🦋Confuse= 9 🦋

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari-hari berikutnya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Ada yang hilang, biasanya Arlanta akan berdiri di depan rumah Ruminten. Mereka tetanggaan, itulah yang buat mereka sering jalan ke sekolah bersama-sama.

Namun, Arlanta dan Ruminten tidak bertegur sapa untuk beberapa hari ini. Ini sudah hari ketiga mereka berdiam diri seperti itu. Tidak, bukan karena ada masalah. Arlanta masih belum mengetahui soal kedekatan Ruminten dengan Azka. Dia hanya disibukkan oleh kegiatan OSIS. Sementara Ruminten, dia menyibukkan diri dengan belajar. Padahal biasanya cewek itu tidak terlalu suka belajar.

Seisi kelas dibuat bingung, biasanya dua orang itu pasti heboh dan saling bercanda tawa. Sekarang kelas jadi sepi karena mereka yang jarang bersama itu. Namun, tidak semua menanggapi hal itu dengan kebingungan, ada juga yang bahagia karena bisa mendekati Arlanta dengan bebas tanpa ada cewek di sebelahnya. Namun, Arlanta tetaplah Arlanta yang cuek dan dingin. Dia tidak begitu merespon cewek lain dengan hangat, secukupnya saja. 

Dia hanya tidak ingin kalau ditanggapi dengan baik, nanti malah membuat lawan bicaranya jadi terbawa perasaan dan berpikir dia memiliki perasaan lebih padanya. Hanya ada satu yang ditunggunya, hanya satu orang cewek yang masih ada di hatinya. Orang yang tidak peka dan memilih menyibukkan diri sendiri. Yah, dia juga sama aja sih.

Azka mendekati Arlanta yang lagi sibuk memperhatikan berkas-berkas di ruang OSIS. Mereka berdua sama-sama masuk ke organisasi ini. Ada tugas yang diberikan oleh ketua OSIS mereka, jadi mereka berdua memersiapkan apa yang diminta. Akan ada event yang diadakan oleh mereka, itulah yang membuat Arlanta jadi lebih sibuk sekarang.

"Ar, lo jadi pendiem." Azka duduk di kursi yang terletak di sebelah Arlanta.

Arlanta masih fokus dengan lembar di hadapannya, lalu melirik Azka sekilas.

"Gue orangnya emang pendiam kali."

"Iya, tapi ini lebih pendiem lagi. Lo kenapa?"

"Nggak kenapa-kenapa. Biasa aja."

Azka semakin tidak tenang. Arlanta benar-benar terlihat berbeda semenjak hari itu. Ada perasaan bersalah yang hinggap di relung hatinya. Dia terus mempertanyakan apakah tidak seharusnya dia mendekati Ruminten. Entahlah, dia jadi kurang istirahat karena banyak pikiran.

"Lo kalau mau nemuin cewek lo, pergi aja. Ini udah mau selesai, kok. Tinggal gue kasih ke ketuanya aja."

"Cewek? Sejak kapan gue punya cewek?"

Arlanta tersenyum tipis. "Orang yang lo bilang cantik kapan hari itu lho. Gebetan atau apalah itu namanya, sana temuin."

"Oh dia." Azka tersenyum, wajahnya bersemu merah. Entahlah, setiap mengingat wajah Ruminten selalu saja membuatnya tersipu malu. Padahal dia susah untuk jatuh hati dengan cewek lain. Namun, kenapa dengan Ruminten jadi berbeda?

"Tuh kan. Dah, sana pergi. Gue jadi terlihat jomblo ngenes gini."

Arlanta langsung membereskan kertas-kertas di hadapannya lalu berdiri. Dia sudah selesai dengan tugasnya. 

"Gue udah kelar. Lo kelamaan mikir. Dua hari lagi kita bakal adain acaranya. Lo nggak lupa kita ada pentas, kan?"

"Nggak lupa. Gue belum pikun ye, mohon maaf."

Mereka tertawa lalu keluar dari ruangan itu. "Gue mau ke ketua dulu nih. Lo mau langsung ke kelas apa gimana?"

"Gue duluan aja, deh. Gue menangkap sinyal adanya panggilan alam nih. Sorry ya bro."

Azka langsung kabur duluan, meninggalkan Arlanta yang tertawa. Melihat teman yang sengsara itu cukup menyenangkan ternyata. Hari ini perasaannya begitu tenang, namun tidak dapat dipungkiri ada yang hilang. Harinya tidak seasik biasanya, mungkin karena dia tidak sempat bermain dengan Ruminten.

Cowok itu menengok ke sekelilingnya, mencari keberadaan cewek itu. Namun, dia tidak menemukan sosoknya. Lalu, menghela napas lagi.

"Tumben, biasanya dia udah nongkrong di depan ruangan. Nungguin gue atau ada urusan lain. Biasanya juga ngadem di ruangan pas ada gue di dalem. Aneh sih," gumamnya pelan.

"Ya udah sih, hidup juga hidup dia. Kenapa gue yang sewot?" lanjutnya lagi.

Perasaannya jauh lebih tenang sekarang. Dia kembali disadarkan bahwa bukan porsinya dia untuk mengatur hidup orang lain, termasuk Ruminten. Meskipun mereka sudah dekat sejak masih janin. Namun, semuanya itu tetap hak penuh masing-masing orang. 

Dia hanya perlu saling menghargai dan menghormati. Lagipula, mereka cuman teman. Jadi, dia harus menahan dan mengendalikan diri sebaik mungkin.

Arlanta segera melangkah mencari Alea, ketua OSISnya. Berkas ini mau ditunjukkan padanya. Dia sebagai ketua di divisi acara, semua rundown sudah dipersiapkan oleh tim acara, tinggal membahas gladi kotor dan gladi bersih dan menunggu hari H. 

Setelah melewati gunung dan lembah, maksudnya setelah melewati lorong untuk mencapai kelasnya Alea, akhirnya dia sampai juga di sana. Cewek itu terlihat asik mengobrol dengan dua orang yang tidak asing baginya.

"Le, ini berkasnya. Udah lengkap sih yang lo minta udah gue siapin. Kalau ada yang kurang kabarin aja. Namanya manusia bisa ada salah juga. Gue cabut."

"Eh, bentar woy. Basa-basi bentar napa?" potong Audrey.

"Gue nggak bicara sama lo sih, Drey."

Mendengar itu membuat Alea dan Gabriela menggeleng heran. Mereka sudah paham dengan tingkah laku Arlanta yang sering kelewat dingin. Namun, kalau cowok itu lagi bersama Ruminten, dia tidak sedingin itu. Bahkan, dia tersenyum. Hal itulah yang membuat beberapa orang iri melihat Ruminten. 

"Oke, nanti gue kabarin lagi. Makasih ya, Ar."

Arlanta mengangguk lalu menatap Gabriela dan Audrey sekilas sebelum akhirnya berbalik, meninggalkan ruang kelas.

"Lo nggak tahu kalau cewek yang lo bilang baik itu ternyata bermain di belakang lo."

Ucapan pelan keluar dari bibir Gabriela. Pelan, namun masih bisa terdengar oleh Arlanta. Cowok itu terus berjalan. Namun, pikirannya masih memikirkan hal tadi. Entah dia yang terlalu kepedean atau bagaimana, tapi hatinya mulai tidak tenang.

Cowok itu memang terlihat tenang dari luar, tetapi di dalam hatinya bergemuruh. Hanya dia dan Tuhan yang tahu apa yang dirasakannya. Berulangkali dia menghela napas, lalu mengusap wajahnya.

"Gue pengen beli es teh manis, deh. Panas banget."

Tidak hanya cuaca yang panas, namun hatinya juga panas. Ah, pikirannya juga sama panasnya. Memikirkan sesuatu secara berlebihan memang tidak baik. Dia merutuki dirinya pelan, buat apa memikirkan sesuatu yang belum jelas? Hanya menciptakan kegelisahan saja.

"Wah, bener juga dugaan gue. Mau deket jam masuk kelas sekalipun pasti kantin masih ramai," gumamnya sambil tertawa pelan.

Cowok itu langsung melirik ke arah tempat jual teh kemasan kesukaannya. Setiap dia mengalami hal yang tidak enak sehingga kepalanya pusing, atau saat maaghnya kembali menyerang, pasti dia akan membeli teh hangat itu. Hal sederhana untuk mengembalikan semangatnya.

Arlanta baru saja tersenyum setelah meneguk minumannya. Namun, seulas senyuman itu menghilang tatkala melihat dua orang yang bersenda gurau di ujung kantin.

"Sejak kapan Ruminten dekat dengan Azka?"

-Bersambung- 

Jumkat 1030 kata

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro