Masih Bad Day

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setelah berhasil mengganti sim card dan menjejalkan asesoris HP baru itu ke dalam tas. Aku langsung merapikan lagi dandananku. Hidupku masih bisa diselamatkan. Nggak ada yang terlalu buruk, kok. Tuhan masih sayang banget sama aku. Karin nggak akan bunuh orang dan aku masih bisa selamat menikmati hidup sampai wisuda kelak.

Aku turun dari taksi dengan gaya seanggun mungkin, menarik sedikit bibir agar terlihat ramah, dan menggendong tas di lengan seperti Victoria Beckham. 

"Selamat pagi! Ada yang bisa saya bantu, Mbak?" sapa satpam dengan ramah dan senyum lebar. Kubalas senyumannya dengan senyum simpul. (First lesson to be a lady, Seorang lady tidak akan sembarang mengumbar senyum lebar pada orang tidak dikenal.)

Kuserahkan surat yang katanya Karin adalah surat sakti itu.

Surat izin berlogo Clover Bank itu sakti banget. Begitu melihat surat itu, Paksatpam langsung senyum lebar dan mengantarkanku ke lift. Dia juga membukakan lift dan mengatakan, "Nanti Mbak akan ketemu sama sekretaris Pak Drey. Namanya Mirinda. Orangnya cantik, Mbak. Rambutnya merah gitu. Pokoknya Mbak bakalan langsung tahu kalau lihat. Nah, di situ nanti tanya saja lagi Pak Drey sudah bisa ditemui atau belum. Jangan langsung nyelongong ya, Mbak. Pak Drey suka ngusir orang. Nanti yang dipanggil buat ngusir ya saya juga. Capek Mbak naik ke atas."

"Tenang, Pak. Saya juga nggak mau diusir, kok," kataku sambil masuk lift dan tersenyum lebar pada petugas keamanan itu.

Perjalanan naik ke lantai eksekutif ini diberkati sekali. Nggak ada orang yang numpang naik ke lift-nya. Nggak ada orang yang berhentiin lift juga karena iseng. Perjalanannya mulus sampai akhirnya lift berdenting pelan dan membuka. Setelah semua halangan yang ada, dikasih kemudahan seperti tuh rasanya blessed banget.

Gila, aroma lantai ini enak banget. Kayak lagi di gunung gitu aromanya. Lantainya juga dilapisi karpet tebal. Aku harus jalan pelan-pelan biar stiletto-ku nggak kesandung karpet. Memalukan banget kan kalau sampai ngungsep di depan orang-orang keren ini?

Yang namanya Mirinda itu memang cantik sekali. Dia juga kelihatan sombong. Rambunya perfect banget ikalnya. Mukanya lebih pantas menghiasi majalah cosmo dan masuk dalam dinastinya Kardashian daripada duduk di belakang meja niup-niup kopi yang masuh berasap. Satpam tadi bener. Aku bisa mengenalinya dalam sekali pandang.

"Selamat pagi, Mbak Mirinda," sapaku ramah sambil menunjukkan senyum terbaik yang kupunya.

Dia menatapku dengan mata berlensa kontak abu-abu yang pas banget sama muka cantiknya. "Pagi, ada yang bisa saya bantu?" Nada bicaranya resmi dan terasa profesional sekali.

"Saya ada janji dengan Pak Krisna Drey," jawabku sambil menunjukkan surat sakti tadi.

"Saya baca dulu, ya." Dia mengambil kertasku dan membacanya tanpa suara. Alisnya berkerut. Apa ada yang nggak beres?

Setelah baca surat itu dia menggeleng dan bilang, "maaf, Mbak. Tapi di surat ini harusnya mbak ketemu Pak Drey jam seouluh tadi. Sekarang Pak Drey sudah mau pergi."

Seluruh tubuhku langsung lemas. "Pergi ke mana?"

"Ya menyelesaikan urusannya, lah. Mbak kira CEO kerjanya cuma duduk-duduk doang? Mbak tuh telat setengah Jam. Pak Drey bukan orang nganggur, Mbak. Dia punya jadwal yang ketat."

Lebih ketat dari rokmu, Mbak? Mau kusobekin biar nggam ketat lagi?

"Tolonglah, Mbak. Saya bisa dimutilasi kalau sampai pulang tanpa bawa rekaman suara Pak Drey."

"Kan bukan saya yang dimutilasi, Mbak." Wajah cantik kampret betina ini terlihat senang mengatakan itu. Seolah dia pengin bilang, 'kan lo yang mati, Nyong!"

"Mbak, Please ..."

Dia menarik napas panjang, lalu mengembuskannya dengan cepat. Nggak usah dikasih tahu juga aku tahu itu tanda dia sudah kesal sama aku. "Mbak, saya punya kerjaan. Kalau mbak ngerengek gitu, Saya nggak akan bisa kerja. Saya bisa dipecat."

"Kan bukan saya yang dipecat, Mbak," kataku membalas pernyataannya tadi. Memang kalimat ini nggak mmebantuku sama sekali. Tapi paling nggak kalimat ini bikin muka cantiknya jadi jutek dan kesel. Paham dengan kondisi ini, aku langsung pergi daripada dia ngamuk terus nyiram mukaku pakai kopi panas di mejanya yang masih ngebul-ngebul itu.

Kupandangi HP cina di tanganku yang gagal menjalankan misinya. Kutekan tombol lift beberapa kali dengan lemas.

Memang, sih. Aku cuma harus minta maaf sama Karin. Dia nggak akan betah musuhan lama-lama sama aku. Tapi, aku sedih banget ngebayangin dia sedih. Sejak jadi temannya, aku seneng banget kalau lihat dia happy. Aku seneng banget lihat dia senyum dan dapetin apa yang diinginkan. Setahun tinggal sama dia, Karin itu sudah seperti saudara yang nggak bisa dideskripsikan jadi kakak atau adikku. Kadang dia jadi kakak yang sayang banget sama aku. Kadang dia juga jadi adik yang pengin kukerjain sampai nangis. Ngebayangin dia depresi kayak gini bikin aku lemes juga.

Selain itu, semua perjuanganku akhirnya sia-sia. Perjalanan pagi ini? Dandan dari subuh? Juga poni sialan ini? Beli HP ajaib yang ada guritanya? Semuanya sia-sia. Semuanya nggak guna sama sekali.

Di dalam lift, kulepas stiletto Karin. Telapak kakiku terasa dingin menginjak lantai lift yang dilapisi parquet cokelat kemerahan. Mungkin ada CCTV di lift ini. siapa peduli? Sini tonton aku sampai puas. Siapa tahu CCTV ini bakal jadi video terakhirku sebum dihukum gantung sama Karin.

Kulepas juga kancing kemeja paling atas dan pitanya. Aku mau bilang ke Karin kalau kantornya Drey ini dirampok dan aku berhasil melarikan diri. Pantyhose ini juga sudah bikin kakiku gatal. Aku pengin lepas aja semuanya terus tidur cuma pakai hot pants sambil minum infused water. Semoga infused water-ku nggak ditetesin sianida sama Karin. Aku masih pengin hidup, Tuhan.

Lift berdenting pelan. Aku nggak peduli. Toh aku bukan bagian dari kantor ini. Mau bugil, kek bukan urusan mereka. Kalau nanti butuh pinjaman dana, aku nggak akan ke sini. Aku cari bank perkreditan lain atau rentenir itu jauh lebih baik. Ini pertama dan terakhir aku ke sini, deh.

Pintu lift membuka. Aku mundur sedikit untuk memberi tempat pada siapa saja yang mau masuk.

"Eh?!"

Aku mendongak mendengar seruan kecil itu.

Sumpah, seumur hidup aku nggak pernah lihat mata secokelat itu. Mata kecil yang bulat sempurna. Mata yang menatap lurus pada mataku. Mata yang terkejut itu kemudian meredup. Alisnya membentuk ekspresi heran.

Aku menelan ludah. Apa dia manusia? Apa dia malaikat? Apa dia jin? Siapapun dia, aku mau dibawa ke mana pun. Aku ikhlas.

***

Nah, berhasil kan update hari ini. Drama hilangnya sebagian part "Bad Bad Bad Day" tadi bikin saya sebel sebenarnya karena sebagian besar part ini sudah launching duluan. huwaaahhh... kenapa Wattpad seperti ini. kezaaammm...

Setelah ini saya tunda dulu ya update nya sampai mencapai 800 view? Nggak lama kok. Saya mau ngerjain naskah dulu. Kemarin naskah saya sudah disetujui oleh sesepenerbit. Jadi, saya mau selesaikan dua hari ini. Semoga bisa selesai. Doakan saya, yah.

Sebelumnya, saya mau jelaskan beberapa hal dalam cerita part ini yang mungkin nggak dimengerti oleh beberapa pembaca.

Parquet = lapisan lantai yang bertekstur dan bermotif seperti kayu

Pantyhose = stoking yang nyambung sampai celana.

Stiletto = sepatu bertumit runcing seperti yang dipakai pada gambar di atas.

Infused water = air yang seger banget kek gambar ini nih ... dikasih potongan buah agar si air menyerap sari buahnya. Minuman sehat dan seger banget sekalipun beberapa buah tertentu agak pahit atau getir rasanya.

Nggak bingung kan bayanginnya?

Pengin tahu juga bagaimana penampakan tokoh-tokoh di dalam cerita ini?

Saya tuh pengin kasih lihat tapi takutnya pada nggak suka kalau dikasih tahu cast-nya. hehehe...

Sekian dari saya. Semoga teman-teman menikmati part ini. Terima kasih sudah mampir dan voment.

Salam sayang,

Honey Dee

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro