Accidentally

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setelah sibuk mikirin Karin sepanjang perjalanan, denger suaranya ngakak di dalam kamar kos adalah sebuah kelegaan. Nggak kebayang kalau Karin yang ngalamin tadi. Pasti dia sudah pasrah dan memutuskan buat mati aja.

Aku benar-benar nggak habis pikir sama otaknya Drey itu. Ya, aku tahu kalau dia orang kaya yang bisa ngelakuin apa aja yang dia suka. Tapi, culik orang dengan cara seperti itu apa nggak kriminal? Apa dia bilang tadi? Nggak sengaja? Salah paham? Dia mau nge-prank aku rencananya? Berengsek banget tahu nggak sih cara dia itu!

Pokoknya aku mau Karin blow up masalah ini ke media dan aku mau lapor polisi. Aku bisa minta visum mumpung luka-lukanya masih segar. Aku mau posting di semua medsos dan tag si Drey. Kubikin habis itu Drey.

Kamu main-main sama cewek yang salah, Drey!

"Karin!" ucapku sambil menggedor pintu dengan lemas. Jam segini penghuni kos lain pada kerja dan kuliah. Cuma cewek di ujung yang kerja di klub malam yang masih tinggal. Yah, sama Karin yang sakit juga, sih.

Terdengar suara tawa dan jerit manja Karin dari dalam kamar. Mungkin dia lagi sama pacarnya. Kalau emang dia lagi pacaran, kutendang dulu itu pacar Karin. Nggak ada satupun cowok dari koleksi Karin yang berfaedah. Kebanyakan mereka tipe cowok otak udang semua.

Pintu dibuka.

Karin langsung memekik kaget begitu ngelihat aku. Kupeluk dia erat-erat.

"Lo kenapa, An? Ya ampun! Lo baik-baik aja, An?"

"Gue habis diculik orang, Kar. Gue babak belur dihajar orang."

"ASTAGA!" jeritnya sambil menarikku masuk ke dalam kamar. "Coba kita minta tolong sama ..."

"NGAPAIN KAMU ADA DI SINI, BAJINGAN?!" Kulemparkan tas ke wajah Drey yang senyum-senyum di tempat tidur Karin. Ngapain coba cowok laknat itu ada di sini? Gimana dia bisa tahu tempat tinggalku? Kok bisa dia duluan sampai sini?

"Ana, lo kok kasar gitu, sih? Drey datang barusan buat ngobrol sama gue. Dia nawarin interview pribadi di sini."

Aku menoleh pada Karin. "KOK BISA DIA TAHU ALAMAT SINI?"

"Kan gue emang tulis alamat di surat permohonan interview itu."

Kudorong Karin dodol itu menjauh dari Drey. "ASAL LO TAHU, YA. YANG BIKIN GUE JADI BEGINI TUH BAJINGAN INI. NGERTI? DIA TU PENGECUT BERDASI. DIA NYURUH ORANG BUAT CULIK GUE DAN BAWA GUE KE HOTEL. GUE TADI HABIS DARI MAROKO HOTEL DISEKAP SAMA DIA."

"Ana ..."

"DIEM LO PENGECUT! GUE NGGAK SUDI LIHAT MUKA LO DI KEHIDUPAN INI ATAU DI NERAKA SEKALIPUN. KALAU GUE MASUK SURGA TERUS DI DALAM SURGA ADA LO, MENDING GUE TIDUR DI EMPERANNYA SURGA AJA. NGERTI?"

"Ana, aku minta ..."

"ENAK BANGET LO MINTA MAAF, KAMPRET! LO NGERASAIN APA YANG GUE RASAIN? GUE DILECEHIN SAMA ANAK BUAH LO YANG BAUNYA KAYAK SAMPAH ITU. GUE DIBAWA PAKSA DAN DIKASARIN. LO KIRA BAGUS NGE-PRANK GITU?"

"Iya. Aku tahu dan aku minta maaf. Perintahku nggak gitu. Aku cuma minta mereka bawa kamu ke hotel untuk ngobrol sama aku."

"TERUS LO NGGAK PUNYA OTAK BUAT NGAJAK GUE LANGSUNG?"

"Aku baru ada meeting di hotel."

"BASI ALESAN LO, SIALAN!" Kulemparkan lagi semua barang yang ada di dekatku ke dia. Entah dia punya kekuatan gaib atau aku yang lagi nggak fokus, semua barang itu meleset. Nggak satupun yang kena pas ke mukanya gitu. Ini bikin aku tambah emosi. Aku pengin injek-injek dia. Aku pengin bunuh dia. Aku pengin ngapain aja asal di mampus.

"Ana, please ..."

"Ana, sabar... nyebut, Ana... nyebuttt..."

Aku menoleh pada Karin. "LO KIRA GUE KESURUPAN?!" Pikiran buruk sampai ke kepalaku dengan cepat. Kenapa Karin sampai membela Drey? "LO DIAPAIN SAMA DIA SAMPAI NURUT GINI, HAH? LO DIJANJIIN APA SAMA DIA? LO DIAJAK DIA ENA-ENA? LO DIJANJIIN JADI SARJANA CEPET?"

Karin mendorongku dengan keras sampai aku jatuh ke lantai. "GUE NGGAK DIJANJIIN APAPUN KE DIA. GUE CUMA MAU LO TENANG. GUE CUMA MAU KITA NGOBROL BAIK-BAIK DI SINI SEBELUM ORANG SEKAMPUNG DATANG. LO PE'A BANGET SIH!!!"

Aku baru mau teriak-teriak lagi, terus kututup mulut. Tenggorokanku sudah sakit banget. Sebenarnya, aku sudah nggak punya tenaga lagi. Aku cuma pengin tidur nyenyak. Aku pengin istirahat dan ngelupain semua yang terjadi hari ini. Aku pengin mulai lagi dari tadi subuh dan ikut ujian seperti mahasiswa lainnya. 

"Lo nggak ngerti betapa sedihnya gue, Kar. Lo nggak ngerti gimana sakitnya gue digituin. Lo nggak bakalan ngerti gimana traumanya gue tadi. Sekarang, gue capek. Gue pengin tidur yang panjang banget. Gue pengin mati aja, Kar. Toh, gue nggak bakalan lulus kuliah. Hari ini ada dua mata kuliha yang gue nggak ikutin ujiannya. Gue pasti nggak bakalan lulus dan nggak bakalan bisa dapat beasiswa lagi. Lo tahu itu artinya apa? Gue mampus, Kar."

Satu persatu air mata menetes. Aku nggak bisa lihat apa-apa lagi karena pandanganku buram. Aku meringkuk di lantai. Aku benar-benar sudah muak dengan hidup ini. Semua salah Karin. Semua salah Drey. Semua salahku yang dengan bego mau aja berteman dengan Karin. Kalau hari itu aku nggak nyelametin dia, mungkin aku sama sekali nggak akan berhubungan dengan Karin. Aku mungkin akan jadi mahasiswa biasa. Aku juga nggak perlu berhadapan dengan penculik.

Mungkin, aku akan baik-baik saja saat ini.

"Savanna." Itu suara Drey. Suaranya dekat sekali. Aku nggak peduli. Dia bisa ngelakuin apa aja yang dia mau. Dia bisa bunuh atau perkosa aku sekarang kalau dia emang nafsu. Toh hidupku sudah berakhir. Aku bisa bunuh diri habis itu. Beres. Aku nggak perlu menghadapi pertanyaan orang rumah dan puyeng sama kuliah.

"Savanna, aku minta maaf." Itu suara Drey lagi.  Buat apa? Minta maaf aja nggak akan cukup buat mengubah segalanya. Aku tetap akan menghadapi semua ini. Bukan Karin atau Drey yang akan menghadapi bahaya. Mereka orang kaya. Mereka bisa mendapatkan apa saja yang mereka punya. Aku yang bakalan menghadapi kenyataan pahitnya. Aku yang miskin dan hidup dari belas kasihan negara ini yang bakalan menghadapi semua hukumannya.

"Savanna, please."

Kupejamkan mata rapat-rapat. Kalau memang ada malaikat maut yang lewat, tolong bawa saja aku sekalian. Sebenarnya, aku agak takut bunuh diri.

Ada tangan yang menyentuh kepalaku. Hangat. Tangannya hangat banget. Tangan itu juga yang mengusap kepalaku dengan lembut, mirip usapan Ayah kalau aku lagi sedih.

"Savanna?"

Kubuka mata pelan-pelan. Rasanya, mataku bengkak, soalnya berat banget pas dibuka. Wajah Drey dekat sekali. Ekspresinya sedih. Buat apa? Toh dia nggak akan kenapa-napa.

"Aku salah, Savanna. Aku yang salah. Aku minta maaf atas semua yang sudah kulakukan. Aku memang nggak punya otak. Aku nggak mikir panjang. Aku kira mereka itu juga agak pintar terus bisa ngerti gitu pas aku bilang pengin kamu ada di hotel." Dia menopang punggungku dengan tangan. "Aku bakal menerima hukuman apapun yang kamu kasih, Savanna. Aku rela. Aku cuma mau kamu memaafkan aku. Sumpah."

"Aku? Boleh hukum kamu?"

"Iya. Aku bakalan nerima apa saja. Jalan telanjang keliling Jakarta juga aku mau."

"Kalau gitu, pergi dari sini. Aku nggak mau lihat kamu lagi. Itu hukuman dan anugerah buatku."

Dia menggeleng. "Jangan, Ana. Jangan gitu. Aku nggak bakalan kuat. Sejak kemarin ketemu kamu, aku sudah sakau berat. Kalau bukan karena banyak kegiatan di kantor, aku bakalan stres berat, Savanna."

"Bener, Ana." Karin hampir menjerit pas bilang gitu. Dia nyodorin layar HP. Sayangnya, mataku masih terlalu kabur buat lihat tulisan sekecil upil itu. "Drey berkali-kali nge-twit nama lo semalam. Kita akan yang nggak buka HP. Dia jatuh cinta sama lo. Makanya tadi gue ngakak banget."

Drey tersenyum malu-malu. "Aku nggak bisa mikir kejutan lain selain menculik kamu ke hotel, Ana. Maafkan aku, ya. Please."

Maafkan? Apa dia pantas dimaafkan? Dia bilang jatuh cinta sama aku? CEO gebleg yang nggak punya otak?

Aku nggak jawab. Aku nggak mau ngomong apapun. Aku nggak mau apapun. Susah payah aku berusaha untuk berdiri. "Gue pindah, Kar. Gue nggak sudi lagi tinggal sama kaki tangan bajingan kayak dia," kataku sambil menyeret tas pakaian bulukku dari atas lemari. Dengan gontai, kubuka lemari pakaian dan menyeret semua pakaian di dalamnya. Kutinggalkan pakaian modis yang dibelikan Karin dan memang sengaja ku simpan dalam satu tumpuk berbeda.

"Ana, lo kok gitu?" Karin mulai menangis. "Lo nggak boleh pergi, Ana."

Aku nggak jawab apapun lagi. Aku sudah muak. Berteman dengan orang-orang kaya yang nggak mikir sebab akibat itu memang perih banget. Mending aku balik ke rumah terus jualan gorengan. Kalau sudah ada uang, aku bisa kursus atau ngajar les-lesan gitu.

"Savanna," panggil Drey pelan. 

Bukan Karin atau Drey yang bisa menghentikan aku. 

"Savanna, aku benar-benar minta maaf," kata Drey sambil menyentuh bahuku.

"Maaf lo nggak akan bisa bikin hidup gue normal lagi. Percuma. Cinta lo, maaf ;lo itu semua kayak sampah, Drey nggak ada artinya." Aku menarik napas banyak-banyak. "Lagian, lo bisa beli banyak cewek yang lo mau. Kenapa harus gue?"

"Mana kutahu, An. Mungkin kamu cewek pertama yang bikin aku jadi ...hina."

"Lo emang hina, Drey. Lo sudah hina jauh sebelum ketemu gue."

Drey menyentuh wajahku dengan dua tangan. Aku bisa melihat langsung ke matanya yang cokelat terang. Jarak wajah kami cuma beberapa senti. Aku bisa merasakan napasnya yang beraroma mint segar. Sayangnya, semua itu nggak bikin aku jadi suka sama dia. 

"Aku suka sama kamu, Savanna. Aku akan melakukan apa saja untuk menyelamatkan hidupmu."

"Kalau gitu, jauhi gue!"

Dia menggeleng. "Sori. Kalau untuk itu, aku nggak bisa dan nggak mau."

"Mati aja kalau gitu," desisku tajam.

Drey mundur selangkah. Dia merogoh saku jasnya. "As you wish," katanya sambil mengeluarkan pisau lipat. Iya, benar. Aku nggak salah lihat. Itu pisau lipat beneran. Warnanya hitam dan mengilat. "Tapi, aku nggak bisa bunuh diri. Kamu saja ya yang bunuh aku," katanya sambil memegang mata pisau dan menyerahkan gagangnya kepadaku.

Bunuh diri? Cowok pengecut kayak dia nggak bakalan punya keberanian untuk mati. Itu pisau stunt  yang banyak dijual di toko prank gitu. Dia mau kelihatan kuat dan hebat. Dia mau aku percaya kalau dia suka sama aku dan rela mati.

Halah, Drey! Basi banget. Kamu kebanyakan nonton sinetron micin di TV. Kamu kebanyakan ngunyah bumbu mi instan, Drey. Kalau cuma tipuan kayak gini doang nggak bakalan bisa bikin aku tertarik buat ngasih kamu kata maaf. Sori aja yah. Aku sudah kebal sama orang kaya berengsek kayak kamu.

"As you wish," ucapku sambil menerima pisau itu. Kulihat matanya yang terus menatap mataku. kubalik pisau itu dan kutancapkan ke bahu kanannya. Kucabut lagi dan kutancapkan lagi. Gitu terus selama beberapa kali, dengan terus memperhatikan ekspresinya yang super tenang itu.

Lihat, everybody! Ekspresinya nggak berubah sama sekali. Dia masih menatapku kayak orang bego gitu. Ini pisau palsu. Ini pisau mainan.

"Mana mungkin cowok yang nggak punya kejantanan kayak kamu mau repot bunuh diri segala, Drey," kataku tanpa mengalihkan pandangan dari matanya.

"AAAAAAAAA..."

Aku menoleh pada Karin yang menjerit. "Apa sih lo?"

Karin menunjuk lantai di bawahku. Darah. Bukan. Itu bukan darahku. Itu darah Drey. Darah yang ngalir di jas hitamnya ke lantai. Astaga!

Kubuka jas hitamnya buat memastikan itu darah beneran, bukan prank lagi. Kemejanya berdarah. Pas kusobek kemejanya, ada luka dalam sampai daging putih terlihat dari bahunya.

ASTAGA! Jadi pisau yang Drey kasih itu beneran?

Aku mundur. Drey limbung ke lantai. 

"LO BUNUH DIA, ANA. LO BUNUH DIA."

Aku menatap Karin yang syok. Jantungku terasa sakit sekali. Kujatuhkan pisau di tanganku yang berlumuran darah Drey. Aku yakin merah di pisau itu sebenarnya salah satu daging Drey yang menempel. Di tanganku juga ada darah Drey. Merah segar dan anyir.

Duh, lututku lemas. Aku pembunuh sekarang?

"KENAPA LO TUSUK DIA?!"

"MANA GUE TAHU KALAU ITU PISAU BENERAN?"

"LO MIKIR KALI MANA ADA PISAU LIPAT BOHONGAN!"

Kenapa aku nggak mikir gitu? Kenapa aku nggak mikir Drey bisa melakukan apa saja untuk mendapatkan apa yang dia mau? Aku tadi bilang dia mati aja. Apa mungkin dia memang niat gitu kalau ditolak? Astaga, Drey! Rencana apa yang sebenarnya kamu pikirkan?

"TERUS KITA MUSTI GIMANA?" pekik Karin dengan wajah bingung.

Darah Drey semakin banyak di lantai kamar. Wajah Drey juga makin berbubah pucat. Lucunya, dia nggak mengeluh kesakitan. Dia malah membuka mata dan tersenyum lebar ke aku. "Savanna," katanya sambil mengulurkan tangan. 

***


Saya bener-bener nggak nyangka 2 hari bisa dapat 6.7K viewer. Kalian benar-benar keren. ❤❤❤

Terima kasih banyak ya sudah membawa Filthy Shade of Drey sampai ke #135 semoga bisa terus naik lagi nih si Savanna.

Part selanjutnya saya update saat sudah 8.5K viewer yah. Semoga sebelum mencapai angka tersebut, naskah yang saya kerjakan di real life sudah selesai. Aamiinnn...

Mohon doanya yaaa...

Salam sayang,
Honey Dee

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro