Bab 22

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Raga menghempaskan napas panjang, ternyata istrinya lebih licik darinya. Ceritanya mau lepas tanggung jawab. Enggak tahunya terseret juga. Nasib punya istri guru, otaknya terlalu pintar buat dia kadalkan lagi.

Ya kali sih Yura mau masuk lubang buaya dua kali. Dia kan sekarang harus lebih pintar dari Raga, pakai pengaman dong. Biar jalannya mulus, nggak berliku-liku. Otak tiap hari harus dia asah juga dong, nggak sia-sia Yura sering baca novel terkini.

Apalagi zaman canggih seperti sekarang ini, nggak perlu ke toko buku lagi. Banyak kok aplikasi untuk membaca novel, lengkap lagi hemat ongkos.

"Raga, jelaskan ke Mama semuanya sekarang!" Yuli kesal dengan putranya ini. Bisa-bisanya menyakiti dua wanita sekaligus, padahal ayahnya sama sekali seperti itu. Entah menurun siapa anak ini? Heran deh.

"Sabar, Ma, nggak usah pakai otot." Kenapa nggak lemak sekalian? Malah ngelawak lagi pria ini, bukan jelaskan. Raga pun duduk demi menenang dirinya sendiri. Gini amat jadi orang ganteng direbutkan.

"Gimana Mama bisa sabar? Kamu itu nikah lagi loh, Raga. Enggak kasian sama anak kamu? Istri kamu? Terus istri muda kamu ini?" Yuli merasa gagal mendidik anak ini, dia sama sekali tak pernah mengajari Raga untuk permainkan para wanita lho, malahan sebaliknya dia selalu menegaskan bersikap baik untuk para wanita, saking baiknya dia jadikan pacar tuh semua wanita.

"Ma, duduk dulu deh. Minum air putih nih, biar tenang." Eh, malah disodorkan air putih lagi. Sih Raga emaknya lagi emosi juga, malah dipancing-pancing. Ya kali ikan.

"Sekarang jelaskan sama Mama! Kamu jangan permainkan Mama deh! Kalau papa tahu soal ini, semakin pusing papa dengan tingkah kamu, istri kok sampai dua," omel Yuli. Dia menatap intimidasi Raga, seperti penjahat saja putranya ini.

"Gini ya, Ma. Yura ini dulu teman kampus aku, kebetulan aku kenal dengan ayah Yura. Kasian ayahnya, baru kehilangan istri." Karangan bebas Raga membuat Yura melebarkan bola matanya, lagian ibu Yura udah meninggal lama, pakai acara bilang baru kehilangan istri. Orang meninggal kok dibawa-bawa. "Terus ayahnya bingung menghidupkan keluarganya, waktu itu adiknya masih kuliah. Jadi aku baik hati pinjamkan uang." Makin gubrak Yura dibuatnya, bisa panas dingin wanita ini. Adiknya kan udah nikah sejak selesai kuliah beberapa tahun yang lalu. "Sekarang malah kasian deh, Ma. Adiknya malah nikah dengan duda anak satu." Astaga, panas hati Yura dengarnya, kalau saja tidak ada ibu mertuanya, sudah dia bakar Raga jadi abu, lumayan bisa panggang ayam atasnya.

"Lalu kamu sendiri?"

"Ya karena ayah Yura mau minjam uang lagi, dia kasih jaminan nikahi Yura, ya udah aku nikah deh." Yuli mendengar lontaran bodoh anaknya ini, dia pun emosi. Dengan spontan wanita tua ini melempar Raga dengan ayam yang berada di meja makan hadapannya ini.

"Ya Allah, Mama! Gitu amat sih sama anak sendiri, tadi katanya suruh jelaskan, sekarang malah dilempari ayam." Kalau soal protes Raga nomor satu sih. Dari kecil sampai sekarang, selalu saja membuatnya kesal.

"Raga! Kamu itu hobby bikin Mama naik darah ya. Sekarang kamu nikah dengan dua perempuan ini, udah adil belum nafkah lahir batinnya?" Yuli khawatir ada perang-perangan di rumah ini, kan nggak lucu.

"Lahirnya sih adil, tapi batinnya it--" Raga tak melanjutkan kalimat, wajah Yura lebih menyeramkan dari singa kelaparan. Lebih baik cari aman sekarang ini.

Yuli menghela napas panjang. Dia tak bermimpi anaknya berpoligami, sebagai wanita dia tahu persis sakitnya dipoligami. Dia sendiri ogah!

"Kalian berdua duduk!" Wanita ini meminta kedua menantu duduk, dia memperhatikan Yura sepertinya wanita yang baik, tapi karena kesan pertama tak menyenangkan terjadi kesalahpalaham deh.

Yura duduk samping Raga, begitu juga Alfira.

Raga jadi tegang berada antara dua wanita ini. Ah, kalau Alfira jelas sudah cerai, tapi kalau sampai dia macam-macam, Yura pasti mengamuk. Maklum, lagi liar nggak diinjak ekornya.

"Yura, apa benar semua yang dikatakan Raga?" tanya Yuli tidak terlalu mendesak. Ternyata Yura menantu, dia pikir tadinya pembantu. Eh, salah sangka.

"Iya, Bu. Semua itu benar." Hadeh, Yura jadi ikutan bohong gara-gara Raga. Lha, dia kan juga bohong.

"Jangan panggil saya Ibu, panggil Mama. Saya ini kan mertua kamu." Yura tersenyum tak nyaman.
"Iya, Ma."

"Dan kamu Alfira. Kenapa sejak awal nggak bilang Mama sih?" Alfira kesal. Niatnya kan ingin membuat Yuli membenci Yura, tahunya malah menerima wanita ini jadi menantu membuat emosi.

"Iya maaf, Ma. Aku takut Raga marah, tapi sekarang kan aku udah bilang." Dia akan mencari rencana lain menjatuhkan Yura. Argh, mana mau dia membiarkan Yura tenang begitu saja.

"Mama nggak mau dengar ada keributan di sini." Yuli mencium aroma makanan membuat cacing perutnya demo.

"Fira, panggil Tian. Suruh anak itu makan bersama kita." Yuli melirik soto betawi, padahal ada udang balado kesukaannya. Eh, malah ingin makan makanan kesukaann Raga.

"Ini kamu yang buat?" Yura mengangguk.

Yuli heran dong, kok rasanya sama seperti yang Raga bawa dulu. Jaman kuliah duluan memang suka minta buatkan soto betawi ke Yura, lalu dia bawa pulang agar bisa Yuli tahu rasa masakan pacarnya saat itu.

"Kok sama rasanya?" ucap Yuli pelan, tapi masih dapat Yura dengar.

"Enggak enak ya, Ma." Waduh, gawat nih kalau nggak enak. Bisa-bisa Alfira besar kepala melihat malu.

"Enak kok. Cuma dulu Raga sering banget bawa soto betawi pulang ke rumah, waktu masih kuliah, dia bilang sih pacarnya yang masak, nggak tahu benar apa nggak." Yura kaget dong, ternyata Raga sering minta buatkan soto betawi untuk dibagi ke Yuli. Aduh sampai malu Yura.

"Ma, udah deh nggak usah bahas mantan." Maksudnya mantan udah jadi istri.

"O iya, maaf ya Yura, Mama nggak maksud lho." Ya Yura sih fine-fine aja dengarnya, kecuali Alfira bisa kebakaran jenggot. Untung nggak punya jenggot.

"Enggak pa-pa kok, Ma. Kata Raga Mama suka udang balado, jadi aku udah masak udang balado, maaf kalau nggak enak." Dari mana coba nggak enaknya, dia sampai lahap gitu makannya. Yuli tersenyum melihat isi meja makan ada masakan kesukaan Tian juga, sepertinya mereka dekat banget. Cuma herannya nggak ada untuk Alfira. Ya, namanya sesama madu mungkin memang gitu kali.

"Ini enak banget loh. Masakan kamu cocok di lidah Mama," Yuli memuji Yura terus menerus.

Yura tentu saja senang bukan main, nggak sia-sia dia masak sebanyak ini. Berharapnya sih Yuli suka dengannya.

"Lidah aku juga, Ma."

"Mama nggak minta komentar kamu." Yah, malah diketusin. Nasib Raga kurang beruntung nih, tapi yang penting sih mak kunti ini suka dengan Yura.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro