Time Zone

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari tanpa Drey sebenarnya nggak buruk-buruk amat. Kemarin kukira bakalan jadi hari-hari membosankan; guling-guling sendiri, nggak tahu harus ngapain karena merindukan dia, dan mungkin aku bakalan senewen marah sana-sini. Begitu kan yang ada di film?

Ternyata semua salah.

Hari Minggu aku sudah dijemput Karin untuk balik ke kos. Pas sampai di kos, ternyata kamarku jadi sarang kejorokan Karin. Jelas aja dia nggak sempat bebersih, sebagian besar waktunya dihabiskan di Simply Breeze. Dua hari aku harus bersihkan kamar sampai jadi ruangan yang layak dihuni manusia, bukan demit kayak Karin yang cuma bsia nonton sambil cerita betapa enaknya kue yang dia makan.

"Lo nggak bakalan nikah sama siapapun kalau kayak gitu, Keset Welkom!" hardikku sambil membanting tumpukan kerdus isi buku pesanan orang. Aku harus mulai packing buku-buku pesanan itu sebelum mulai kuliah lagi.

"Kan gue ntar bakalan hire asisten, Rujak Cingur. Lo kira gue bakalan kayak lo yang ngeden-ngeden bersihin kamar sendiri?" Dia diam sebentar sampai aku harus noleh karena penasaran. "Eh, gue miara lo aja yah di rumah biar bisa beres-beres kalau gue udah jadi istri Tundra nanti?"

Kulempar dia pakai gunting kertas. Sayang, meleset!

"Lo kejem banget sama calon kakak lo," katanya sambil cekikikan.

"Gue nggak sudi lo jadi istri Tundra."

"Kalau Tundra mau sama gue, lo mau bilang apa?"

Aku menghela napas panjang. Ya, memang sih. Kalau tundra mau, aku bisa apa? 

"Lagian lo tuh tampang susah banget, Ana." Karin merayap sampai berbaring di sebelahku dengan sendok plastik cake masih menempel di mulutnya. "Lo bakalan kewong sama Drey, kan? Ngapain lo repot beresin rumah? Lo bisa minta asisten selusin, Ana."

Kawin? Sama Drey? Apa iya?

Aku berbaring di sebelah Karin, tiba-tiba merasa lemas. 

"Gue nggak tahu bakalan bisa berhubungan lebih jauh sama dia atau nggak, Kar."

Karin menatapku, kaget. "Maksud lo? Uhm ... lo nggak suka gitu sama Drey?"

"Gue cinta. Gue sayang. Gue pengin jadian selamanya sama dia." Aku berpaling juga pada Karin. "Gue ... merasa ini kehidupan yang nggak nyata, Kar."

Dia diam, menunggu aku bercerita panjang lebar. 

Kutarik napas panjang sekali sampai dadaku penuh. "Beberapa bulan lalu gue cuma mahasiswa biasa yang pengin lulus sampai lo nyuruh gue ketemu sama Drey. Gue pikir gue bakalan nikah sama cowok yang biasa-biasa aja. Gue punya keluarga yang biasa-biasa aja dan hidup yang biasa-biasa aja. Semua serba biasa dan aman dari masalah besar. Gue nggak tahu kalau hidup gue bakalan seabsurd ini. CEO. Gila, gue nggak pernah ngimpi bisa jadian sama orang segede dia."

"Emang lo yakin anunya gede?"

Aku nggak memedulikan pertanyaan konyolnya. Dia memang biasa gitu kalau liat aku sudah melow gini. 

"Drey itu ... dia benar-benar bukan manusia biasa, Kar. Dia ..."

"Vampir kayak Edward Cullen?"

"Ayah pernah bilang kalau semua yang kita dapatkan di dunia ini ada harganya. Dia juga punya harga yang harus dibayar untuk semua yang dimilikinya sekarang, Kar. Cuman ... kenapa harus gue yang terpilih oleh takdir untuk menemaninya?" Kutarik napas panjang. "Kadang, gue merasa takut sama dia. Di dalam dirinya ada monster yang bisa bangkit kapan aja."

"Semacam Hulk? Lo lagi ngomongin Bruce Banner?"

Aku masih nggak memedulikan omongannya.

"Gue ... gue juga nggak bisa hindari dia, Kar. Gue sayang banget sama dia." Air mataku mulai meleleh. "Dia itu kayak... kayak anak anjing yang kutemukan di pinggir jalan, ditelantarkan orang dan nggak diinginkan siapapun. Dia memohon dan memelas untuk dikasihani, untuk dibolehkan hidup sebentar lagi. Sayang, dia bukan anak anjing sembarangan. Dia cerberus."

"Jadi, lo ngatain Drey anjing?"

Aku berpaling pada Karin. "Dan gue masih bertanya-tanya kenapa Tuhan nggak cabut nyawa lo secepatnya, Kar."

Dia ngakak kenceng banget sampai batuk-batuk dan numpahin gelas isi air putihnya. Dengan malas dia menyeret kaos di tempat tidurnya untuk membersihkan air putih di lantai.

"Gue tahu perasaan lo, Ana." Dia menepuk punggungku, sambil berusaha berhenti ketawa. "Ana, kalau lo emang sayang sama dia dan dia sayang sama lo mau apapun yang terjadi, pertahankan aja. Nyari orang yang suka dan sayang sama kita tu gampang. Nyari orang yang bisa kita sayangi juga gampang. Tapi, nyari orang yang sayang sama kita sekaligus kita sayangi itu nggak mudah, Ana.  Orang yang mengerti dan bisa lo ngertiin. Itu sama kayak nyari potongan puzzle yang pas. Kalau lo lepas, belum tentu ntar bakalan ada orang yang mengisi kamu seperti Drey." Dia diam sebentar. "Gitu juga sebaliknya."

"Tapi dia sama sekali nggak bilang cinta gitu."

"Sama sekali?"

Aku mengangguk. "Gue takut kalau melepaskan dia, nanti dia ..." Aku menelan ludah. Nggak bisa kubayangkan dia mengalami hal buruk lagi. Astaga, jangan sampai!

"Dia kenapa?"

Aku menggeleng. "Nggak apa-apa."

"Be tough, Girl! He loves you, you loves him. That's enough for this shitty world. Lagian, lo bukan cewek yang bisa hidup gitu-gitu aja, sih. Sekalipun menurut lo asyik hidup simpel, tapi gue jamin lo bakalan bosen in no time, deh."

Karin mengeluh keras-keras saat berusaha melawan rasa malas untuk sekedar duduk. "Ugh... I want a truly boyfriend. Cowok yang bisa banget jadi suami gitu."

"Lo sudah punya koleksi lusinan cowok, Karin."

"But they are jerks. I want someone like yours." Karin mengedipkan mata dengan nakal, lalu membuat gerakan menggigit yang bikin jijik.

Aku cuma memutar mata. 

Kupejamkan mata untuk mengingat lagi semua kebersamaan dengan Drey. Dia memang nggak pernah melepaskanku. Sekalipun jauh, dia terus menelepon, WA, video call, atau menulis twit-twit nggak jelas untuk memancingku. Dia seperti anak SMA yang nggak pernah merasakan pacaran. Dia hampir nggak peduli dengan perbedaan waktu tiga jam di antara kami. Dia terus telepon dan tanya aku sedang apa. Cuma beberapa menit. Dia bisa menelepon dari WC, dari koridor, dari perjalanan menuju ke tempat dari, mobil, ah... pokoknya kapanpun dia punya waktu wakau cuma satu dua menit.

Mau tahu gimana WA kami yang superreceh?

Ini WA pertama dia pas sampai di Sidney. Nggak lama setelah WA itu, dia memutuskan untuk menelepon aku. Cuma sekedar pengin dengar suaraku katanya.

Mau baca WA yang lain?


Sudah. Kalian nggak perlu baca lebih banyak lagi. Kasihan, bisa-bisa kalian ngiler.  Haha.

Lucunya, Drey bukan satu-satunya cowok yang menghujaniku dengan gombalan. Arya yang dikader oleh Tundra dan Ayah untuk mendekatiku juga sekarang makin lancar menyerang dengan berbagai macam gombalan konyol. Bayangkan saja, dia jadi rajin ke kos dan nggak mau pulang. Dia bawakan aku kue dan nasi padang hampir setiap hari. Aku jadi merasa seperti korban banjir yang tinggal di pengungsian. Katanya dia sih karena aku males diajak keluar untuk makan. Jadi, dia memilih untuk makan barengan aku aja di kos.

Sekalipun sebagian besar makanan akhirnya jatuh ke perut Karin, Arya tetap nggak menyerah.

"Aku tahu memang nggak mudah buat move on, Ana. Makanya aku akan terus berusaha," katanya dengan senyum ultimate-nya yang membuat cewek mana pun ikut tersenyum, termasuk aku. Hanya sekedar senyum, tanpa ada keinginan lebih seperti saat bersama Drey.

Kata Karin, "Nyokap sama Bokap lo ngeri sama Drey. Mereka takut lo jadi mangsa buaya metro kayak Drey. Mereka minta bantuan sama Arya buat deketin lo. Kalau Arya berhasil, dia boleh kewong sama lo kapan pun yang dia mau. Mereka pikir Arya ratusan kali lebih baik dari Drey." Dia sempat berpikir sebentar. "Gue pikir juga gitu, sih. Arya itu sudah mapan. Lo emang nggak ngarep hidup ala Kim Kardashian, kan? Jadi, gue pikir hidup sama Arya itu bakalan sudah cukup menjanjikan buat lo." Karin menatapku lekat-lekat.

"Kenapa?" tanyaku bingung. Aku nggak ngerti kenapa dia memandangku begitu.

"Gue nggak bakalan nyapa lo kalau lo jadian sama Arya."

"Kenapa?"

"Karena dia bukan cowok yang bisa jinakin lo." Karin menarik napas panjang. "Lo itu ... apa ya ... lo itu sama monsternya sama Drey." Karin cekikikan terus memilih untuk kabur ke luar kamar.

Yah, aku memang berbeda sama cewek lain yang punya mimpi sederhana. Aku memang nggak sebebal Karin. Aku juga nggak senurut Glacie. Aku punya sesuatu yang nggak kuketahui di dalam diriku. Aku ingin sesuatu yang lebih banyak. Aku ingin laki-laki yang bukan hanya memilikiku, tapi ... menaklukkan.

Menikah dengan Arya itu sama saja dengan menyerah pada takdir. Aku bakal menjadi emak-emak darmawanita yang memakai seragam bagus dan memamekan tas branded atau mobil cicilan. Bukan. Bukan hidup begitu yang kumau.

Aku ingin pergi ke tempat yang jauh, melakukan hal yang nggak pernah dilakukan orang lain di keluargaku, menghadapi hidup yang nggak terduga, dan percintaan yang intens. Hidup yang penuh gairah. 

"Itu makanya hidup lo penuh drama, Kaleng Sarden!" kata Karin saat mendengar penuturanku pada suatu malam hening yang dinodai tawa ngakaknya.

Harusnya aku benar-benar ingat apa kata Ibu kalau sekecil apapun harapan yang ada di kepala adalah semacam doa. Seharusnya memang manusia harus berhati-hati dalam membuat harapan. Manusia di sini maksudnya aku, sih.

Kejutan datang pas hari pertama aku masuk kuliah. Setelah ngobrol sama Drey sambil jalan ke kelas pertama, aku duduk di bangku pertama yang kulihat, dan meletakkan HP di meja. Dengan gemas, kupandangi foto Drey yang ada di HP. (Dia kirimi aku foto-foto lucu yang bikin aku pengin jerit-jerit)

Tiba-tiba, Putri, teman sekelasku yang entah datang dari belahan dada mana menyambar HP-ku dan menjerit girang. "INI KAN DREY! ASTAGA, LO DAPAT FOTO INI DARI MANA? DAMN, HE'S SO CUTE. KIRIM KE HP GUE! KIRIM!!!"

Tapi, aku bukan cewek dongo yang mau berbagi foto cowokku sama cewek lain, kan?

"Enak aja! Mampus dulu lo baru gue kirim fotonya," kataku sambil mengambil lagi HP-ku. "Apa sih lo dateng-dateng main samber aja."

"Eh, lo pelit banget, sih."

"Apa, sih?" Titi yang memang suka kepo ikutan mendekat. Di belakangnya ada Nia yang memang selalu mengekor ke mana-mana. "Kenapa sama HP Ana?"

"ADA DREY. KRISNA DREYFUS." Putri menjerit lagi. Kali ini dia tambah adegan nutup muka biar lebih drama. "Fotonya cute banget. Tapi dia nggak mau bagi ke gue."

"Eh, HP lo bagus banget. Lo dapet kerja di mana? Bayar kuliah aja pakai beasiswa kok bisa beli HP kayak gitu?"

Boleh nggak kubilang kalau HP ini dikasih sama Drey?

"Urusan lo tuh apa, sih?" tanyaku dengan tampang kesal. "HP gue. Mau boleh nipu orang, mau boleh nyolong urusan sama lo tuh apa?"

"Songong banget sih baru punya HP ini. Lihat dong foto Drey-nya. Gue juga suka sama tu cowok. Gue stalkingin Twitter sama IG dia. Lihaaaatttt... Sebentar doang."

Dikelilingi tiga cewek dengan muka memelas bikin aku nggak tega juga. Akhirnya aku buka foto Drey dari galeri. Mereka pun menjerit semua. Heran, kok bisa kompak gitu ya jeritannya?

"GILA, GUE MAU BANGET DIAPA-APAIN SAMA DIA. SEMALEM JUGA GUE RELA. NGGAK MANDI SETAHUN DEH GUE." kata Putri girang.

"Eh, lo tahu nggak gosipnya Drey mau nikah, loh."

"NIKAH?!" Sekarang aku yang menjerit.

"Eh, lo ini fans tapi kok nggak tahu gosip, sih?" Titi mencibir. "Drey itu katanya lagi pacaran sama Sienna Shelby." Titi menunggu reaksiku. "Lo nggak kenal? Gila, cupu parah lo! Sienna Shelby itu artis yang main film Rocket Mania bareng sama Adipati Dolken. Lo nggak kenal lagi? Sial, parah gue kudu jelasin ke elo. Pokoknya ntar lo googling deh. Sienna Shelby itu cakep banget. Buat gue sih pantes banget kalau mereka jadian."

Putri menepuk bahu Titi lumayan keras. "Eh, bibir lo jangan bikin gue patah hati, dong. Mereka cuma gosip doang. Bokap Sienna kan mau naik jadi presiden tahun depan. Gosip kayak gini kan bisa bikin fans Drey ikutan milih bokapnya juga. Gue sih nggak percaya banget sama gosip ini."

Titi mengangkat bahu. "Gue sih percaya. Kan udah pernah mereka ketangkapan sama kamera jalan bareng pas awal tahun kemarin. Katanya sih tahun baruan di Paris gitu. Ngapain coba berduaan ke Paris? Gue sih kalau berduaan sama cowok secakep Drey bakalan ena-ena aja kerjaannya."

"Sini HP gue," kataku pelan. "Gue nggak pernah nonton TV kecuali kartun. Gue juga nggak percaya tahayul. Gue ... gue juga nggak nge-fans sama Drey, kok." Kebohongan manis ini menutup pembicaraan pagi itu.

Seluruh tubuhku gemetar. Aku tersenyum kaku sama mereka semua dan pindah ke bangku paling belakang, mati-matian berpikir untuk menelepon Drey atau nggak. Setelah mengetik beberapa kata di WA, kuhapus lagi. Kuketik lagi, terus kuhapus lagi. Begitu terus sampai dosen (entah siapa) keluar kelas. 

Jangan konyol, Ana!

Itu cuma gosip dan memang hanya gosip. Bisa jadi mereka memang pernah punya hubungan semalam dulu. Itu dulu ... jauh sebelum ketemu kamu. Eh, salah. Awal tahun. Berarti saat Drey memutuskan untuk meninggalkan aku. 

Ah, mungkin dia mencari pelarian. Dia mencari pelampiasan lain. Terus si Artis itu cari-cari sensasi seperti kata si Putri tadi. Bisa jadi dia butuh nama besar Drey sebagai dongkrak popularitas. ArKuB kan selalu gitu (Artis Kurang Beken). Nggak masalah buat mereka untuk numpang di ketenaran orang lain. Pasang foto Drey sekali dua kali di IG juga bakalan bikin namanya naik, kan?

Ya, pasti cuma gitu ceritanya. The end. Drey is mine. I'm his only one and he is my only man. The end of story.

Mungkinkah?

***

Ada yang mau gombalin saya nggak, sih?

Huhuhuhu...

Penasaran bagaimana kabar Drey sebenarnya?

hehehe...

Sabar ya... besok saya akan lanjutkan lagi. Hari ini saya dapat kiriman buku-buku keren dari subetty buat teman PMS. hahaha... Thank you very much for you kindness, Sist. I really need mood booster this time. *kiss and hug

Terima kasih sudah membaca cerita ini. Jangan lupa untuk meninggalkan vote dan comment untuk cerita ini. 

Love and kiss,

Honey Dee

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro