What Do You Want?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sebenarnya, aku mau lari naik angkot atau ojek yang ada di pengkolan depan aja. Etapi si Karin duluan ngejar dan nyeret aku ke mobilnya.

"Lo nggak usah kayak film India gitu ngapa sih?"

Di dekat mobil Karin, Tundra sudah berdiri. Ekspresinya antara bingung dan khawatir.

"Lo yang bawa," kata Karin sambil melempar kunci yang ditangkap dengan pas sama Tundra. Dengan sigap, Tundra masuk dan menyalakan mobil (jangan heran. Tundra dari SMP sudah jadi kernet angkotnya ayah. Kadang dia disuruh Ayah bawa angkot kalau nggak ada polisi.) Sementara Karin ngelempar aku ke jok belakang. Ya, beneran dilempar. Persis banget kayak pas aku diculik sama orang suruhannya Drey itu.

"Kasar banget lo!" bentakku tajam.

"Lo kalau nggak dikasarin nggak bakalan ngerti, sih."

"Ngerti apaan?"

"Ngapain lo kabur gitu segala?"

Iya ya. Ngapain aku kabur? Karena nggak mau lihat mukanya Drey? Karena takut ketemu Drey? Karena takut dibalas siram pakai air mendidih sama Drey? Semua jawabannya iya. Meskioun sebenarnya jawaban paling jujur adalah aku malu pada diri sendiri karena ucapan Drey benar. Bukan bagian dia punya segalanya, tapi bagian jilat ludah sendiri.

Aku merasa bodoh dan--aduh apa sih yang ada di bawahnya tolol?--Moron(?) Pokoknya aku merasa nggak beres banget. Harusnya nggak begini. Harusnya memang aku nggak usah keganjenan dan kegatelan stalking Drey segala. Seharusnya aku nggak sekatro itu. Pastilah dia tahu kalau aku habis nge-love in foto-foto IG-nya. Pastilah dia mikir buat apa aku stalking gitu.

"Gue kudu gimana, Kar?" Air mataku sudah tumpah. Sekali lagi perasaan bercampur aduk nggak keruan. Setiap ketemu Drey pasti aku jadi merasa kacau begini. Astaga!

Alih-alih jawab, Karin malah ngeluarin HP dan masang google map ke suatu tempat. "Andra, ikutin ini, ya," katanya sambil mengulurkan HP. Tundra yang diam aja dari tadi menuruti keinginan Karin tanpa ngomong apa-apa. Aku tahu sebenarnya Tundra mau tanya banyak. Dia cuma tahu saat nggak pas buat memotong pembicaraan. Dia biasanya bakalan nunggu sampai semau tenang baru ngungkapin apa yang dipikirkannya.

Karin menyodorkan air mineral. Dengan rakus kuteguk isi botol plastik itu sampai tinggal setengah. Sekalipun botol itu agak hangat karena seharian ada di dalam mobil, aku nggak peduli. Mau sehat atau nggak sehat, aku juga nggak peduli. Otakku memang lagi nggak sehat sekarang.

Tundra berbelok ke gang sempit dengan hati-hati, tapi cepat. Sebentar kemudian mobil sudah masuk ke bangunan yang sepertinya ditinggalkan. Mobil berputar di jalan kecil. Ini bangunan untuk lahan parkir yang sudah lama nggak dilanjutkan pembangunannya. Bangunan kecil ini tinggi sekali. Aku sampai hampir mual melihat mobil terus berputar.

"Setan mana sih yang ngerancang bangunan kayak gini?" gerutu Karin yang kelihatannya juga sudah mulai pusing.

"Lah, kan lo yang nyuruh ke sini." Tundra hampir tertawa.

"Iya, sih. Ini tempatnya bagus. Tapi jalanannya aja yang parah gini."

"Beauty requires sacrifices, My Lady," jawab Tundra sambil tertawa. Kayaknya dia juga mua muntah, soalnya dia hampir nggak lihat jalan di depannya. "Tempat ini seharusnya ada lift-nya. Cuman pemborongnya keburu bunuh diri gara-gara utang."

"Ada setannya, dong?" tanya Karin dengan suara genit.

"Ada. Lo setannya," kataku, nyaris memekik.

Karin cuma memicingkan mata aja, nggak balas omonganku. Sebentar kemudian dia tersenyum dan mendekatkan kepalanya ke kepala Tundra. "Nanti kita berhenti di rooftop, ya. Kalau nggak salah udah ada jalan sampai ke sana, kan?" Suaranya lembut banget, bikin pengin buka pintu terus nendang dia keluar mobil.

"Oke," jawab tundra singkat. Dari senyum cowok polos itu, bisa kuduga kalau dai deg-degan juga sama Karin. 

Apa Drey juga berpikiran begitu pas dengar suaraku? Argh! Kenapa aku malah mikirin Drey?

Nggak lama mobil sudah sampai di rooftop yang dimaksud Karin. Lantai dua puluh gedung setengah jadi yang katanya berhantu ini memang gelap sekali. Nggak ada lampu dan nggak ada manusia waras yang mau main di tempat ini. 

"Yuk," ajak karin sambil membuka pintu.

"Ngapain?" desisku ngeri. 

"Biar lo bisa lompat turun dan mati dengan bebas," jawabnya yang dibalas dengan tawa ngakaknya Tundra.

"Ana tuh jatuh dari sepeda aja nangisnya dua hari. Kalau sampai jatuh dari gedung ini nangisnya bisa sepuluh tahun."

"Abangku sayang yang otaknya separoh kurang, kalau gue jatuh dari sini yang ada ya mati, Bang."

Kubanting pintu mobil keras-keras setelah keluar.

Udara di atas sini luar biasa. Rasanya segar sekali, jauh berbeda dengan udara Jakarta yang pengap dan panas. Angin bertiup kencang. Aku sampai haru mengikat rambut dengan kencang biar nggak berantakan. Berbeda sih sama Karin yang sepertinya menikmati angin yang bikin rambut pirangnya berantakan.

"Gue sering ke sini kalau lagi sepet sama dunia," kata Karin setengah teriak untuk mengimbangi angin deras yang menerpa wajahnya.

"Lo? Sepet sama dunia? Gue kira lo santai aja selama ini." Tundra berdiri di dekatnya. Duh, mending Tundra diem deh. Kalau salah ngomong bisa langsung ditendang karin ke bawah.

"Nggak ada manusia yang dikasih hidup sempurna, Ndra. Sampai mati kita bakalan terus dikasih masalah."

"Kenapa?"

"Biar kita tahu kalau kita masih hidup," jawab Karin sambil memeluk tubuhnya sendiri. "Kalau lo sudah nggak ada masalah dan damai, berarti lo sudah mati."

"Make sense." Tundra bersedekap juga. "Terus, apa hubungannya cowok bule tadi dengan semua masalah kalian?" Tundra menoleh kepadaku dengan ekspresi yang nggak bisa dibantah. Daripada dapat masalah, aku nurut aja mendekat ke dia. Aku memang harus menjelaskan semua, kan?

Karin menutup mulutnya rapat-rapat. Sudah jelas kalau aku yang harus menjelaskan semua ke Tundra.

"Dia itu Krisna Dreyfus, Bang. Dia CEO Clover Bank. Gue kenal dia gara-gara Karin." Aku menunjuk Karin dengan memonyongkan bibir. "Sejak pertemuan pertama dia itu ngeselin banget, Bang. Jadi gue ikat dia di mobilnya. Pertemuan kedua gue diculik sama orang suruhannya."

"DICULIK?!"

Aku mengangguk. 

"Gilak! Kayak di film gitu?"

Aku menggeleng cepat. "Sama sekali nggak kayak film, Bang. Gue babak belur. Terus pas balik ternyata Drey sudah ada di dalam kamar sama Karin. Gue tusuk aja dia pakai piso."

"TUSUK?!"

Aku menghela napas panjang dan mengangguk. Karin menyodori Tundra videoku dan Drey di HP-nya. Setelah nonton video itu sampai habis, Tundra ngakak.

"Sumpah kalau lo bukan adek gue, udah yakin banget gue kalau ini settingan. Gila, kalian kayak di film-fim gitu."

"Sial lo, Bang," kataku sambil mendorong bahunya. Karin mengikik.

"Terus, gimana sebenarnya perasaan lo sama dia?" tanya Tundra sambil mengembalikan HP Karin.

Aku menunduk, memperhatikan sepatu kets butut yang masih enak banget dipakai. Aku nggak berani menatap Tundra atau jawab pertanyaannya. Aku sendiri nggak ngerti gimana perasaanku sendiri.

"Kalau gue lihat, dia pengin deket sama lo," jawab Tundra pelan.

"Mulut dia kayak gitu, Ndra," rengekku gemas.

"Ya, itu gara-gara Karin, sih. Karin desak dia. Sori, kar. Tapi lo emang keterlaluan tadi. Gue ngerti kalau lo emosi, tapi itu keterlaluan. Ana, cowok itu pada dasarnya nggak mau di bawah. Cowok itu punya ego tinggi banget, apalagi cowok kayak dia. Lo lihat aja begitu di amasuk kafe, cewek-cewek pada kehipnotis, tapi dia nggak noleh ke yang lain. Dia nyariin lo. Seistimewa itu lo di mata dia?"

Tundra merangkul bahuku. "Kalau habis lo siksa tapi dia tetap mau balik lagi, cuma ada dua kemungkinan dia mau balas dendam atau dia beneran jatuh cinta sama lo."

"Apa cowok kayak gitu bisa jatuh cinta?" tanyaku pelan.

"Lo nggak percaya kalau manusia bisa berubah?"

Aku nggak jawab karena aku memang nggak tahu jawabannya. Aku cuma berusaha bernapas dengan baik soalnya dadaku terasa panas banget. Dadaku terasa kering. Aku butuh lebih dari sekedar air minum. Aku butuh lebih dari sekedar sesuatu yang bikin tenggorokanku segar.

"Ana, gimana kalau dia datang lagi?" tanya Tundra pelan.

"Nggak tahu, Bang. Gue nggak bisa mikir." Air mataku jatuh lagi. rasanya dingin sekali kena angin.

"Jangan gegabah, Ana. Gue ngerti banget rasanya cowok sakit hati itu gimana. Thank's, Kar."

Ngapain Tundra bilang makasih sama ke Karin? Aku menoleh. Ternyata Karin mengusap punggung Tundra. Kucubit telunjuknya sampai dia mendesis kesakitan. Tapi, nggak kapok juga tu anak. Dia mengusap bahu Tundra dengan lembut sambil bilang, "gue ada di sini kok, Ndra. Gue yakin lo bisa segera move on."

Tundra cuma tersenyum simpul. Terus, kami bertiga diam. Nggak tahu berapa lama kami bertiga diam begini. Kami biarkan suara malam Jakarta menghibur tontonan kami malam ini. Kami nonton awan yang mencoba menutupi bintang. Kalau angin berhenti bertiup pagi nanti, mungkin besok bakalan hujan.

Ah, siapa peduli! Hatiku lebih dulu hujan sekarang. Bolehkah aku minta kematina, Tuhan? Ujian ini kok rasanya berat sekali. Kalau memang benar kematian itu sedamai ucapan Karin, bukankah lebih baik mati?

Kami baru beranjak pas karin sudah mulai sendawa. Daripada dia masuk angin, lebih baik kami langsung pulang daripada harus melihat Karin muntah di sini. Anak itu kalau muntah nggak bakalan berhenti sampai ususnya ikut keluar.

"Makan di mana?" tanya Tundra sambil melihatku di spion. Karin duduk di depan demi bisa menjalankan niat busuknya mendekati Tundra.

"Terserah aja sih, Ndra," jawab Karin dengan suara dibuat-buat.

"Gue pengin ngunyah sandal kalau denger cewek bilang 'terserah'. Sudah cukup deh kemarin gue jungkir balik buat ngertiin bahasa absurd cewek. Lo jangan nambah-nambahin lagi."

Karin ngikik geli (sumpah ini dibuat-buat banget). "Soalnya cewek tuh bingung. Dia pengin nyebut nama tempat makan, tapi takut cowoknya nggak mau. Daripada nggak jadi dinner, kan lebih baik nurut apa kata cowoknya aja."

"Oke. Kalau gitu kita makan di fast food dekat sana aja, ya? Ini sudah jam sepuluh. Cuma fast food 24 jam yang masih buka. Lo setuju, Ana?"

"Ana sih nggak usah ditanya. Dikasih beling juga bakalan mau," jawab Karin sambil ngikik jijay lagi.

Kami semua memilih diam, entar karena sama-sama kelaparan atau sibuk sama pikiran kami sendiri. Cuma suara radio yang lagi muter lagu bule zaman lama banget yang penyanyinya aja sudah pada meninggal semua.

Tundra parkir mobil di depan resto fast food yang jarang banget kukunjungi. Bukannya apa, ini resto harganya seharga dua kali makan tapi sajiannya cuma ayam sama nasi doang. Gizinya didapat dari mana? Cuman, di tengah kelaparan yang melanda dan tasku juga ketinggalan di Simply Breeze, aku nggak niat nawar deh.

Baru melewati pintu kaca, Karin sudah memekik tertahan. Dia mencengkeram lengan baju Tundra sampai Tundra meringis, "apa, sih?"

"Cowok gue," desis Karin. hampir aja aku tanya 'cowok yang mana lagi?' tapi melihat akting Karin yang teraniaya gitu aku jadi males.

"Gue nggak nyangka ternyata dia jalan sama cewek lain. Pantesan berapa hari ini nggak bisa dihubungi," bisik karin dengan suara yang sedih banget.

"Yang mana sih?"

"Yang itu, yang pakai topi kupluk kayak tukang jaga vila gitu." Karin menunjuk cowok yang lagi berduaan sama cewek di meja pojok. "Gue mau nyamperin," ucap karin sambil menggenggam tangan Tundra dan menyeretnya ke meja tersangka.

Cowok yang dituduh itu mendelik kaget lihat Karin. "Eh, lo. Ngapain di sini?" tanya cowok itu dengan nada nggak berdosa.

"LO berani banget khianatin gue? Lo mustinya punya otak dong, Kecebong parit. Kalau lo emang sudah nggak suka lagi sama gue, ya udah nggak usah begini caranya."

"Mak-maksud lo?" tanya cowok itu dengan suara terbata. 

"Oke. Kalau gitu, kita putus," ucap Karin tanpa perasaan. Jelaslah cowok nggak berdosa itu jadi bingung, apalagi cewek di sebelahnya mulau emosi dan beranjak pergi ninggalin dia. Tu cowok sempat berdiri sebentar, mungkin dia bingung mau ngelempar Karin pakai kursi atau guling-guling di lantai. Akhirnya, dengan cerdas tu cowok lari ngejar ceweknya. 

Karin memeluk Tundra sambil (seolah-olah) nangis. Aku? Daripada aku ikutan mereka jadi sinting gitu, mending aku ke kasir dan pesan makanan. Lumayan kalau karin selesai makan nanti aku sudah kenyang. Aku melambai ke Tundra sebentar untuk minta dibayarin. Cuma HP yang nempel di kantong celanaku. Semua harta rongsokanku ada di dalam tas.

Malam ini, aku tahu banget rasanya jadi obat nyamuk. Karin curhat mati-matian ke Tundra tentang perasaan sedihnya dan Tundra yang juga baru patah hati ngerasa satu gelombang sama Karin. Kumanfaatkan suasana ini buat nyomotin makanan mereka. Ayam Tundra sudah tinggal dagingnya doang karena kulitnya sudah kuhabiskan, begitu juga dengan ayam Karin.

Pengin banget aku bilang ke Tundra kalau cowok kayak gitu mah rentengan doang buat Karin. Dia bisa nemu cowok baru dan ngelepasin cowok itu dalam sejam. Bohong banget kalau dia sampai sakit hati gitu sama cowok. 

Sampai pas Karin ngantar kami pulang, Tundra masih menggenggam tangan Karin sambil menitipkan pesan untuk semangat dan tetap kuat. Gini nih katanya, "kamu nggak harus bisa melupakan dia, kok. Nanti kamu bakalan tahu kalau dia cuma bagian dari masa lalu yang bertugas memberi pelajaran untuk mendewasakanmu."

Oke, aku pengin muntah seember.

Sampai pagi, Tundra jadi senyum-senyum sendiri. Dia langsung masuk kamar dan senyum lebar pas ngelihat mukaku. Karin juga sibuk banget miskolin aku sampai pagi. Aku tahu karena aku juga sama dengan mereka, nggak tidur sampai pagi. Yang kulakukan cuma mandangin HP, berharap sesuatu yang ajaib muncul di HP itu. Sampai pas dini hari, aku sudah mulai ngantuk, HP di tangaku bunyi. WA. Drey. Drey? Kapan aku nyimpan nomor Drey? Kenapa nomornya sudah ada di HP-ku?

ASTAGA! ASTAGA!

Drey WA aku?

Gimana ini? Aku harus gimana?

Kulempar HP ke bawah bantal. Aman. Nggak akan ada yang lihat HP itu. Sekarang jam tiga. Normalnya aku sudah tidur. Ya, benar. Aku sekarang tidur. Drey yang masih bangun. Wait, Drey masih bangun? Apa dia sama dengan aku? Apa dia juga nggak bisa tidur? Apa semalam ini dia juga memikirkan aku?

Kayaknya, aku sudah gila. Sambil berbaring di tempat tidur, aku melihat layar HP yang nunjukin notifikasi WA sambil bilang, "apa kamu juga memikirkan aku, Drey?"

Aku sadar pas ngomong gitu. Aku sadar sampai pagi aku masih tersenyum. Aku bahkan terus tersenyum pas Karin jemput kami. Aku tersenyum melihat Karin yang tiba-tiba dandan ala little missy pakai rom kembang-kembang dan menunduk rendah banget ke Ibu. Aku cuma menjawab dengan senyum pas Ibu tanya siapa Karin. Aku tersenyum pas Tundra masuk mobil Karin dengan wajah merah. Aku tersenyum sama Pak Polisi yang merazia kami. Aku tersenyum sama semuanya.

"Adek lo sinting?" 

"Udah dari lahir sih kayak gitu. Kok lo baru tahu?"

"Gue tahu sudah lama, sih. Tapi, ini yang paling parah." Karin melempar sebungkus ciki yang belum dibuka kepadaku. "Sadar woi. Kunyah tuh bungkus ciki. Siapa tahu bisa sembuh." Tundra terbahak mendengar omongan Karin.

"Makasih, Kar," jawabku asal.

"Lo disantet Drey, Ana? Coba sini lihat siapa tahu bentar lagi lo muntah paku." Karin berusaha meraih kepalaku. Tentu saja aku menghindar dong ya sekalipun pikiran tentang santetnya Drey itu bikin ngeri banget. Apa bisa santet masuk lewat WA?

"Sebenarnya ..." Setelah menarik napas panjang, lalu kuulurkan HP ke dia. "Drey sudah kirim WA."

Karin melongo melihat layar HP-ku. "Kenapa nggak lo buka, Serabi basi?!"

Aku mengangkat bahu. "Kalau gue buka, dia tahu dong gue baca WA dia."

"Terus lo nyiksa diri dengan nyimpen semua  pikiran buruk sementara dia udah WA lo gitu? Heran gue orang secerdas lo bisa-bisanya punya pikiran cetek gitu?"

Tanpa izin lagi, Karin sudah menekan chat Drey di layar WA-ku. Kepala kami sampai bertubrukan saat berebut membaca isi WA Drey.

♡♡♡

yaaayyy...

Setelah turun ke peringkat 99 lalu 75 lagi, hari ini Filthy Shade of Drey naik lagi ke peringkat 68. Saya bahagiaaa... hehehe...

Terus bantu ya teman-teman biar saya tambah semangat nerusin ceritanya.

Terima kasih banyak atas perhatian dan kebaikan teman-teman semua. *kecup kecup jauh

Eh ya...

Pada penasaran ama Tundra?
Mau saya buatkan satu part khusus Tundra?

Salam sayang,

HONEY DEE

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro