada tubuhku.

Aku ingat saat berumur tujuh tahun, aku belajar naik sepeda roda dua dan kemudian aku sukses nyungsep di got depan rumah. Setelah daguku mendapat dua jahitan, aku bisa kembali tersenyum dan melupakan kejadian mengerikan itu setelah ayah menyuapiku ice cream vanilla yang rasanya seperti surga. Kemudian saat umurku sepuluh tahun, aku di marahi ayah karena merusak boneka Barbie yang baru saja dibelikan tante Desi –adik papa- sebagai hadiah ulang tahunku, aku menangis meraung-raung dan tidak keluar kamar sampai malam. Dengan bijak ibu mendatangi kamarku, bukan membawa sepiring nasi, tapi segelas ice cream strawberry yang langsung kuhabiskan, dan hilanglah sakit hatiku pada ayah. Dan kurasa ada lebih dari selusin kisahku, berbagai macam penyakit dan obatku yang mujarab itu. Namun sekarang, jangankan menghilangkan rasa sakit, aku bahkan tidak bisa membedakan ini ice cream rasa apa yang sedang lumer di dalam mulutku.

 Pikiranku terus melayang pada kejadian yang baru berlangsung sekitar tiga jam yang lalu. Ketika pada akhirnya Hezel menjatuhkan bomnya yang sukses meluluh lantakkan hatiku.

“Aku mau kita putus Gin..”

Aku terdiam berusaha mencerna kata-kata yang keluar dari mulut Hezel.

“Jangan becanda, Hez..” ujarku lirih. Air mata sudah menggenangi pelupuk mataku dan membuat wajah Hezel jadi terlihat kabur.

“Aku nggak becanda Gina. Aku nggak cukup baik untuk kamu.” Jawabnya sambil menatap mataku. Berusaha meyakinkan? Meyakinkan untuk apa? Untuk menerima keputusan gilanya?

“Alasan kamu itu nggak make sense, Hezel. Kita baik-baik aja. Apa aku pernah menuntut  sesuatu yang nggak bisa kamu lakukan?” suaraku mulai parau dan sebentar lagi sepertinya bendung katulampa-ku akan jebol.

“Bukan gitu, Beib..-“

Tunggu dia sebut aku apa barusan?

Aku berdiri dengan tergesa, bahkan tidak repot-repot untuk mencicipi Greentea Frappucino dan cupcake moka sialan itu. “Don’t beib me, hezel! Kalau memang itu keputusan kamu. Silakan pergi dari kehidupanku..” ujarku berusaha setenang mungkin dan beranjak berjalan keluar coffeshop dengan tatapan ingin tahu dari pengunjung lain.

Hujan mulai turun rintik-rintik. Aku tidak berlari, tidak berteduh dan bahkan tidak mengeluarkan payung lipat yang senantiasa berada di tasku. Aku ingin air hujan mencuci semua pikiran dan memoriku, tentang seorang brengsek bernama Hezel Darmawan.

 Aku masih ingat, sekitar sebulan yang lalu, Hezel mengajakku ke Pulau Tidung, kami hanya dua hari satu malam disana. Melupakan pekerjaan dan kehidupan Jakarta yang hiruk pikuk. Saat senja selepas melihat matahari terbenam, Hezel menggenggam tanganku dan berkata, “Gina, kebahagiaan itu mahal. Aku nggak sanggup beli sendiri, kalau kamu mau, kita bisa join jadi partner untuk mencari kebahagiaan itu. Mau nggak?” Aku, Gina Jefriana, si tolol ini hanya bisa tersipu malu sambil mendengarkan Hezel yang terus mengoceh soal rencananya dua bulan ke depan akan mengunjungi keluargaku di Yogyakarta.

Kali ini aku tidak kuat lagi, aku meletakkan mangkuk ice cream-ku di meja dan menutup wajahku dengan bantal kemudian mulai tersedu-sedu dengan suara yang teredam bantal.

Pelajaran nomer dua, laki-laki dengan segala janji dan rayuan adalah omong kosong. Karena jika dia serius, dia akan langsung menghadap orangtuamu dan meminta kamu untuk menjadi istrinya tanpa basa-basi pantai, genggaman tangan, apalagi embel-embel senja yang romantis.

***

Ketukan pintu yang semakin lama terdengar semakin keras membuat aku terjaga dan melirik jam dinding. Hah? Sudah jam sembilan pagi? Aku tersadar, semalam aku tertidur di sofa ruang tamu dengan bantal yang penuh dengan ingus dan ice cream yang sudah mencair sepenuhnya dalam mangkuk masih tergeletak di atas meja. Aku merasa sedikit beruntung karena ini hari sabtu, dan masih sempat-sempatnya memuji dalam hati ketepatan Hezel dalam mencari waktu untuk mencampakkanku. Terbayang jika hari ini aku harus kerja dengan mata bengkak dan semangat hidup yang aku yakin hanya tinggal tersisa beberapa persen.

Aku berjalan menuju pintu dan membukanya, wajah segar Andre langsung berubah saat melihat keadaanku.

“Gina..lo kenapa? Itu mata lo kayak abis ditonjokin gitu?” Andre mengerutkan keningnya kemudian mengusap bagian bawah mataku dengan jarinya.

Spontan aku menghindar dan bergeser, “Masuk, Ndre..”

Andre menatapku sekali lagi sebelum masuk ke dalam apartemenku. Aku dan Andre tinggal di lantai yang sama di apartemen ini. Bedanya, aku menyewa sedangkan dia membeli. Sekali lagi aku bersyukur bahwa Godzilla atau bahkan Hulk dalam diriku tidak keluar seiring kemarahanku kemarin. Apartemenku masih rapih dan bersih, terlepas dari bantal penuh ingus dan ice cream yang mencair.

Andre berbalik. “Gue tahu ada yang nggak beres. Lo kenapa Gin?” Dia mulai mendekat, mempersempit jarak di antara kami yang sukses membuatku sedikit kehilangan arah karena mencium aroma parfum Burberry miliknya.

Aku memejamkan mata dan menghela nafas. “Hezel, Ndre. Gue putus dari Hezel.” Ujarku lirih dan kemudian aku tidak tahu mana yang lebih dulu menghampiriku, isakanku, air mata atau pelukan hangat Andre.

***

Bagiku, yang paling menyakitkan dari proses patah hati adalah saat kita harus berusaha bangkit dan memunguti serpihan, dan kepingan dari hati kita yang pecah. Perlu waktu yang cukup lama untuk menyesuaikan antara kepingan satu dengan yang lain, lalu mulai menempelkan dengan lem sebelum bagian-bagian itu pecah kembali.

Dan disinilah aku, di hari ke-empat pasca patah hati, pasca dicampakkan oleh seorang pria yang sudah bersamaku selama tiga tahun. Aku berpegangan erat dengan tangan milik sahabatku, yang membuatku merasa lebih baik setelah pelukannya saat itu. Andre membawaku ke apartemennya, dan memperlakukan aku bak putri raja. Menyediakan makanan untukku, mencarikan dvd film kartun kesukaanku dan membeli bermangkuk-mangkuk ice cream favoritku. Aku mengerti satu hal, Andre terlalu takut aku frustasi dan memutuskan lompat dari balkon apartemenku di lantai 21. Dia adalah manusia yang paling tahu, bahwa seorang Gina Jefriana mudah stress, dan frustasi.

Pekerjaan di kantor agak sedikit longgar setelah Andre menyelesaikan pekerjaan besar dengan klien kelas berat kami. Dan si Elsa langsung ngacir ke Singapore beberapa hari, meninggalkan kami ber-empat yang hari ini kebanyakan bengong karena tidak ada kerjaan. Bimo sih tetap ada kerjaan, dia selalu sibuk dengan upil-upilnya. Lalu Bembi, sedang asyik belanja online beberapa kemeja dan dasi untuk ke kantor (?) Andre memilih bermain game di komputernya sementara aku, ah aku kan sedang menyapu serpihan hatiku yang hancur.

“Gin..” Andre menepuk bahuku.

Aku hanya menjawab dengan gumaman malas.

“Nanti sore ikut ke gym yuk..” ujarnya bersemangat

“Ogah..males.”

“Yee si Gina.. lo di apartemen doang juga nggak bakal bisa lupa ama Hezel, mending ikut gue olahraga. Biar pikiran lo fresh dikit. Gue ngeri kalo kelamaan di apartemen, lo bisa khilaf ngeliat obat nyamuk langsung lo minum lagi.” ujarnya sambil terkekeh.

Sialan.

“Gue males nontonin lo flirting ama cewek-cewek berbaju senam, berdada besar dan lo dengan sok belagu pamer perut lo yang sixpack itu.”

Tawa Andre pecah. “Enggak, gue janji pakai kacamata kuda hari ini. Nggak ada adegan gue lagi flirting. Lagian gue nggak pernah pamer otot perut ya, ngarang lo.”

Mau tidak mau aku ikut tertawa dan mengangguk untuk mengiyakan ajakannya. Aku mengerutkan kening sesaat mengingat-ingat kapan terakhir aku ke gym. Ah iya..setahun yang lalu, saat aku di seret untuk melihat gebetan seksinya yaitu , instruktur belly dance yang baru.

***

Ini pasti salah.

Aku turun dan beberapa detik kemudian naik lagi.

Mengerutkan kening kemudian mendecak kesal dan turun lagi.

Begitu terus sampai Andre yang sedang treadmill akhirnya menghentikan aktivitasnya dan menghampiriku.

“Kenapa sih Gin?”

“Ini pasti salah, Ndre. Timbangan ini pasti di sabotase!” ujarku.

Andre menatapku heran. “Maksud lo apa sih? Lo kira ini tempat fitness presiden, pake di sabotase segala.”

Aku menatapnya tajam. “Ini serius, Ndre! Berat gue tu 55 kg, bukan 64 kg!” Aku naik sekali lagi ke timbangan dan memperlihatkan padanya angka yang tertera di timbangan digital itu.

“Ini bener kok. Gue nimbang disini sama nimbang di apartemen sama hasilnya.” Andre menggeserku dan mulai naik di atas timbangan itu.

Aku mendecak kesal, “Ini nggak bisa di biarin, Ndre. Timbangan rusak kok di taruh sini, bikin orang emosi aja.” Aku celingak-celinguk mencari keberadaan petugas jaga di gym ini.

“Bentar-bentar Gin. Lo kapan terakhir nimbang?”

“….”

“Ginaa..gue Tanya kapan lo terakhir nimbang?”

“….”

“Seminggu yang lalu?” Tanya Andre serius.

Aku nyengir. “Sekitar enam bulan yang lalu, Ndre. Pas gue pulang ke Jogja.”

Andre menggelengkan kepalanya. “Jadi jelas kan? Bukan timbangan ini yang rusak, tapi berat lo udah naik dari 55 kg jadi 64 kg..” ujarnya dengan kejam dan kembali ke treadmill-nya, meninggalkan aku yang langsung melangkah galau menuju loker, mengambil tas dan memutuskan untuk kembali ke kamar.

Ini memang tidak sesakit saat di campakkan Hezel. Tapi kurang lebih sama.

Sama-sama membuatku ingin menjedotkan kepala ke dinding terdekat.

***

 Perjalanan hidup itu tidak semudah bermain monopoli atau tidak se-simple bermain ular tangga.

Kata-kata dari ibu terngiang terus di pikiranku sejak kembali dari gym tadi sore. Aku sadar, kata-kata itu benar sepenuhnya. Hidup ini tidak semudah melempar dadu lalu maju beberapa langkah, kemudian dapat jackpot atau masuk penjara, kemudian melempar dadu lagi dan bisa membuatku jadi milyarder meskipun hanya sebatas uang kertas. Atau seperti ular tangga yang pasrah ketika dadu membawamu ke kotak ular dan harus meluncur bebas, lalu lemparan berikutnya membuatmu naik tangga dan berada di puncak kemenangan.

 Semua ini proses, aku tahu. Tapi proses apa yang sudah kulewati selama enam bulan sampai tidak menyadari bahwa berat badanku bertambah sembilan kilogram? Aku hanya tahu bahwa celana-celana itu mulai tidak muat, dan aku membeli yang baru tanpa berpikir kenapa celana itu bisa mengecil.

 Aku mematikan semua lampu dan melangkah ke kamar. Tidak lagi menoleh ke dapur apalagi ke kulkas. Sampai di tempat tidur, aku mulai mengecek ponsel yang belakangan sering aku lupakan. Sebenarnya tidak kulupakan, aku hanya takut. Takut dengan kenyataan bahwa aku masih berharap Hezel meneleponku dan mengatakan bahwa dia menyesal putus denganku, dan ingin hubungan kami kembali seperti dulu. Meskipun aku tahu itu sia-sia, karena sejak sore itu, Hezel bahkan tidak lagi mengirimkan pesan padaku.

 Aku membaca email yang kurasa penting dan menemukan satu email dari Laura yang langsung kubuka dan kubaca. Aku terkekeh geli, ketika dia dengan kesalnya memaki-maki kliennya yang memberikan beef burger big size yang membuatnya harus berada di gym selama dua jam untuk membakar kalorinya. Dengan cepat kuketik balasan untuknya.

Kepada : [email protected]

Dari : [email protected]

Topik : butiran debu

 

Hai La..

 

Senang sekali akhirnya bisa membaca emailmu yang sangat menunjukkan seberapa kesal dirimu terhadap klienmu yang, ehem, ganteng apa nggak, La? :D

Waw, jadi si thorbuas yang katamu bawel itu menyuguhimu beef burger big size?? Andai aku ada disana, pasti dengan senang hati akan kutampung ke dalam perutku yang memiliki volume besar ini..dan aku akan minta extra cheese, tentu saja.

 

La, kamu lihat judul di atas? Ya, sekarang begitulah keadaanku. Hezel memutuskan secara sepihak hubunganku dengannya yang sudah berjalan tiga tahun, La. Alasannya cukup membuatku ingin menyeretnya ke kutub utara dan meninggalkannya bersama beruang kutub yang sedang hibernasi disana. Dia bilang, dia tidak cukup baik untukku. Brengsek sekali bukan. Kurang ajar, keparat dan sumpah serapah lainnya sudah habis kusebutkan minggu ini. Aku kecewa, La. Di samping itu aku tidak menemukan alasan kenapa dia sampai tega melakukan hal itu padaku.

Ah, dan untung saja ada Andre, iya, Zayn Malik KW 1 yang pernah kuceritakan padamu. Sahabatku ini rela apartemennya banjir air mata dan menjadi timbunan sampah tisu bekas ingusku. Sampai di hari ke empat aku patah hati, aku memutuskan ikut Andre ke salah satu fasilitas gym di apartemenku untuk sekedar menyegarkan pikiranku.

 

Dan tahu apa yang kutemukan, La? Patah hati jilid dua. Rasanya dunia sedang berkonspirasi untuk meruntuhkan hatiku. Kalau yang pertama dengan keparat bernama Hezel, kali ini dengan timbangan digital yang tega mengkhianatiku. Ketika 6 bulan yang lalu masih 55 kg, bagaimana sekarang bisa 64 kg?

Pertanyaanku, apa ini sebabnya si brengsek itu meminta putus dariku?

Harus bagaimana aku, La? Apakah diet ketatmu bisa jadi solusi agar Hezel kembali padaku?

 

PS : Saat mengirim email ini aku tidak lagi tertarik melihat dapur beserta antek-anteknya. Aku terpuruk dan semakin terpuruk.
Help me, please, Laura Adamanti :(

 Aku mengirimkan email yang berisi curhat panjang itu kepada Laura, dan menaruh  ponselku di nakas. Aku menyusut sedikit air mataku yang mengalir di pipi dan kemudian menarik selimut sampai menutupi mukaku. Mencoba berdamai dengan kenyataan, bahwa hidup memang tidak semudah permainan monopoli dan ular tangga.

*tbc

---------------------------------------

Hai,

ayeeem beek :D
bawa Gina yang lagi patah hati :'(

buat yang masih bingung, fatbuloves ini kolaborasi cerita saya dan tante saya @acariba. akun acariba posting bab ganjil dan saya kebagian bab genap.. jadi next part alias bab 5 silakan meluncur ke akun acariba ya :) doakaaaan kami lancar menulis sampe cerita ini ending :")

di tunggu vote dan komennya :D trimikisiii :*

Love,
Vy

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro