08. Date (Len)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Woi ini cuman ada sesi sama Len aja loooh.

Nggak ada maz Gaku, maz Kaito, maz Kiyo, Rinto, Mikuo, Gumiya, maz Luki.

Wes tak peringatin lo ya. Jangan menyelewengkan :v.

Btw...
[Y/N]: Your Name

Inget itu. Terimakasih

.
.
.
.
.

"Aku ingin ke.... cafe?"

"Kau sedang berada di cafe."

"Taman bermain?"

"Kau yakin ke sana dengan dress seperti itu?"

"Pantai?"

"Kau ingin kulitmu bertambah gelap?"

"Kebun binatang?"

"Kau ingin monyet-monyet itu menyikap rokmu?"

Aku menatap Riku kesal, "mengapa kau memprotes apa yang aku pikirkan huh?!"

"Aku hanya mengatakan apa yang aku pikirkan saja," kata Riku cuek

"Lalu apa? Rumah hantu? Game center?" tanyaku kesal.

Setelah beberapa menit tak ada balasan darinya.

"Huh? Kau tidak protes?" tanyaku bingung.

"Aku rasa itu pilihan yang bagus. Ah, kalau kau memang ingin ke pantai, pergilah saat sore dengan begitu kulitmu tidak akan begitu hitam dan pakaian dalammu tak kelihatan," katanya datar.

Aku terdiam, sarannya cukup bagus sebenarnya. Inikah arti dari membantu sebelumnya? Tunggu... ia sudah berkali-kali mengatakan sesuatu seakan-akan pakaian dalamku akan terlihat.

Dia sangat "mesum," kataku sambil meliriknya tajam.

"Hei, aku hanya mengatakan apa yang aku pikirkan. Kau ingin seseorang yang jujur bukan? Banyak hal dapat terjadi," kata Riku sambil memainkan hpnya cuek.

"Oh terserahmu saja," kataku kesal.

"Ngomong-ngomong kau masih melanjutkan diary gambarmu bukan?" tanya Riku yang tidak melihatku.

(#anggap saja gambarmu bagus.)

"Bahkan sampai hal itu kau juga tau... ya, aku masih melanjutkannya," kataku.

"Kau yakin masih ingin terus melanjutkan itu?" tanya Riku yang kini melihatku dengan tatapan serius.

"Huh? Tentu saja, bisa berada di dunia ini adalah hal yang tidak dapat aku bayangkan jadi aku akan terus mengenangnya," kataku yang sedikit kaget dengan sifatnya yang tiba-tiba serius itu.

"Baiklah, aku pergi dulu." Riku bangkit dari kursinya.

"Huh?"

"Pasangan date sudah mendekat," kata Riku sambil mengedipkan matanya lalu beranjak pergi.

Aku merinding melihat perlakuannya tetapi aku terus melihatnya sampai pandanganku tergantikan oleh Len yang baru saja datang. Wajahnya penuh dengan keringat, mata yang memancarkan kekawatiran dan mulut yang tersenyum lega.

"Maaf menunggu terlalu lama!" serunya dengan gaya meminta maaf.

"Eh, oh tidak apa-apa. Kau sudah mengatakan sebelumnya, jadi kau tak perlu sepanik itu," kataku yang cukup kaget dengan permintaan maafnya.

"Aku masih merasa tidak enak," katanya dengan kepala menunduk.

"Kalau begitu kau harus membuatku bersenang-senang sebagai permintaan maafmu," kataku ceria yang berusaha menenangkannya.

senyumnya mengembang lalu ia mengangguk ceria, "apakah kau telah berencana kemana tujuan kita?"

"Rumah hantu? Game center? Pantai?" kataku dengan nada bertanya.

Len terlihat tersentak lalu memasang ekspresi berpikir.

"Apa ada yang salah?" tanyaku bingung.

"Sepertinya rencanaku tidaklah semenarik rencanamu," katanya sambil menggaruk-garuk belakang kepalanya sambil tersenyum gugup.

"Eh, itu tidak benar kok..." Memangnya si author sudah kepikiran nanti bakal kemana?

"Ngomong-ngomong kau sudah memikirkan kita akan kemana?" tanyaku.

"Bioskop.... lalu cafe..." katanya pelan.

"Heeeh..." Aku tak terbayangkan akan pergi ke bioskop.

"Ka-kalau begitu bagaimana jika kita pergi ke rumah hantu terlebih dahulu?" tanya Len dengan wajah yang memerah.

Aku mengangguk ceria, sebelum beranjak aku merapikan ujung dressku yang mungkin terlipat saat duduk. "Aku siap."

Len hanya terdiam melihatku membuatku melihat sekelilingku. Pandangannya tetap mengarah padaku.

"Ada apa?" tanyaku bingung.

"Eh! Ti-tidak bukan apa-apa!" ucapnya gugup.

"Apa... aneh? Rasanya aku memang sudah jarang memakai rok sih..." kataku gugup sambil melirik ke samping toko.

"Cantik kok."

Aku melihat ke arah Len yang membuang wajahnya tetapi terlihat telinganya memerah. Aku mengigit bibirku gemas.

Ini anak kok gemesin banget ya?

"Len," panggilku.

"Eh i-iya?" tanyanya bingung.

"Boleh aku memelukmu nggak?"

"EH?!" Seperti yang aku duga wajahnya langsung berwarna merah.

"Habisnya kau imut sekali," kataku jail.

"Ba-ba-ba-bagai-mana ji-ji-jika ki-ki-kita mu-mu-mulai ja-ja-ja-lan?" tanya Len yang terlihat seperti robot dengan wajah yang masih memerah sambil berbalik menuju pintu keluar.

Sejenak aku cemberut karena ia mengalihkan percakapan, tetapi tak apalah. Aku harap ini akan menjadi menyenangkan.

Setelah beberapa menit, kami sampai pada salah satu rumah hantu yang baru dibangun dan hanya akan bertahan beberapa minggu saja. Kami mengantri dari sekian banyak orang dan mengambil nomor antrian karena saking banyak orang.

"Bagaimana jika kita membeli sesuatu sembari menunggu?" tanya Len sambil menunjuk penjual makanan dan minuman ringan dengan jempolnya.

"Mungkin... sedikit saja, kalau terlalu banyak... takutnya muntah di dalam..." kataku sambil tertawa gugup.

"Eh kau benar... baiklah, sedikit saja," kata Len sambil tersenyum.

Aku mengangguk lalu mengikuti Len dari belakang. Apakah ia berpikir untuk makan banyak?

Setelah memesan makanan kami duduk di salah satu bangku yang kosong. Entah mengapa ada saja yang kosong. Padahal bangku-bangku yang lain sudah sangat penuh. Len memesan banana Creps seperti kesukaannya sedangkan aku memesan [favorite food/snack] dan [favorite drink] untuk melegakan tenggorokanku nantinya.

Saat sedang tenang-tenangnya makan, tiba-tiba saja Len terdesak sambil memukul-mukul dadanya. Dengan cepat aku menyodorkan minumanku padanya. Setelah tenang ia tersentak kaget.

"Ini minumanmu?" tanyanya.

"Iya, ada apa?" tanyaku kembali sambil menahan senyumku.

"Eh... ini... un... terimakasih," katanya sambil mengembalikan minumanku dengan wajah memerah.

Melihat itu membuat senyumanku semakin ingin mengembang. "Sama-sama, aku senang kau sudah lebih tenang."

"Un." Len mengangguk sambil menyembunyikan wajahnya yang memerah, bahkan telinganya juga ikut memerah.

Sebenarnya aku sadar bahwa itu cimuan tidak langsung sedetik setelah aku menyodorkan minumanku padanya. Hal itu terulang terus dalam kepalaku yang membuatku harus berusaha keras untuk tidak tersenyum lebar sambil tertawa aneh.

"Antrian..."

"Sebentar lagi giliran kita, apakah kau mau ke sana?" tanya Len.

"Tentu," jawabku sambil mengangguk.

Kami berjalan menuju barisan, walau harus menunggu di bawah matahari tetapi itu tak masalah karena ada Len di sampingku. (#AHAI!)

"Oh iya, apakah kau takut pada hantu?" tanya Len.

"Un... aku rasa aku akan kaget jika tiba-tiba muncul, kalau takut... entahlah, aku belum pernah melihat hantu seseram apa," kataku sambil tertawa gugup.

"Apa kau ingin bergandengan tangan saat di dalam?" tanya Len.

DENGAN SENANG HATI!!!! TIDAK AKAN MENOLAK!!!! MAU BANGET!!! "Terimakasih," kataku sambil tersenyum.

Len mengangguk sambil tersenyum.

Tak lama nomor antrian aku dan Len dipersilahkan masuk. Kami mengangguk mengerti lalu tanpa aba-aba tangan Len menggandeng tanganku.

Ku bahagiaaaaa~

Di dalam tempat itu pastinya sangat gelap untuk menakut-nakuti orang-orang. Aku masih dapat merasakan perasaan hangat di tanganku dan mendapati Len di sebelahku. Saat ia menyadari aku menatapnya, ia tersenyum yang membuatku merasa lebih tenang.

Tiba-tiba saja ada yang memunculkan diri di depan kami. Terdengar teriakan yang sangat dasyat dari... sebelahku. Len.


Setelah hampir satu jam akhirnya kami berhasil keluar dari tempat itu. Aku menenangkan deru nafasku karena di tarik oleh Len. Terlihat rambut Len yang terlihat berantakan, sepertinya begitu pula nasib rambutku.

"Maaf apakah aku sepertinya membuat masalah untukmu ya?" tanya Len dengan nafas yang tidak seberat tadi.

Aku tertawa, "tidak apa-apa, tenang saja. Ini pengalaman yang menyenangkan," karena dapat melihat reaksi takut dan wajah nangisnya Len. Itu menggemaskan.

"Lalu... sekarang kita akan kemana?" tanya Len.

"Bagaimana jika kita jalan dulu, apakah kita jadi akan pergi ke game center?" tanyaku.

"Kau benar, baiklah ayo kita jalan."

.
.

"Wah-wah lihat ini," kata seseorang yang bersamaan dengan suara pintu yang terbuka.

Aku dan Len sama-sama menoleh ke belakang dan mendapati Meito yang melihat ke arah kami sambil tersenyum.

"Ada apa dengan rambut kalian? Apakah kalian habis bertengkar? Itu tidak baik lo-"

"Kami tidak bertengkar," potong Len.

"Lalu?"

"Kami dari rumah hantu," jawabku.

"Oh yang baru di bangun itu?" tanya Meito yang aku dan Len jawab dengan anggukan.

Meito terdiam menatap kami, "bagaimana jika aku membentulkan sedikit rambut kalian?" tanya Meito.

"Kau bisa?!" tanyaku kaget.

"Tentu saja, ini salon loh," kata Meito sambil tertawa kecil. "Ayo masuk."

Aku mendekati pintu yang masih di buka oleh Meito sambil mencoba melihat apakah itu benar tempat potong rambut atau potong daging. Kan kedua itu berbeda. Ternyata benar tempat ini salon.

Saat memasuki gadung itu tercium aroma yang menenangkan. Lantainya terlihat seperti kayu dengan dinding dicat berwarna krem. Menambah kesan tenang di sini.

"Duduklah di sini [Y/N]," kata Meito sambil memegang salah satu kursi di depan sebuah cermin.

Aku mengangguk lalu berjalan dan duduk di kursi itu. Meito melepaskan semua ikatan rambutku dengan pelan dan menyisirnya dengan pelan juga.

"Kalian berjalan berdua, apakah kalian sedang date?" tanya Meito.

Aku melemparkan pandanganku, pasti wajahku memerah. Aku terlalu bahagia jika ini adalah date. Akan aku ingat seumur hidup.

"Heeee... melihat reaksi kalian sepertinya tebakanku benar," kata Meito sambil tertawa pelan. "Lalu, kalian akan kemana setelah ini?" tanya Meito.

"Game center... aku rasa..." jawabku pelan.

"Begitukah? Baiklah aku tahu harus aku apakan rambutmu," kata Meito tersenyum yang dapat aku lihat dari cermin di depanku.

"JANGAN DI POTONG HABIS!" seruku panik saat melihat ia memegang gunting.

"Ara. Hahahaha tenang saja tidak akan aku potong banyak. Sepertinya kau menyukai rambutmu huh?" tanya Meito sambil kembali tertawa pelan.

"Aku tidak terlalu menyukai rambut pendek," kataku sambil sedikit cemberut.

"Imutnya~ tenang saja, aku hanya merapikannya sedikit. Karena cewek imut terlihat lebih imut lagi jika rambutnya rapi," kata Meito sambil tersenyum ria.

"Aku tidak imut..."

"Omo, lalu kau ingin dipang...-"

"Len jaaaaauuuuuuh lebih imut!" potongku semangat.

"Eh?!" (Len).

"Tentu saja Len akan terlihat imut jika rambutnya dikuncir dua," kata Meito sambil melirik Len.

"EEEEH?!" (Len).

"Benar juga!" seruku senang.

"Benar kan? Aku sudah yakin [Y/N] setuju denganku," kata Meito lalu tertawa dan aku pun ikut tertawa dengannya.

"Tidak tidak! [Y/N] jauh lebih imut dari padaku!" seru Len dengan wajah memerah sambil berdiri dari tempat duduknya.

"Heeee... tapi [Y/N]  mengakui keimutanmu loooh..." kata Meito sambil menoleh ke arah Len dengan mulut yang di majukan ke depan —>(°3°)

"Betul sekali! Apalagi dengan wajah memerah seperti itu," kataku dengan senyum lebar.

Wajah Len semakin memerah lalu ia berbalik, "aku tidak imut!"

"Imutnya...." kataku dan Meito bersamaan yang juga mengagumi keimutan makhluk satu itu.

.
.

Beberapa menit kemudian rambut kami selesai dirapikan oleh Meito. Kami melambai padanya sebelum beranjak dari tempat itu. Aku menatap rambut Len yang telah kembali seperti semula. Padahal aku menantikan rambutnya yang diikat dua.

"Sayang sekali..."

"Eh apa?" tanya Len bingung.

"Tidak, bukan apa-apa. Lebih baik kita sedikit buru-buru agar dapat puas bermain," kataku sambil menunjuk depanku.

Len mengangguk lalu kami berjalan lebih cepat.

Sesampainya di sana kami mulai bermain aneka game. Mulai dari basket, karoke sampai balap mobil. Aku tertawa saat tiap kali kalah dan bersorak tiap kali menang. Itu hal yang wajar bukan?

Kami sempat mencoba mesin pengambil boneka, tetapi hal itu sia-sia. Kami tak mengambil apapun. Karena kesal aku menarik Len menuju photobox dengan berbagai stiker-stiker yang imut. Walaupun aku tidak terlalu menyukai hal ini, aku bersedia jika ia terlihat lebih imut lagi.

Setelah asik bermain kami berdua memutuskan untuk mencari cemilan saat perjalan pulang. Aku menatap langit yang mulai kemerahan dari kaca cafe. Senyumku mengembang karena aku sudah merasa cukup puas dengan date kali ini.

"Ada apa [Y/N]?" tanya makhluk imut satu itu yang membuyarkan otakku yang mengulang kembali memori tadi.

"Tidak, bukan apa-apa," kataku sambil tersenyum dan menopang daguku dengan sebelah tangan.

"Apa kau... merasa bahagia?" tanya Len pelan dengan wajah imutnya.

Tidak jika aku mempunyai karung sekarang. "Aku bahagia kok, hari ini menyenangkan karena berbagai hal. Salah satunya melihat wajah memerahmu berkali-kali," kataku jail.

"EH?! Aku tidak...-"

"Hooo... kau ingin aku tunjukan berbagai ekspresi malumu yang telah aku foto? Dengan senang hati akan aku tunjukan," kataku sambil merogoh hp di tas kecilku.

"Foto?!"

"Tentu saja, aku tidak bisa melewatkan para cowok yang wajahnya memerah di depan mataku tanpa mereka tau," kataku yang gemas sendiri mengingat koleksi foto-foto vocaloid boys yang nge-blush di hpku.

Len menatapku horor yang membuatku tertawa kecil. Tak lama penasan kami datang. Saatnya makan. Apakah aku perlu memofonya saat makan?

Setelah selesai kami berpisah sedikit karena Len lagi-lagi harus melakukan sesuatu. Sebenarnya apa yang ia lakukan sih? Aneh. Dipanggil sama authornya kali ya?

Sebelum masuk ke dalam asrama, aku menuju rumah Riku terlebih dahulu untuk mengganti sekaligus mengambil bajuku. Sesampai di sana terlihat kertas yang bertuliskan:

Masuk saja

Memangnya dia tak ada di rumah? Lalu apakah aman jika tidak di kunci? Aku membuka pintu masuk yang memang tidak dikunci. Saat aku masuk terlihat Riku dengan tenangnya tidur di sofa.

Tidak pakai selimut? Tidak kedinginan? Kenapa di sini?

"Ern.... permen kapas..."

Apa yang dia mempikan coba?! Sudahlah saatnya mengganti. Sesampainya di dalam kamar mandi terlihat baju yang sebelumnya aku pakai telah di lipat lebih rapi dari pada yang terkahir kali aku lipat. Ia yang melipatnya? Sudahlah, aku dapat berterimakasih nanti.

Aku mendapati Riku yang telah berada di posisi duduk dengan mata yang setengah terbuka. Ia menoleh padaku dengan tatapan setengah sadarnya itu.

"Oh begitu ya.... kau sudah kembali..." katanya pelan.

"Iya..."

"Kalau begitu saatnya melanjutkan tidur," katanya sambil beranjak dari tempatnya.

Kebo. "Oh iya, apa kau yang melipatkan bajuku tadi?" tanyaku sambil menarik sedikit ujung bajuku.

Ia menoleh kearahku lalu mengangguk, "tentu saja."

"Terimakasih..."

"Tidak perlu berterimakasih, aku hanya mengajarkan kerapian saja. Gadis masa lipatnya tidak rapi."

Astaga. Tajam menusuk itu. "Ya maaf deh kalau aku bukanlah gadis sejati," kataku kesal.

"Ya itu yang membuatmu berbeda bukan?" tanyanya lalu menguap.

Aku menatapnya yang kini berjalan ke salah satu ruangan. Dia itu... mau menghiburku atau mengejekku sih?! Yang mana yang benar?! AAAAAAAARGH!!!!


.
.
.
.
.



Hola~
Maafkan saya atas kelamaan dan ketidak puasan yang anda rasakan 〒▽〒
Anehnya harus menunggu jamkos agar saya dapat mengetik rangkaian huruf ini agar terbaca menarik.
Tak ada kata yang dapat saya ungkapkan banyak, soalnya saya sendiri juga mandep.... Ah, maksudnya writerblock.

Oke no commen banyak-banyak, thanks for reading guys.

See you next chap. Mungkin ada yang mau memberikan saya ide untuk selanjutnya...?

-(21/10/2017)- [menuju dini hari]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro