Satu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ada yang masih nungguin notif cerita ini nggak ya?

"Entar jemput gue, ya," ucap Shylla saat aku menghentikan mobil di depan sebuah kafe.

"Ya," sahutku.

Bukan kafe mewah, tapi cukup ramai juga. Padahal kalau dilihat dari desainnya, sangat sederhana. Tidak ada yang menonjol. Bisnis kafe di Jakarta memang sangat ketat. Apalagi di musim pandemi yang entah kapan berakhir. Banyak usaha gulung tikar membuat yang lainnya mencari cara supaya terus bertahan.

Aku menarik napas panjang. Aku juga punya usaha kafe yang sedang merintis. Kalau begini situasinya, aku harus berpikir lebih keras untuk menyelamatkan kelangsungan hidup usahaku.

"Dirga! Lo ngelamun?" seru Shylla tepat di telingaku membuatku tak sengaja menekan klakson. Shylla tertawa sambal mengibaskan rambut.

Aku mendengus. Wanita ini kelakuannya sangat aneh dan tidak bisa bicara pelan-pelan. Kepalaku semakin sakit mendengar suaranya. Akan lebih baik jika dia segera turun dari mobil dan menjauh. Dengan begitu hidupku akan lebih tenang.

"Berisik lo. Pergi sana," decakku.

Shylla tersenyum miring sambil memukul lenganku. "Lihat aja entar lo bakal kangen sama keberisikan gue. Dah, ah. Gue males sama lo."

"Gue juga males."

Begitu Shylla menutup pintu, mobil langsung melaju. Kulirik dari kaca spion, wanita itu berkacak pinggang. Dari gerak bibir yang terlihat, tampaknya dia mengomel. Entahlah, aku tidak peduli. Kalau bukan atas dasar menjaga kehormatan orangtua, aku tidak akan berteman dengan Shylla. Semua ini hanya formalitas, hingga batas waktu berakhir.

Shylla : Lo nggak sopan banget. Awas, ya!

Aku tertawa. Wanita itu mengirim pesan dan tidak kubalas. Buat apa, lagi pula sekarang dia sedang bersenang-senang dengan pacarnya. Entahlah, pria yang ada di kafe itu pacar atau bukan, tapi yang pasti dia teman kencan Shylla malam ini.

"Sorry. Lo udah lama?" tanyaku ketika menghampiri seorang wanita yang duduk di sudut kafe milikku.

Aku memberikan berbagai tempat alternatif untuk bertemu, tapi dia mengusulkan di kafeku saja. Tidak masalah, hanya saja kupikir dia ingin tempat yang lebih privasi.

"Shylla lo tinggal lagi?"

"Biarin aja. Dia lagi pacaran. Lo udah pesen? Pesen aja sesuka lo, biar gue traktir. Sebagai tanda penebusan dosa gue."

"Nggak usah. Ini kafe lo, gue tamu di sini. Kalau lo traktir, entar lo rugi. Lagian lo sering traktir gue tiap kita meeting."

"Itu pakai duit perusahaan, Ya. Bukan duit gue."

"Ah, sama aja."

Dia tertawa kecil lantas memusatkan pandangan ke arah live music yang tengah tampil. Aku belum lama mengenalnya, sekitar tiga tahun sejak kami terlibat proyek dalam sebuah pekerjaan. Tidak ada yang istimewa hingga belakangan ini dia sering mengajakku mengobrol melalui pesan singkat. Tidak terlalu buruk. Setidaknya Teya sedikit lebih tenang daripada Shylla.

"Kayaknya gue nggak bisa lama-lama, Dir. Lusa gue ada dinas ke Palu. Bakal lama kayaknya sebulanan atau lebih," ucap Teya seraya meneguk minumannya hingga habis.

"Jauh banget. Klien apa di sana?" tanyaku sambil bertopang dagu, mengamati raut wajahnya.

"Tambang. Itu klien biasanya Prisha yang pegang. Setelah dia resign gue ambil alih sementara. Cewek-cewek di kantor gue pada gitu, ya. Abis nikah pasti resign. Di kantor lo gitu juga nggak?" Teya memasang maskernya kembali lantas menatapku.

Mataku mengedip untuk menutupi kecanggungan karena kedapatan memerhatikannya. Aku berdeham.

"Ada, tapi nggak banyak. Lo sendiri bakalan resign juga kalau udah nikah?"

"Nggak. Justru gue bakal lebih giat kerja. Nikah itu berarti kebutuhan makin banyak. Nggak ada yang tahu apa yang terjadi di depan. Gue nggak mau jadi wanita bego yang diperbudak perekonomian. Entar bakal gue kasih paham sama laki gue alasan kenapa wanita harus tetap kerja meskipun udah nikah. Yang jelas gue nggak akan berhenti di level manajer. Gue harus lebih dari itu." Teya berucap dengan sangat menggebu.

Seketika ponselku berdering. Membaca nama di layer membuatku mengabaikan. Aku menarik napas dalam-dalam saat ponselku enggan berhenti berbunyi.

"Angkat aja teleponnya. Kali aja penting. Shylla, ya?" tebak Teya, tertawa kecil.

Dia sudah hafal. Setiap kali ada panggilan telepon berulang yang muncul dari ponselku, bisa dipastikan berasal dari orang yang sama. Aku tahu Shylla tidak akan berhenti sampai panggilannya terjawab.

"Duluan ya, Dir. See you." Teya melambaikan tangan.

"Mau dianter nggak?" tawarku.

Teya menghentikan langkah. Memandangku sambil terkekeh. "Dianter? Tumben lo kepikiran anterin gue. Biasanya kagak pernah. Santai aja, gue ada mobil, kok. Nggak usah basa-basi khawatir sama gue. Dah, ya. Bye."

Setidaknya aku berusaha basa-basi daripada tidak sama sekali. Aku mengawasi gerakan setiap langkahnya. Membuatku penasaran, Teya sangat susah didekati meskipun dia yang pertama kali memulai. Aku tidak bisa melanjutkan penerawangan karena dering ponsel ini sangat mengganggu.

"Dirga jemput gue, dong. Cepetan."

Belum juga aku mengucapkan kalimat pembuka, Shylla sudah berteriak terlebih dahulu. Aku menjauhkan telepon genggam dari telinga untuk mengurangi gelombang ultrasonik yang mulai menjalar.

"Kenapa nggak minta anterin pacar lo? Ribet banget"

"Ish, gimana sih? Papa lagi otw ke kafe elo. Tadi gue bilang kalau kita lagi nonton. Kalau Papa tahu kita nggak barengan, entar dia pasti ngomel. Buruan deh, jemput gue sekarang."

"Lo bisa naik ojol aja, kan? Lagian lo durhaka banget bohongin orangtua."

"Dih, justru gue itu menyelamatkan lo dari malapetaka tahu. Soalnya Papa gue nggak sendirian, dia bareng Papa lo juga. Gue nggak ngerti deh konsep orang-orang tua itu kayak apa. Demen banget bikin-bikin acara. Dulunya mantan panitia hajatan kali, ya? Eh, lo udah jalan belum, sih? Buruan."

Baru sebentar aku merasakan ketenangan hidup, dalam sekejap harus mengalami sakit kepala berkelanjutan.

"Iya, iya. Tunggu. Berisik," decakku.

Meskipun dalam hati mengumpat, tetap saja aku menuruti keinginan Shylla. Sangat menyusahkan.









09042022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro