Guilty Feeling

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Drey, kamu ngomong apa?" tanyaku sambil nahan diri biar nggak mewek. Nggak sopan rasanya harus nangis di depan orang yang lagi sakit. Drey begini karena aku. Seharusnya aku harus lebih tegar dan simpatik.

Drey menghela napas panjang, lalu menelahn ludah. "Haus," katanya nyaris tanpa suara. Tapi, aku yakin itu yang dia bilang dari gerak bibirnya.

Kutoleh ke kanan kiri di ruangan ini untuk cari botol air mineral. Kalau di hotel kan biasanya ada air mineral gratisan. Masa di kamar VIP rumah sakit nggak dikasih air mineral gratisan? Mending TV layar datarnya ditukar air mineral, deh. Buat apa juga orang sakit nonton TV coba?

Di bagian bawah lemari kayu ada kulkas kecil yang tersembunyi. Di situ ada air mineral dan soda. Coba pikir baik-baik, orang sakit kan harus minum obat, buat apa disuguhi soda? Rumah sakit ini parah banget managemennya.

"Ini, Drey," kataku sambil membuka botol, menyisipkan pipet plastik ke dalam botol, dan menyodorkan pada Drey.

Aneh, dia menggeleng. "Aku mau susu."

Tuhan, aku tadi sudah janji untuk nggak ngumpat, tapi bolehkah aku ngumpat sekarang? Sekali aja.

"Aku cuma punya ini," kataku setelah mengembuslam napas panjang banget. "Nanti kalau Karin datang, aku bakal keluar nyarikan susu."

"Kamu punya susu, kok," katanya dengan ekspresi tengil.

Tuhan, ini benar-benar cobaan. Dosakah aku kalau membunuhnya sekarang?

"Drey, please..."

Untung aja akhirnya Drey senyum dan meminum air mineral di tanganku. Kalau nggak, mungkin aku sudah bertindak kasar ke dia. Sangat kasar.

Habis minum, dia memejamkan mata. Nggak ada hitungan menit, deh. Dia sudah tidur lagi. Napasnya teratur dan lembut. Damai banget lihat dia tidur begitu. Dia terlihat nggak berdosa dan sangat tenang. Dia juga ... ehm, ganteng. Sangat ganteng bahkan kalau lagi tidur begini karena nggak ada yang bikin ilfil dari dia. 

Duh, kenapa aku langsung ngiler begini?

Aku terlonjak pas pintu terbuka dengan kasar. "Ana!" teriak Karin yang langsung berlari masuk.

"Psstttt!" Aku mendesis dengan telunjuk di mulut. Setengah berlari aku menghampiri Karin. "Apa sih lo? Ini rumah sakit, bukan hutan."

"Sori, An. Gue kira lo diapa-apain juga sama si Drey." Suara Karin jadi berbisik menyesuaikan instruksiku untuk nggak ribut.

"Dia dibius, Karin."

"Yah, kali aja bius biasa nggak mempan buat cowok kayak dia. Soalnya, kalau gue inget-inget, cuma psiko yang punya tatapan kayak gitu pas ditusuk-tusuk."

Psiko? Drey Psiko?

"Nih, buat lo. Sekalian bersihin badan lo. Gue minta Michael buat bawain baju-baju kita," katanya sambil menyerahkan seplastik besar makanan dari mini market. 

"Michael siapa? Emang dia punya kunci kamar kita?"

"Cowok baru gue. Gue ninggalin kunci di bawah keset tadi pas lo buru-buru ikutan ambulan."

"Lo ganti cowok lagi?"

Karin mengibaskan tangan seolah itu bukan hal yang penting. "Sudah makan, gih. Biar tampang lo bagusan dikit. Eh, tadi Drey sudah bangun?"

"Udah. Dia minum bentar tadi terus tidur lagi," kataku sambil duduk di lantai depan pintu yang jauh dari Drey untuk makan roti yang dibawa Karin. Rotinya hambar, tapi karena lapar banget kupaksa aja masukin ke dalam mulut. Aku jadi kangen banget sama nasi pecel Mbak Genit di samping kos yang sambelnya nendang banget. 

Karin membersihkan wajahnya dengan micellar water dan kapas yang baru dibelinya juga. "Lo mau nugguin dia di sini?" tanya Karin sambil berusaha melihat bayangan wajahnya di kaca pintu. Walau yang terlihat cuma siluet saja, sepertinya Karin sudah puas. Dia membersihkan wajah sambil memperhatikan siluetnya di kaca pintu.

"Sebenarnya gue mau ke kampus besok. Siapa tahu gue dapat keringanan. Yah, sekalipun ornag nggak akan mungkin percaya kalau gyue diculik."

Karin membuang napas. Dia menatapku dengan wajah prihatin. "Kalau lo emang dipecat sama kampus, gue yang bakalan ngebayarin kuliah lo, deh. Kuliah lo kan setengahnya kuliah gue. Buat bokap gue rasanya bakalan kayak bayarin jajan gue sebulan doang."

Aku tersebut lebar. "Kar, lo nggak musti gitu, sih. Kalau emang gue nggak dapat beasiswa lagi, gue bisa balik ke ryumah dan diskusi sama bokap. Kalau mereka emang nggak bisa jual tanah  buat biaya kuliah gue, ya gue berhenti nyari kerja aja. Gue kuliah sambil kerja."

"Lo tuh kudu jadi sarjana, Ana. Lo tuh cewek paling pinter yang pernah gue temuin. Sayang banget kalau lo nggak bisa jadi sarjana. Gue malah yakin lo bisa kalau cuma sarjana dobel, sih."

"Kalau gue pinter, gue nggak bakalan ada di situasi kayak gini, Kar. Mana sekarang gue punya chance dipenjara lagi."

Karin mendekat. "Lo yakin Drey bakalan penjarain lo?"

Aku cuma mengangkat bahu. 

"Kalau dia macem-macem, gue yang bakalan maju, An. Gue yang bakalan lipet-lipet dia."

"Yah, obrolan ini lagi. Terus lo rencanain pembunuhan buat dia, kan? tadi kan kita udah cerita. Ntar bosen yang baca kalau kita ngobrolin hal yang sama lagi."

Karin seperti mau ngomong, tapi dia malah angkat bahu dan menyelesaikan bersihin wajah sampai ganti kapas. Dia nggak ngomong apa-apa lagi sampai masuk ke kamar mandi.

Sendirian, kupandangi Drey yang tidur di ranjang rumah sakit. Di satu sisi aku kasihan banget sama dia. Aku nggak pernah dijahit sampai begitu, tapi aku tahu rasanya pasti sakit banget. Tapi di sisi lain, dia yang jahat. Dia pantas banget dapat hukuman seperti itu. Seharusnya lebih bahkan. Kalau cuma segitu nggak bisa menyamai apa yang kurasakan. yang dia rasakan belum separuhnya apa yang sudah kualami.

Dia mengeluh pelan. Tangannya yang diinfus berusaha memegang bahu yang diperban. Rintihannya terdengar memilukan. Buru-buru kuhampiri dia. Matanya masih terpejam.

Aku mendekat ke kupingnya, "Drey, kalau butuh apa-apa ada aku di sini, yah. Kamu ngomong aja," kataku berusaha sepelan mungkin. Drey nggak bergerak. Dia terlihat sama sekali nggak merespon ucapanku. Mungkin pengaruh biusnya itu kali, ya?

Kuembuskan napas panjang. Apa aku sudah terlalu egois?

Lalu, entah sejak kapan pipiku jadi basah.

***

Yippy...
Prestasi banget kemarin beberapa hari Filthy Shade of Drey masuk di #99

Sayang banget sekarang turun ke #122 lagi. Huhuhu...

Kalau kalian suka, jangan lupa vote dan comment yah biar FSOD ini bisa ke-up lagi.

Syukurlah sekarang udah selese kerjaan saya nge-lay out naskah orang. Hehehe...
Tinggal nyelesaikan nonfiksi yang kemarin saya sampai heboh nanya ke cowok-cowok tentang cewek yang cucok jadi istri ideal tuh gimana?
Hahaha...
Buku ini seru banget. :3

Oke deh. Besok saya akan update lagi mumpung lagi senggang. Hari ini segini dulu, yah. Mata saya pegel banget. hehehe...

Semoga kalian tetap suka sama cerita ini. ^^

Selamat hari senin!

Salam sayang,

Honey Dee

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro