At that Night

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sampai jam sembilan lewat Drey belum juga menunjukkan ujung upilnya. Karin sudah mondari-mandir di tempat parkir kayak ayam mau betelor. Tundra dari tadi ngusap punggungku kayak aku ini emak-emak yang mau melahirkan. Mungkin maksud Tundra biar aku sabar dan tenang. Nyatanya dia yang nggak sabar dan tenang.

"Lo hubungi dia, kek." Tundra terlihat sudah mulai nggak sabar. Jadi ini sebenarnya yang mau kencan aku atau dua cangcorang ini sih?

"Nggak usah, Bang. Kalau dia emang niat datang, dia pasti hubungi gue." Padahal daritadi aku sudah meremas HP sampai telapak tanganku sakit. Moga aja HP ini kuat.

"Lo nggak usah gengsi, Ana. Siapa tahu dia kenapa-napa di jalan."

Karin menyerbu masuk dengan tampang kesal. "Kalau gue lihat muka tu cowok, bakalan gue injek sampai rata sama tanah pokoknya."

"Yang janjian kan gue, Kar. Ngapain lo yang emosi?"

"Karena lo nggak bisa emosi, Kue Putu! Lo jaim. Tahu-tahu ntar lo lompat ke rel kereta." Karin berkacak pinggang dengan muka mirip ibu kos nagih bayaran.

Ada mobil masuk ke pelataran parkir dan berhentj tepat di depan kafe. Aku menahan napas. Itu Drey. Dia setengah berlari ke dalam kafe.

Kuputuskan untuk jemput dia di pintu kafe daripada dicakar Karin sampai mampus kan ya?


"Ana, aku minta maaf," katanya dengan napas terengah. "Aku sudah ngebut ke sini. Tapi ..."

Aku bingung harus nampakin ekspresi apa. Akhirnya, aku tersenyum lebar. Sakit sih, tapi Drey datang aja sudah syukur banget. "Nggak apa-apa."

"Ana?"

"Drey, aku ngerti, kok. Kerjaanmu pasti banyak. Ini hari kerja. Jadi, nggak apa-apa kok."

Drey menghela napas dan melepas kancing kemejanya yang paling atas. "Minggu ini ada tim dari Bank Indonesia yang inspeksi. Jadi, aku ..." Dia menghela napas lagi. Sudah kerasa kok dia capek banget. Kemarahanku nggak bakalan bikin masalah selesai.

"Masuk, yuk," ucapku pelan.

"Es krim kita?"

Aku bahagia, dia ternyata ingat janji kami. "Ini udah malam banget sih Drey. Kalau kita makan es krim sekarang, bisa brain freeze ntar. Lebih enak ngobrol di dalam aja, kan?"

"Is it ok?"

Aku berkedip. "Asal kamu nggak ngerokok aja," kataku sambil berjalan masuk kafe.

Dia khawatir aku marah? Dia khawatir aku ngambek terus nggak mau ketemu lagi sama dia?

Muka Karin udah mirip banteng yang emosi. Mungkin kalau nggak dipegang sama Tundra, Karin beneran bakal nyeruduk Drey.

"Karin kenapa?"

"Mau bunuh kamu," kataku sambil mengikik. "Dia yang heboh banget dari tadi karena kamu terlambat."

Drey mengangkat alis dan tersenyum lebar. "Serius?"

"Yup."

"Aku juga harus minta maaf ke dia."

"Jangan sekarang. Kalau kamu dekati dia, nanti bakalan dicakar."

Dia tertawa, renyah. Gigi-giginya yang rapi dan bersih sampai terlihat. "Kalian berdua sama-sama suka menyiksa orang."

"Cuma buat orang yang jahatin kami."

"Aku?" tanya Drey sambil memiringkan kepala. Duh, kalau dia begitu, aku jadi lumer lagi. Lututku jadi gemetar lagi.

Cewek yang biasanya jadi kasir datang membawakan buku menu. Kayaknya dia menang cakar-cakaran sama cewek waitres lainnya biar bisa antar buku menu ke Drey. (Sori, dalam kondisi gini aku nggak bisa ingat nama mereka satu-satu.)

"Kamu mau minum apa?" tanya Drey pelan.

Aku menggeleng. "Nggak usah, Drey. Aku ... aku harus pulang."

Drey meletakkan buku menu di meja, melipat tangan, lalu menatap lurus ke mataku. "Kamu marah?"

Aku menggeleng lagi. "Aku ngantuk banget, Drey. Kemarin ..." Aku menelan ludah. "Kemarin aku benar-benar nggak tidur. Aku ngantuk banget sebenarnya malam ini."

Drey tertawa lagi. "Sama. Aku juga. Makanya aku minum banyak kopi hari ini."

"Kalau gitu, kita tidur aja, Drey. Kita bisa ketemu lagi besok, kan?"

"'Kita'? Maksudmu kita tidur sama-sama?"

Nah, mulai lagi!

"Sori, aku cuma bercanda." Dia tergelak. "Aku suka ekspresi 'meh'-mu tadi. So epic."

"Kamu jangan mulai, deh."

"Ana, aku serius bercanda." Dia tertawa lagi. "Aku butuh tangan kanan buat salaman dengan banyak orang besok. Jadi, jangan tusuk aku lagi, ya?"

Mau nggak mau, aku juga ikut ngakak sama dia.

"Aku suka wajah kesalmu, tapi aku lebih suka kalau kamu tertawa begitu." Dia memperhatikan aku lagi. Dia menyandarkan dagunya pada tangan sambil menonton aku. Serius. Dia benar-benar menonton aku. Ini bikin aku ... salah tingkah. Apa rambutku berantakan? Apa mukaku kusut? Apa lipgloss-ku ketebelan? Apa dia notice kalau aku pakai lipgloss? Apa dia memperhatikan bibirku?

Nggak enak dilihatin orang seperti itu. Apalagi mata Drey tuh kelihatan intens banget. Rasanya, dia bukan cuma sekedar 'menonton'.

Tuhan, jantungku rasanya seperti mau pecah! Tolong kuatkan aku, Tuhan. Tolong jangan bikin aku jantungan sekarang.

Punggungku keringatan. Sepertinya, aku mau pipis.

"A-aku m-mau pulang." Duh, kenapa mulutku begini sih?

"Pulang?"

"Aku ngantuk banget."

"Oke. Kuantar, ya? Sekarang?"

Aku menggeleng cepat. "Nggak usah. Aku pulang bareng mereka aja," kataku sambil menunjuk Karin dan Tundra yang sekarang berdiri kayak dua sumpit di depan meja kopi.

Drey ikut menoleh pada mereka dan tersenyum. "Oke." Dia menghela napas, kelihatan nggak puas. "Besok aku nggak akan mengecewakan kamu. Aku janji."

"Nggak ada yang tahu masa depan, Drey. Jangan berjanji. Aku tahu pekerjaanmu bukan hal yang mudah."

"Sama seperti kamu. Bukan hal yang mudah." Dia tersenyum lagi. "Aku juga bukan orang yang mudah menyerah," ucapnya lagi sambil mencondongkan tubuh.

Daripada aku mati jantungan di sini, lebih baik aku beneran pulang sekarang. "Aku duluan ya?"

"Hey!" Dia menangkap tanganku sampai badannya menabrak meja. "Besok. Aku benar-benar akan datang sore."

Aku tersenyum untuk menghargai kesungguhannya. "Iya. Aku percaya."

Dia menahan tanganku sebentar sambil memperhatikanku lagi. Setelah berkedip seperti orang yang baru sadar dari lamunan, baru dia melepaskan tanganku.

Aku menghampiri Karin yang langsung menyambutku dengan kalimat, "lo nggak jadi ngeracuni dia? Gue bisa kok masukin racun tikus ke kopinya sekarang. Tenang, ntar gue matiin CCTV kok."

"Ayo pulang!" kataku cepat tanpa peduli omongannya.

"Pulang?" Tundra dan Karin berpandangan.

"Yakin?" tanya Tundra bingung. Aku cuma mengangguk.

Setelah pandang-pandangan sebentar sama Karin, dia akhirnya mengangkat bahu dan memimpin jalan kami semua ke mobil Karin.

Aku nggak berpaling untuk melambai atau pamitan atau apalah gitu sama Drey. Bukannya nggak mau, aku nggak berani. Ini aja sudah mati-matian aku menahan detak jantung yang kayak orang maraton gini.

Sampai di rumah, aku cuma diam aja. Tundra bilang ke Ibu kalau aku kesambet setan mesin kopi. Ibu ngasih hadiah jeweran kuping ke Tundra. Aku cuma melengos ke kamar. Kurebahkan tubuh ke kasur sambil mandangin HP.

Aku mulai gatel buat stalking Instagram dia. Ada beberapa foto baru yang diupload bersama orang-orang dari Bank Indonesia dan quote tentang bisnis.

Pas buka Twitternya, napasku tertahan. Aku langsung duduk tegak, berusaha konsentrasi biar nggak salah menginterpretasikan twitannya Drey kali ini. Setelah yakin apa yang dia maksud, aku langsung menjerit di bantal. Kakiku menendang-nendang kasur. Aku pengin jingkrak-jingkrak, tapi ini sudah malam. Pasti orang bakalan ngira aku ayan.

Samar kudengar Tundra menjerit, "kan sudah kubilang, Bu. Ana kesurupan."

***

Yaaaayyyy...
Naik lagi ke #54 ❤❤❤
Terima kasih banyak, teman-teman

Brain freeze itu efek otak yang jadi beku kalau makan es krim dalam kondisi suhu dingin. Makan aja deh es krim banyak dan cepat gitu. Kepala bakalan terasa seperti beku. Wkwkwkwk...

Saya ikut menggos-menggos nih kayak Drey. Kirain nggak bisa update hari ini. Ternyata bisa. *joget-joget lagu Happy

Besok adalah perjuangan lagi. Semoga bisa menyisipkan jadwal untuk update lagi yah 😆

Maaf kalau banyak typo. Saya ngetiknya di HP sambil nyuri waktu nih. 🙈

Minta bantuan buat up cerita yah. Terima kasih banyak...

Big hug and kiss,

Honey Dee

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro