Beautiful Surprise

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Drama soal Drey masih berlanjut sampai paginya. Pas jam tujuhan aku langsung coba hubungi Karin lagi. Biasanya jam segitu Karin sudah merangkak turun dari tempat tidur, sih. Tapi, kali ini dia nggak jawab-jawab teleponku. Setelah panggilan kedelapan baru dia angkat telepon dengan suara cerah banget.

"Halo, Baby!"

"Baby nenek lo jabrik! Ke mana lo semalem? Gue sampe nggak tidur gegara lo."

Dia malah ngikik kuda liar. "Sabar, Sweet pie. Gue jelasin dulu. Semalem itu HP gue jatuh kecemplung sereal. Kan gue sambil ngunyal sereal sama susu."

"Lo makan serela jam segitu?"

"Kenapa? Dosa?"

Argh! Kalau diterusin bisa habis kesabaran gue. "Nggak. Lo nggak bakalan dosa. Lo bakalan langsung masuk surga begitu mati. Sekarang, jelasin ke gue kenapa Drey sampai nge-twit gitu. Apa itu gara-gara gue ketahuan stalking IG dia?"

"Kita ketemuan aja, deh. Di mana gitu. Lo barengan sama Abang lo, yah."

Dasar nenek sihir keracunan semur jengkol seminggu kemarin! Ni anak licik banget. Dia pengin PDKT sama Tundra, tapi ngumpanin aku. 

"Kalau lo nggak mau ya udah. Gue diem aja sampe kiamat," katanya dengan suara yang seperti lagi makan sesuatu.

"Lo beneran suka sama Abang gue?'

"Benerlah. Gue baru sadar kalau abang lo itu keren banget. Dulu kan gue masih malu-malu."

Kalau aku bilang ke Karin Tundra sudah punya calon istri, mesti dia nggak percaya dan kami bakalan berantem lagi. kalau aku langsung kasih lihat Tundra ngelamar ceweknya, Karin bakalan mundur. Dia bukan tipe pelakor. Se-bitchy bitchy-nya Karin dia masih punya harga diri buat nggak ngerampok milik orang lain.

"Oke," kataku sambil tersenyum licik. Mumpung Karin nggak bisa lihat ekspresi gue, kan. "Ntar siang jam sepuluh gue mau ke kafenya Tundra. Gue bakalan mulai kerja hari ini. Lo dateng aja pesen yang banyak terus kasih gue tips gede. Awas kalau nggak."

"Jangankan tips gede, titit gede juga gue kasih." Karin ngakak kenceng banget.

"Sial, lo. Beneran ngobrol sama lo bisa bikin gue apes empat puluh hari, Kar."

"Biasain dirimu, Sayang. Bentar lagi lo jadi adik ipar gue." Dia ngakak lagi. "Gue bakalan jadi kakak ipar paling kejam yang pernah lahir ke dunia."

Sebenarnya, aku pengin ngakak lagi karena khayalannya terlalu tinggi. Tapi ... udahlah. Biarin aja Karin sama khayalannya itu. Aku mau siap-siap. Dari semalam belum mandi bikin gerah banget. Di sini nggak ada AC dan air hangat kayak di kos.

"Udah ya, Kar. Kuping gue pegel denger suara lo," kataku sambil menutup HP.

Baru saja aku keluar sambil bawa handuk dan baju ganti, Tundra sudah berdiri di depanku dengan dandanan lengkap dan aroma super wangi. Brewoknya sudah ditipisin dan rambut agak gondrongnya diikat ke belakang. Kuakui Tundra kelihatan ganteng banget.

"Lo mau ke mana? Masih jam tujuh, kan?" tanyaku melihatnya merengut gitu.

"Gue musti kerja, Kacang telor. Lo kok belum mandi?"

"Tadi Karin telepon."

"Terus gara-gara lo ngerumpi sama Karin, gue harus ngorbanin kerjaan gue gitu? Gue mau diangkat jadi bos di situ karena rajin dan tanggung jawab gue bagus. Kalau gue hancurin reputasi gegara lo, masa depan gue gimana? Anak istri gue mau dikasih makan apa?"

"Ya kasih makan nasi lah, Bang. Masa rumput," serobok Glacie yang sudah rapi dengan baju sekolahnya. "Bagi duit, Bang."

"Buat apaan?"

"Buat sakau, Bang. Kalau ntar nggak dapat nilai bagus buat beli racun daripada kena semprot ayah."

Tundra menggenggam wajah imut Glacie dengan satu telapak tangannya dan menarik wajah tu anak malang mendekat, "kalau lo berani ngobat kayak anak-anak di ujung gang sono, gue yang duluan cabut kepala  lo. Ngerti?"

"Bang, tangan lo bau terasi. Lo ini barista apa penjual rujak, sih?" Glacie ngakak sambil menendangi kaki Tundra yang langsung membaui tangannya. "Bagi duit!" desis Glacie penuh ancaman.

Tundra bukan kakak yang pelit. Jangankan duit, ginjal aja kalau emang ada yang butuh dia bakalan kasih, kok. Cuman memang dia beberapa kali curhat takut si Glacie tejerumus narkoba. Anak-anak di depan gang sana suka ngumpul buat nyabu bareng. Salah satunya tuh teman Glacie dari TK. GLacie juga suka minta duit mulu. Sebenarnya aku tahu banget itu duit nggak dipakai dia buat beli obat. Glacie suka ngemil. Sekalipun bodinya imut, dia bisa ngunyak bakso segerobaknya. Duitnya udah habis buat ditabung di tukang bakso, tukang siomay, sampai tukang cendol di depan sekolah.

"Jangan jajan macem-macem," kata Tundra sambil mengulurkan uang biru ke Glacie.

"Kebanyakan, tuh," komenku singkat. Terlambat, Glacie sudah menyeret uang itu, mencium pipi Tundra, terus kabur secepat maling sandal.

Aku cuma menggeleng dan jalan lurus ke kamar mandi. 

"CEPETAN!" teriak Tundra yang nggak kugubris sama sekali. Dia nggak mikirin kerjaan. Dia mikirin ceweknya. Dia dandan gitu kan biar nyiapin momen buat ceweknya. Ini hari pertamaku kerja, jadi harus bersih dan wangi, dong. Siapa tahu ada cowok ganteng yang mampir ke kafe terus ngelamar aku juga. Siapa yang tahu, kan?

Drey?

Ah, sudahlah! 

Selesai mandi dan dandan rapi, Ibu dengan suara falsetnya yang legendaris itu ngetuk pintu kamarku. "Buruan, udah ditunggu, tuh."

Kok bukan Tundra sendiri yang ngetuk? Kok dia cemen banget sampai nyuruh Ibu ngetuk pintuku? Dikira itu bikin aku jadi buru-buru gitu? Nggaklah. Aku tetap asyik mengukir eyeliner seperti yang diajarkan Karin.

Pas lima belas menit sejak Ibu ketok pintu, aku sudah siap. Aku keluar dengan gaya anggun. Tundra bilang seragamnya kaos hitam dan celana jins. Aku nggak dapat seragam yang sama dengan lainnya karena cuma sebentar doang kerjanya. Aku cuma dapat celemek hitam kecil lucu yang kudu dipakai selama bertugas.

"Mana Abang, Bu?" tanyaku sambil nyomot nasi goreng buatan Ibu. 

Oh, guys! Don't look at me like that. Aku nggak bantuin Ibu di dapur karena Ibu itu makhluk Tuhan yang paling cerewet soal perdapuran. Menurut Ibu kalau mau masuk dapur kudu manid kembang dulu. Jadi, nggak ada anak perempuannya yang bisa bantu Ibu masak. Aku bisa masak ini juga karena belajar sama Tundra. 

"Udah berangkat dari tadi," jawab Ibu ringan sambil mengambil kain-kain untuk dijahit. Ibu mau bikin gorden sendiri. Jauh lebih murah daripada beli, kan?

"Lah, terus aku sama siapa?"

"Tuh!" Ibu menunjuk ruang tamu.

Dengan curiga aku mengintip di balik gorden yang membatasi dengan ruang tamu dan langsung keselek.

Setelah minum dan nepuk-nepuk dada, aku mendesis kepada Ibu, "itu Arya, kan?"

"Iya. Tadi dia datang nanya kamu. Terus, Tundra bilang sekalian aja dia yang antar kamu ke sana."

Sungguh terkutuk Abangku yang satu itu.

"Bu, jangan gitu. Ntar Arya mikir yang nggak-nggak."

"Loh, bukannya kamu mau punya pacar?" Ibu duduk di depanku sambil memicingkan mata. "Arya kurang apa? Dia itu baik, soleh, anak orang kaya, sarjana, PNS, dan suka sama kamu. Mana ganteng banget. Jangan jual mahal, Ana. Kalau kamu nggak mau, cewek-cewek di sini pada ngantri buat dapetin dia."

Aku mengeluh pelan. Sudah nggak ada selera lagi buat habisin nasi goreng pedes yang enak banget ini. "Aku berangkat, Bu," kataku dengan malas.

"Ana?"

"Ya?"

"Coba buka diri dulu. Coba saja dulu. Zaman sekarang dapat cowok baik dan jujur itu susah, Ana. Cari cowok ganteng gampang banget, tapi dapat suami yang soleh dan baik itu susah sekali," ucap Ibu yang cuma kubalas dengan anggukan.

Memang, Arya itu baik banget. Dari dulu dia kalem banget. Sekalipun bapaknya songong, dia sama sekali nggak pernah mengagungkan kekayaan orangtuanya. 

"Savanna," ucapnya cerah saat melihatku. 

Aku menelan ludah. Dia memang ganteng, kok. Wajahnya bersih dan adem. Dia tipe cowok yang bakalan selalu ngalah dan memberikan apa yang diinginkan istrinya. Suami idaman sebenarnya. Kenapa dari dulu aku nggak nboleh dia, yah?

"Apa kabar?" tanyaku berusaha ceria.

"Baik. Kamu gimana?"

Aku mengangguk saja sambil senyum. Yah... kayak cewek baik yang malu-malu gitulah.

"Uhm ..." Dia menengok jam tangannya. "Kita berangkat sekarang?"

"Kamu kerja?" tanyaku heran. Iya, sih tadi Ibu bilang dia PNS. Berarti hari ini dia harus masuk kerja.

Dia tersenyum lebar. "Sebenarnya iya. Tadi aku lewat terus ketemu sama Tundra. Dia nyuruh aku nganterin kamu ke tempat kerja."

Astaga! Jadi Arya diperalat Tundra? Kebangetan emang anak itu.

"Arya, kalau emang kamu sibuk sebenarnya nggak apa-apa sih. Aku bisa naik ojek aja. Duh, maaf banget, ya."

"Nggak apa-apa. Aku kan sudah lama banget nggak ketemu kamu. Berapa kali aku pengin main ke kosan mu, tapi takut ntar malah jadi fitnah."

Aku pengin ngakak. Kalau ngomongin fitnah, teman sekamarku itu sumbernya fitnah. Aku udah puas duduk di kamar untuk ngerjain tugas sementara dia haha-hihi sama pacarnya.

"Terus, kita pergi bareng nggak jadi fitnah gitu?"

Dia tersenyum lagi, manis banget sebenarnya. "Paling hukumannya disuruh nikahin kamu. Itu aku mau banget."

TUHAAANNN... kenapa ni cowok to the point banget? Haruskah aku nikahi dia sekarang biar habis masa galauku?

"Oke, deh. Kita berangkat sekarang aja. Kamu terlambat banget, kan?"

Oke kita bahas soal Arya lagi, yah. Kayaknya ini lebih berfaedah daripada bahas soal cowok yang datang, lalu pergi itu.

Arya itu nggak lebih tinggi dari Tundra. Dia nggak brewok. Ada sih jenggotnya dikit yang kayaknya berusaha banget untuk tetap tumbuh. Mukanya mulus banget. Bedalah ya sama Tundra yang ada codetnya dikit-dikit bekas berantem dulu pas masih alay. Dia juga orangnya senyum terus. Kayaknya dia dilahirkan dalam keadaan senyum dan diseting untuk terus senyum gitu sekalipun lagi tidur.

Sebenarnya cowok ini pas banget buat dijadikan suami. Entah kenapa aku nggak ngelihat dia dari dulu. Mungkin karena aku nafsu banget kali ya sekolahnya?

Kami jalan pakai mobil yang diakuinya sebagai mobilnya sendiri. Bukan mobil mewah yang kabin penumpangnya bisa duduk berhadapan kayak punya kalian-tahu-siapa itu. Tapi, menurutku prestasi luar biasa loh cowok anak orkay mau repot beli barang sendiri gini.

Dia nggak banyak ngomong kayak Tundra. Dia sopan banget. Saking sopannya sampai dia biarin aja orang jalan duluan. Dia sabar banget ngadepin orang dodol di jalan raya. Kalau Karin yang bawa mobil, udah jebol tuh klaksonnya dihajar ama dia.

Sampai di Simply Breeze juga dia nawarin minta dijemput atau nggak. Dia nawarin mau nyimpen nomernya atau nggak. Dia juga siap kalau sewaktu-waktu aku jadiin dia ojek panggilan. Baik banget, kan? Boleh kan aku memutuskan untuk kenal dan berniat pacaran sama dia? Mungkin kalau nikah sama dia hidupku bakalan kayak di negeri dongeng gitu.

Oke. Aku mau tanya Tundra dulu, deh. Siapa tahu dia punya ...

"EH... RUMPI... LO TERNYATA PUNYA GEBETAN BARU. YOU'RE SO BITCHY, SAVANNA!"

Perlu kujelasin siapa yang jerit-jerit begitu aku masuk ke Simply Breeze itu?

"Lo ngapain di sini, Mak Lampir?" desisku kesal. "Lo abis sarapan batere? Lo tahu kan kalau gue mau kerja di sini?"

"SORYYYYYYYYY..."

Aku perlu pesen kopi vietnam plus plus deh ke Tundra.

Karin menyeretku ke mejanya. Duh, belum apa-apa sudah hancur karirku.

"Mana Tundra?" tanyanya sambil memperbaiki duduknya.

"Lo nanya ama gue. Gue aja baru sampe. Tanya ama karyawan lain sana."

"Kirain dia sama lo. Nggak kelihatan dari tadi."

"Dia sudah berangkat dari tadi. Makanya gue sama Arya."

"Siapa tuh? Lumayan ganteng, loh. Tipe yang bakalan masuk surga cepet."

"Tetangga gue. Anaknya baik banget. Kalem dan sopan. Nyokap gue nyuruh jadian sama dia."

Dia melirik genit. "Nggak ajdi sama Drey?"

Belum sempat kujawab pertanyaannya, Karin sudah meremas pergelangan tanganku sambil mendesis, "Itu Tundra, kan?"

Aku menoleh, mengikuti arah pandangannya dia. Benar itu Tundra dia ngobrol sama cewek yang cakep banget. Penampilannya kayak Karin, tapi dia jauh lebih feminin. Cara dia senyum dan menyilangkan kaki terlihat cewek banget. Suaranya juga nggak kedengaran kayak Karin gitu. Cewek itu juga nggak nempel-nempel gatel kayak orang pacaran gitu. Dia tetap jaga jarak dan sopan. Pantes Tundra ngebet banget mau nikahin tu cewek.

Pengin nyumpah deh jadinya sama Tundra. Dia nyuruh aku berangkat sama Arya biar bisa berduaan sama ceweknya gitu?

"Kayaknya mereka baru datang," kataku sambil tetap mengawasi mereka. "Semalam dia bilang mau ngelamar tu cewek di sini hari ini. Gue disuruh jadi saksi sebelum dia bawa tu cewek ke ortu. Lo nggak patah ha ... Kar? Lo nggak apa-apa?"

Karin masih melongo melihat Tundra dan ceweknya. Dia nggak bergerak sama sekali. Pas kulambaikan tangan di depan mukanya baru deh dia berkedip dan narik napas panjang. "Tundra mau ngelamar cewek itu?" tanya Karin yang kayaknya cuma untuk memastikan.

Aku mengangguk tegas. "Dia sudah beli cincin buat tu cewek.

Karin tersenyum lebar. Dia duduk bersandar di kursi sambil menyeruput minuman dinginnya. "Kasihan. Bentar lagi Tundra bakalan sakit hati."

"Hah? Kenapa?"

"Lihat aja," ucapnya santai sambil tersenyum misterius. Ah, lagi-lagi dia bikin aku penasaran.  

***

Terima kasih banyak ya, Teman-teman atas apresiasinya pada cerita ini. Luar biasa saya melihat cerita ini akhirnya bisa naik ke #47. Mulanya saya sudah hepi cerita ini di #76. Terus tadi pagi pas iseng buka Wattpad buat baca cerita teman ternyata sudah manjat ke #47. Wuaaahhh...

Saya akhirnya:

Sekalipun awalnya saya ingin menulis tanpa ingin pusing sama angka rating atau viewer atau sebangsanya, pada akhirnya saat melihat tulisan yang saya buat siang malam dihargai dan diberi rating bagus begini rasanya seperti ada yang membayar kerja keras saya. Jadi makin giat banget untuk up date.

Jadi, buat kalian yang membaca sebuah cerita dan suka dengan cerita itu terus pengion baca lagi dan lagi, sebaiknya ikutan comment buta kasih support ke penulisnya. Comment yang kalian tulis itu semacam akua pas saya lagi capek dan haus. Jadi seger lagi.

Semoga cerita ini makin greget dan nggak bikin kalian bosan sampai ending nanti. 

Love love love you very much, Guys!

Love from my head to toe,

Honey Dee

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro