13. Interogasi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sejak masuk ke kelas, Karrel sudah merasa tidak nyaman. Bagaimana tidak, Karrel ditatap tajam oleh tiga anak baru yang sialnya sangat cantik. Kalau ditatap dengan senyuman manis sih Karrel akan senang-senang saja. Tapi ini, jangankan memberikannya senyum, yang dia dapatkan justru pandangan menusuk dari Sandra, Razel dan Disti. Ketiga gadis itu melayangkan tatapan permusuhan. Apa yang salah? Dia tidak merasa pernah melakukan kesalahan pada ketiganya, kan. Boro-boro membuat masalah, saling berinteraksi saja tidak pernah.

Karrel mengenal ketiganya namun hanya sekedar kenal nama, mereka satu kelas namun jarang mengobrol dan itu yang membuat Karrel bingung karena sebelumnya mereka memang tidak pernah dekat, paling-paling hanya sekedar menyapa saat berpapasan. Karrel bukannya takut pada mereka, mau ditaruh mana wajahnya jika dia takut pada perempuan? Hanya saja Karrel merasa aneh, mengapa ketiganya seperti tengah menaruh rasa curiga pada dirinya?

Bel istirahat berbunyi, Karrel lekas beranjak meninggalkan kelas, untuk menghindari ketiga gadis itu. Namun, saat di depan pintu, Arin, sosok gadis yang Karrel tahu berasal dari kelas lain, menghalangi jalannya. Berdiri di depan pintu, menghadangnya.

"Kenapa? Ada masalah?" tanya Karrel, sebenarnya dia merinding melihat tatapan tajam Arin. Katakan saja dia merasa takut, sebab menurut Karrel gadis ini bukan gadis biasa. Dia hanya tahu bahwa Arin merupakan salah satu teman Disti, Razel dan Sandra.

"Karel Gavindra." Arin menyebut nama Karrel dengan lantang, lalu menatapnya penuh perhitungan.

Karrel sampai harus menahan napas karena panggilan lantang penuh intimidasi itu terasa membuat bulu kuduknya merinding.

Arin menyilagkan kedua tangannya di depan dada. "Boleh kita bicara sama lo?" Arin berbicara lembut dengan suara yang terdengar dingin di telinga. Ketiga temannya yang lain sudah berada di belakang Karrel.

"Bicara apa?" Karrel penasaran. Hal apa yang perlu mereka bicarakan? Tak biasanya genk Sandra mengajaknya bicara. "Selama ini kita enggak saling kenal, dan mengapa gue harus bicara sama kalian?" Karrel secara tak langsung menolak ajakan bicara Arin.

"Apa perlu mengenal dulu untuk bisa saling bicara?" Lisa yang baru datang menimpali. Dia tersenyum sinis, berdiri di samping Karrel bersama Arin, keduanya mulai menyeret Karrel.

"Hei, lepasin! Kalian mau bawa gue ke mana?" Karrel mencoba melepaskan diri, namun Lisa dan Arin terlalu kuat mencengkram kedua lengannya sehingga Karrel kesulitan melepaskan diri.

Di belakang, Disti, Razel, dan Sandra mendorong tubuh Karrel untuk berjalan cepat.

"Lo lelet amat jadi cowok," geram Disti mendorong punggung Karrel agar melangkah lebih cepat. Takut jika ada guru atau murid lain yang mencurigai. Sejauh ini sikap normal mereka tidak membuat sisa siswi yang melewati mereka tak menaruh curiga.

"Sebenarnya kalian mau bawa gue ke mana?" Karrel merasa tidak memiliki masalah apapun pada anak-anak baru ini.

"Nggak usah banyak tanya, nanti juga lo akan tahu."

Karrel tidak lagi bertanya. Dengan pasrah dia memilih mengikuti mereka. Dia berharap, semoga kelima gadis ini tidak melakukan sesuatu padanya.

"Duduk!" titah Sandra dengan nada tajam. Sehingga Karrel tak punya pilihan untuk menuruti perintah gadis itu.

Karrel duduk di kursi yang sudah terlihat sangat kotor itu. Dengan sigap, Razel dan Disti mengikat kedua tangan Karrel dengan tali yang mereka bawa. Sedangkan Lisa mengikat kedua kaki Karel.

"Gue nggak mau basa-basi, kemarin gue nemu ini di salah satu buku yang lo bawa." Sandra memperlihatkan kepingan teka-teki puzzle itu pada Karrel.

Dahi Karrel berkerut. "T-terus, urusannya sama gue apa?" Dia tampak tidak faham.

Razel menggeram. "Lo bego atau tolol? Lo yang bunuh orang tua kita 'kan?" Tangan Razel terangkat hendak menampar Karrel. Razel tipe orang yang tidak sabaran.

"Zel," tegur Arin. "Jangan emosi!" Razel mundur ke belakang membiarkan yang lain mengintrogasi Karrel.

"Rel, gue nggak mau basa-basi. Lo pasti tahu maksud kita dan lo pasti tahu sesuatu 'kan?" Kali ini suara Sandra lebih santai namun tidak dengan raut wajahnya.

"Sebelumnya gue minta maaf," ujar Karrel, laki-laki itu menarik napas dalam. "Gue nggak tahu masalah kalian sama gue itu apa? Gue bakal jelasin ke kalian tentang kejadian kemarin. Tapi tolong, lepasin tangan sama kaki gue dulu." Karel memohon. Tangan dan kakinya sakit karena diikat oleh kelima gadis itu.

Sandra menatap keempat sahabatnya, Arin mengangguk setuju, tapi Disti, Razel dan Lisa menggeleng, menolak permintaan Karrel.

"Nanti dia malah kabur," kata Disti. Razel dan Lisa mengangguk.

"G-gue janji nggak akan kabur." Karrel mana berani macam-macam pada kelima gadis itu. Yang ada dia akan dikejar, kalau sampai kabur.

"Sa, Zel. Buka ikatannya!" Lisa dan Razel mengangguk lalu membuka ikatan di tangan dan kaki Karrel.

Karrel akhirnya bernapas, lalu berdiri tegap merapikan seragam yang dikenakannya.

"Eits, lo tetap duduk!" Arin memegang kedua bahu Karrel untuk duduk. Ya Tuhan, Karel sebenarnya jijik duduk di bangku yang sangat kotor dan berdebu itu, tetapi apa boleh buat, ia tak bisa membantah. Bisa-bisa keluar dari sini nanti tinggal nama saja.

"Sekarang lo jelasin apa yang lo tahu!" Perintah Disti.

Karrel merogoh saku celananya seperti mencari sesuatu, lalu memberikannya pada Sandra.

"Dua hari yang lalu, setiap berangkat atau pulang sekolah, gue ngerasa ada orang yang ngikutin gue. Tapi gue nggak tahu dia siapa? Sampai kemarin, gue lagi bawa buku-buku buat dibawa ke perpustakaan, ada orang misterius yang ngasih buku dan kertas itu." Karrel menunjuk kertas yang tadi dia berikan pada Sandra. "Gue nggak tahu kalau buku yang dia kasih ke gue itu isinya potongan puzzle. Dan yang lebih bikin gue bingung, kenapa dia nguntit gue kalau cuma mau ngasih itu sama kalian?"

Mereka semua bungkam. Semakin kesini teka-teki ini semakin rumit, kenapa teman mereka harus disangkut pautkan dengan masalah yang tidak ada hubungan dengan mereka sama sekali. Karrel hanya mengenal Disti, Razel dan Sandra, karena mereka satu kelas. Dan kenapa harus Karrel, bahkan mereka sudah berusaha agar masalah ini tidak diketahui oleh siapapun, dan sekarang, masalah ini harus bocor walau hanya pada satu orang. Dan mereka takut jika Karel akan bocor.

"Apa ada lagi?" Lisa memastikan Karel menceritakan semuanya.

Karrel mengingat sesuatu. "Oh! Dia juga ngancam gue, kalau sampai kertas itu gak sampai ke tangan kalian, gue bakal dibunuh!"
Mereka semua beradu pandang, gara-gara masalah ini, teman mereka harus ikut campur dan terlibat. Padahal Karrel baru mengenal mereka satu bulan dan bahkan tidak sedekat itu.

"Rel, kita minta maaf." Tatapan Sandra berubah tak enak. "Gara-gara kita, lo jadi terlibat dengan masalah yang nggak ada hubungannya sama lo."

"Santai aja, gue juga gak diapa-apain kok sama dia." Karrel tersenyum tipis.

Razel maju selangkah lebih dekat. "Lo masih inget sama wajah orang itu?"

Karrel menggeleng. "Dia pakai masker. Tapi yang gue lihat, pupil matanya hazel terus alisnya tebal."

"Gue sebelumya nggak kenal sama lo," ucap Lisa menatap Karrel. "Tapi gue mohon. Lo jangan ceritain masalah ini ke siapapun," pinta Lisa dengan tatapan memohon.

"Gue janji enggak akan cerita ke siapa pun, gue bukan orang yang cepu kok," kata Karrel dengan senyum tipisnya. Pemuda itu tahu kalau kelima gadis itu bukan orang yang jahat, mungkin tadi mereka hanya salah paham saja terhadapnya.

"Setelah ini, gue pastiin lo nggak akan terlibat lagi," janji Arin dengan sungguh-sungguh.

"Nggak apa-apa, Arin." Karrel mengeja name tag Arin.

"Kalau kalian semua butuh bantuan gue, apapun itu, gue bersedia bantu kalian."

Kelima gadis itu serentak mengucapkan terima kasih pada Karrel. Mereka semakin penasaran, sebenarnya siapa yang mengirim teka-teki ini, semuanya semakin rumit dan itu membuat mereka sedikit kesulitan. Ternyata dugaan mereka salah, Karrel bukan pelaku, melainkan hanya perantara saja. Dan sekarang mereka harus melanjutkan teka-teki baru yang diberikan Karrel tadi.

######

Jumat, 15 Oktober 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro