Bab 28

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Yuli tak henti-hentinya memuji Yura, dulu dia sangat ingin sekali bertemu dengan wanita yang telah berhasil merebut hati putranya ini, karena hampir setiap hari anaknya itu selalu membicarakan wanita yang sekarang duduk di sampingnya.

"Kamu tahu nggak Raga itu sangat mencintai kamu. Mama itu sampai bosan lho, dia menceritakan kamu, tapi nggak menunjukkan orangnya, bahkan nama kamu aja, Mama nggak tahu," ujar Yuli, kini dia lega karena yakin sih Raga pasti bahagia, orang nikahnya sama wanita dicintainya.

"Raga cerita apa aja, Ma?" tanya Yura. Sungguh Yura nggak pernah menyangka sih, jika pria itu seringkali menceritakan tentang dia ke Yuli, ia kan jadi malu.

"Banyak pokoknya, gak bisa Mama sebutkan satu persatu, tapi sekarang Mama tenang, kali ini Raga nggak mungkin jajan sana-sani. Waktu Mama tahu Alfira hamil, Mama pikir Alfira itu wanita yang selalu dia ceritakan ke Mama, ternyata bukan, sampai hari pernikahan terjadi Raga baru mengatakan jika Alfira itu dulunya sahabat kamu." Karena dari awal dia tahu Alfira tidak sosok, mungkin saja kan jika selama ini hanya ingin menjadi istri dari crazy rich ternama.

"Iya, Ma. Dulu aku, dan Fira bersahabat baik, sampai akhirnya aku tahu Alfira hamil anak Raga," gumam Yura. Mengingat itu membuat dia kembali merasakan pilu, walaupun sudah berlalu, tapi rasanya sakit banget. Prinsip Yura gini lho dulu, Raga boleh nakal kayak apapun, tapi ketika menikah dia hanya boleh setia untuk keluarga, tapi ternyata harapan dan takdir itu beda jalannya.

"Maafin Raga ya, Ra. Mama merasa gagal karena Raga sering sekali mempermainkan perasaan wanita, perasaan kamu pasti saat itu hancur banget, ya." Bukan hancur lagi, tapi sangat hancur, seolah dunia yang Yura miliki udah nggak berarti lagi.

"Aku udah maafin kok, Ma. Ya, cuma untuk melupakan nggak semudah itu, masih ada sakit hati," lirih Yura. Sampai sekarang aja, dia belum bisa menerima Raga sepenuhnya.

"Mama paham kok perasaan kamu, tapi kamu nggak benci kan sama Tian." Yura menggeleng, mana bisa dia membenci Tian, bocah itu kan menggemaskan.

"Enggak kok, Ma." Yuli benar-benar lega, karena Raga tak salah pilih.

"Asik banget ngobrolnya, nggak ngajak-ngajak nih." Raga bersender di pundak Yura, napas pria ini terhengap. Udah lama nggak olahraga, pas main bola dengan Tian, lelah juga.

"Yah, Papi payah nih masa melawan Tian bisa kalah." Tian malah bermanja duduk di pangkuan Yura membuat Raga iri.

"Sayang, duduk samping Oma dong, kasian lho Mimi keberatan." Yura sama sekali nggak merasa berat kok, malah dia senang dengan Tian yang menganggap

"Tian dan Papi kayaknya capek banget nih, biar Mimi belikan minuman." Yura berjalan menuju warung kecil, dia tak pernah ingin sejauh ini, tapi mendengar cerita Yuli jika Raga sangat mencintainya, hati tersentuh.

Ya, setiap manusia pasti memiliki salah yang sulit orang lain terima, begitu pula Raga. Apa mungkin ini waktunya membuka hati, tapi bagaimana jika pria besar kepala, ternyata gengsi Yura cukup besar.

"Beli minum kok lama?" ah, Yura terkesiap melihat Raga tiba-tiba berada di sampingnya. Gara-gara termenung, dia sampai gak sadar ada pria ini.

Yah, sebenarnya Raga mengekori wanita ini, memang sedikit lebay, seperti suami-suami posesif nih, padahal dekat, segitu takutnya Yura kenapa-napa.

"Kamu hobby banget bikin aku kaget." Yura mengelus dadanya, untung jantung aman, kebiasaan babang Raga. "Kamu ngapain ke sini?" tanya wanita ini ketus, memang banyak perbedaan antara mereka, satu kaya, satu lagi sederhana, terus satunya playboy, dan satu lagi setia.

Namun perbedaan itu membuat mereka bisa bersatu. Bahkan seorang Raga yang dulu playboy menjadi setia seperti sekarang, mata wanita ini tak lepas menatap Raga.

"Kenapa? Aku ganteng, ya." Raga menaiki alis berulang kali, tingkat kepedean pria ini semakin hari meningkat, dasar nggak tahu malu.

"Idih, kamu itu ya, udah punya anak, makin hari makin tua, lihat perut kamu tuh mulai buncit, jarak olahraga sih." Lha, pasti buncit dong, masakan istrinya selalu membuat perut kenyang, lezat nggak tertandingkan pokoknya.

"Tua-tua gini masih laku kali, kamu mau bukti?"

"Jangan!" Yura sontak mengenggam kuat tangan Raga seolah-olah takut kehilangan pria ini. Enggak mau ih Yura kejadian zaman kuliah terulang lagi, masa Raga udah pensiun jadi playboy harus balik lagi. Ogah ah.

"Ciye, kamu takut ya." Pakai tanya lagi, ya jelas takut. Dari pacaran udah makan hati, tekanan batin, masa harus udah nikah tekanan batin juga, depresi aja sekalian.

"Enggak! Jangan ge'er ya kamu." Raga terkekeh, Yura masih gengsi aja, udah terlihat mukanya masam, kecut, seperti orang nggak makan seharian, emosi cepat naik juga. Lama-lama darah tinggi nih kang suka ngomel.

"Atau jangan-jangan kamu takut ya aku jajan di luar. Kalau jatah malam hot, aku nggak mungkin jajan," ucap pria ini enteng. Memang dasar Raga kagak ada otaknya. Yura geram ingin sekali memotong junior Raga, biar sekalian tuh nggak bisa main sana-sini, tapi nanti siapa yang bikin nafsu dan gairahnya memuncak dong.

"Raga!" untung mereka sudah menjauh dari warung, kalau tidak, aduh mau simpan mana lagi ini muka, omongan Raga nggak berakhlak banget.

"Iya sayang," sahut Raga malah tampak santai, tampangnya sama sekali nggak berdosa.

"Kamu itu ya, satu hari aja, nggak usah bikin aku kesal. Bisa nggak?" Yura ingin sekali murka dengan pria satu ini, baru juga luluh, udah berhasil membuatnya marah, hobby banget, yak.

"Tergantung servisan malam ini." Yah, namanya juga laki-laki servisan di ranjang itu penting, minimal seminggu dua atau tiga kali lah.

"Otak mesum!" Yura mengerucutkan bibirnya sebal. Dia tak habis pikir pria ini selalu minta jatah, apa nggak ada jenuh sama sekali setiap malam.

"Usahakan boleh, Ra. Biar Tian punya temannya." Raga melirik ke arah Yura dan mengedipkan matanya satu, dia tak berhenti menggoda wanita ini. Usaha terus ah, sampai dapat, lumayan beradu di ranjang.

Yura tersenyum kecut.

"Otak kamu itu perlu dibersihkan, atau giling kek, biar pikiran nggak cuma mesum." Sekalian jadi bakso urat enak kali ya, dasar sih Raga suka memancing emosi istrinya.

"Ya udah nanti aku bersihkan, setelah kamu cinta lagi sama aku." Kan Yura udah cinta lagi, Raga aja kagak tahu, kasian banget sih Raga menunggu.

"Waktu kamu itu tinggal dua minggu lagi." Tanpa terasa banyak yang terjadi, bertahun-tahun Yura mencoba menghilangkan rasa itu, tapi dengan sekejap perasaan itu kembali. Takdir memang nggak ada yang tahu, dia tak berharap dengan siapa pun, justru membawanya kembali kepada Raga.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro