Bukan Bulan Madu [3]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Inanna Grace

Rencana kepergian ke Florence cukup menyibukkan isi benakku. Aku sungguh antusias membayangkan akan segera menginjakkan kaki di salah satu kota impian yang belum sempat kudatangi seumur hidup. Karena itu, aku masih belum bicara dengan Papa soal rencanaku untuk berhenti kuliah.

Mungkin nanti, sepulang dari Florence. Meski sudah mendapat dukungan dari suamiku, aku belum sepenuhnya berani untuk bicara dengan Papa. Karena kemungkinan besar Papa akan merasa kecewa dengan keputusanku. Namun, untuk saat ini, aku tak mau terlalu memikirkan soal itu dulu. Aku tidak ingin merusak hari-hariku dengan kekhawatiran yang tak perlu. Bukankah orang bijak selalu bilang bahwa tak ada gunanya membuang energi dengan mencemaskan hal-hal yang tak bisa kita ubah?

Oleh sebab itu, aku lebih memilih untuk memamerkan rancangan perjalanan yang akan kulalui bersama Alistair di depan Zora, Milly, dan Uci. Mereka pasti akan menganggap berita itu sebagai kejutan yang mencengangkan. Seperti dugaanku, ketiganya tampak terkejut sekaligus iri. Aku merasa sangat puas karenanya. Ah, aku memang sangat kekanakan.

"Kenapa aku selalu menjadi orang yang terakhir tahu? Harusnya, aku sudah mendengar soal ini sebelum kamu bicara dengan Milly dan Uci. Kenapa sekarang posisi kami bertiga menjadi setara?" protes Zora. "Aku ini saudara kembarmu, Na! Andai kamu sudah lupa," ocehnya. Lalu, Zora mulai mengulangi pidato menjemukan tentang hubungan darah di antara kami yang membuatnya harus menempati posisi istimewa dalam hidupku.

Aku terkekeh geli. Meski setiap hari bicara di telepon dengan Zora, harus kuakui ada pergeseran dalam hubungan kami. Zora masih antusias bercerita tentang Winston, suatu hal di luar dugaan. Namun aku tidak bisa leluasa membahas tentang Alistair. Ada dinding transparan yang membatasi kami berdua meski aku tak bisa menjelaskannya dengan gamblang. Aku hanya tahu, itu saja.

"Jadi, ini semacam bulan madu untuk kalian berdua, ya? Ciee, yang katanya nggak ada acara bulan madu, ternyata oh ternyata," mata Milly berkedip jail. Wajahku sontak terasa hangat. Aku kembali mengingat malam-malam saat Alistair tertidur sambil memelukku. Peristiwa itu sudah berlalu beberapa hari tapi masih kuingat dengan sangat jernih.

"Kenapa semua perjalanan yang melibatkan orang yang baru menikah selalu dilihat sebagai bulan madu, sih?" tanyaku berusaha tak acuh. "Kan aku sudah bilang, Al lagi ada urusan pekerjaan di Florence. Dia mengajakku dan tentu saja aku nggak sebodoh itu untuk menolak. Aku kan memang pengin banget ke sana," ungkapku. Tentu saja ketiga gadis di depanku ini tahu pasti soal itu. Karena aku cukup sering membicarakan tentang Florence.

"Iya deh, iya, nggak bulan madu. Tapi mungkin kamu dan Alistair bakalan mandi madu di kamar mandi hotel yang besar. Siapa tahu bathtub-nya mengalahkan bak mandi di rumah kalian," imbuh Milly, belum menyerah untuk menggodaku. Mereka memang belum pernah datang ke rumahku dan Alistair, tapi mereka sudah melihat kamar mandi yang menakjubkan itu lewat foto-foto yang kutunjukkan dengan sengaja.

"Ish, membayangkannya saja sudah merinding," sahut Zora sambil pura-pura bergidik. Lalu, dia malah menatapku dengan serius. "Kalian sering mandi berdua ya, Na?"

"Astaga! Pertanyaan macam apa itu? No comment," reaksiku. Wajahku kembali seolah terbakar. "Mending bahas masalah lain, karena aku nggak akan mau menjawab kalau kalian mulai bertanya-tanya soal pribadi."

"Duh, sekarang sudah ada yang namanya urusan pribadi, ya? Sudah nggak mau lagi berbagi dengan kita," ejek Uci sembari merengut ke arahku.

Aku buru-buru membahas topik lain yang pasti akan menarik perhatian ketiga temanku. "Oh ya, bagaimana rencana kalian untuk membuka butik? Kali ini kalian bertiga benar-benar serius, ya?"

Seperti dugaanku, mereka langsung melupakan pembahasan tentang "bulan madu" itu. Uci yang menjadi juru bicara. "Tentu saja kami serius! Jujur, aku sudah mulai capek berkeliling dari satu kelab trendi ke kelab keren lainnya. Dari satu restoran ke restoran lainnya. Segala hal yang berbau materi dan hura-hura ini, mulai tidak tampak menarik lagi," katanya serius. Aku ternganga.

Di antara kami berempat, Uci mungkin yang memiliki lingkup pergaulan paling luas. Dia juga menjadi semacam kompas mutakhir jika sudah menyangkut tempat-tempat menarik yang ada di Jakarta dan sekitarnya. Milly bahkan melabeli Uci sebagai orang yang butuh mendatangi konsultan kejiwaan jika ingin berhenti dari kebiasaannya itu.

"Kamu serius, Ci?" tanyaku, tak sepenuhnya percaya.

Uci mengangkat bahu dengan gaya tak peduli. "Kamu bukan orang pertama yang kaget, Na. Milly dan Zora bahkan mengira kalau aku sudah gila. Semua yang kulakukan memang mulai membosankan. Pada akhirnya, tetap saja orang tuaku tidak peduli. Kurasa, selama ini aku cuma ingin mencari perhatian. Aku capek. Mulai sekarang, aku cuma pengin fokus sama hidupku. Terserah apa maunya papa dan mamaku, sama sekali bukan urusanku. Aku sudah berusaha tapi ternyata mereka nggak tertarik. Ya sudah! Aku nggak mau merusak diri sendiri lebih jauh lagi. Ini saatnya untuk berhenti bersenang-senang nggak jelas sebelum aku malah mendapat masalah," urainya dengan tenang.

Aku benar-benar terkelu karena mendengar kata-kata yang tak terduga itu meluncur dari bibir Uci. Dengan kedua orang tua yang bercerai dan masing-masing memutuskan untuk menikah lagi, Uci memang seakan tersesat. Ayah dan ibunya fokus dengan pekerjaan dan keluarga baru, sementara dia harus berpindah-pindah di antara dua keluarga. Status sebagai anak tunggal tidak memberi keistimewaan apa pun. Namun selama ini Uci pantang menyelipkan nama keluarganya pada obrolan, meski hubungan kami cukup dekat.

Aku tahu Uci sedih karena perpisahan kedua orang tuanya. Namun aku tak mengira dia rajin mendatangi aneka kelab itu untuk menarik perhatian ayah dan ibunya. Seingatku, Uci pun sama sepertiku dan yang lain, tidak pernah mencicipi minuman keras. Kukira, kami mendatangi tempat-tempat hiburan hanya untuk bersenang-senang. Ternyata, Uci memiliki motivasi lain dan kini dia merasa bahwa dia harus berhenti melakukan itu. Namun aku tak sempat berkomentar karena saudara kembar dan kedua sahabatku sibuk membahas tentang rencana bisnis mereka.

"Kami sudah melihat beberapa lokasi. Dan sampai saat ini ada dua tempat yang benar-benar menarik," jelas Milly. "Kamu benar-benar tidak tertarik untuk bergabung? Padahal, pasti seru kalau kita punya usaha berempat yang dibangun sejak sekarang. Jangan bilang kalau suami barumu tidak memberi izin. Alistair itu bukan tipe diktator, kan?"

Aku tertawa pelan. "Suami baru? Memangnya aku punya berapa banyak suami, sih? Alistair bukan diktator, dia tipe suami hebat," ucapku. Ah, wajahku pasti merona lagi. "Aku kan sudah bilang berkali-kali, aku nggak tertarik. Lagi pula kalau aku ikut bergabung, kelak keuntungan kalian bisa makin tipis karena harus dibagi empat."

Zora kembali menyeretku ke topik sebelumnya. "Berapa lama kalian di Florence? Aku iri padamu. Papa memang kadang membuat kesal. Kalaupun mengajak kita jalan-jalan, pasti ditempel Papa ke mana-mana. Padahal, kita berdua sudah dewasa dan bisa pergi sendiri. Atau ikut open trip di biro perjalanan. tapi selalu nggak diberi izin," gerutunya.

"Menikah mungkin bisa jadi jalan keluarnya, Ra. Buktinya, Ina bisa jalan-jalan ke Eropa tanpa perlu minta izin papamu, kan? Ini baru ke Florence, nanti entah ke mana lagi," komentar Uci kalem. "Winston tampaknya benar-benar membuatmu tertarik, kan? Nggak tertarik mengikuti jejak Ina, menikah saat masih di bawah umur?" usulnya.

Hanya Zora yang tidak tertawa mendengar kata-kata Uci. Meski begitu aku tahu kalau dia bahagia. Rona pipinya memberi tahu banyak hal padaku. Ada rasa bersalah yang menggedor dadaku. Karena belakangan ini aku terlalu sibuk dengan drama di dadaku dan tidak mencurahkan perhatian seperti biasa kepada Zora.

"Papa sudah tahu kalau kamu mau ke Florence?" tanya Zora.

"Sudah," sahutku. "Dua hari lalu aku sudah menelepon Papa."

Zora mengeluh lagi, "Seharusnya kamu lebih sering datang ke rumah, bukan cuma menelepon. Rumah sekarang sangat sepi sejak kamu pindah ke rumah Alistair."

Kali ini Milly memilih untuk memberikan kesetiaannya padaku. "Ina sudah menikah, nggak bisa seperti dulu lagi, Zora. Mana mungkin dia tinggal terpisah dari suaminya yang hebat itu? Kalau dia kangen Alistair, malah jadi masalah," godanya. Aku mencebik karena kata-kata Milly itu. "Dia harus punya tanggung jawab. Meski kita masih merasa aneh karena Ina sudah punya suami, tapi kondisinya sudah berbeda. Kita harus bisa menerima kenyataan." Milly menepuk punggung tanganku dengan lembut.

Uci, Milly, dan Zora makin sibuk dengan rencana mereka. Aku pun kian terbenam pada persiapan untuk terbang ke Florence. Aku masih belum membahas tentang rencana masa depanku terkait pendidikan. Aku sibuk mempersiapkan semua barang bawaan yang memenuhi dua koper berukuran besar.

Selama itu pula Alistair kian sibuk dan pulang lebih malam dari biasa. Hanya beberapa kali dia sempat menyantap makanan buatanku. Ya, aku mulai membiasakan diri untuk memasak sendiri untuk suamiku. Alistair sangat suka macaroni seafood dan tim bawal putih taosi. Tidak pernah kukira kalau pujian Alistair bisa membuatku seakan baru saja memenangi penghargaan Nobel Perdamaian.

Aku dan suamiku melalui penerbangan langsung nan melelahkan selama sekitar empat belas jam untuk menuju bandara Schiphol, Amsterdam. Di sana kami harus transit selama empat jam lebih sebelum menuju bandara Amerigo Vespucci, Florence. Seorang pria muda bernama Enrico Fallaci menjemput kami di bandara.

"Akhirnya kita sampai juga," kataku dengan perasaan lega karena sebentar lagi bisa beristirahat di kamar hotel.

Udara hangat musim panas di kota itu menyambutku meski tengah malam nyaris menyapa. Alistair menggenggam tanganku, tidak membiarkanku mencemaskan koper-koper yang kami bawa. Enrico langsung mengantar kami menuju hotel.

"Kamu capek, ya? Hotelnya tidak terlalu jauh, kok. Sekitar tujuh kilometer kurang lebih. Aku sudah pernah beberapa kali menginap di sana, kuharap kamu juga suka," beri tahu suamiku dengan suara lembut.

Aku terlalu bergairah walau memang merasa capek. "Aku pasti suka," dukungku.

Alistair memeluk bahuku dengan santai. Lelaki itu pasti tidak tahu kalau apa yang dilakukannya membuat dadaku nyaris rontok. Aku selalu cemas kalau jantungku akan meledak tiap kali kami berdekatan. namun, karena kami adalah suami istri, aku harus mengingatkan diri sendiri bahwa harus mencoba membiasakan diri dengan semua ini. Maksudku, dengan kedekatan fisik di antara aku dan Alistair.

"Hotel tempat kita menginap ini pernah disebut Robert Langdon di film The Da Vinci Code. Namanya Hotel Bruneleschi," ujar Alistair lagi. "Kamu pernah nonton filmnya?"

Samar-samar aku ingat nama yang disebut suamiku. "He-eh," balasku. Lalu entah dengan keberanian yang berasal dari mana, aku menyandarkan kepalaku di dada Alistair untuk pertama kalinya. Lelaki itu tidak bicara lagi hingga kami tiba di hotel.

Hotel Bruneleschi langsung memukauku begitu menginjakkan kaki di sana. Sisa budaya Renaissance yang terus dipertahankan menjadi salah satu ciri hotel dan kota Florence pada umumnya, berpadu dengan modernitas.

Lantai marmer menawan berwarna cokelat menggemakan suara sepatu orang yang berlalu-lalang. Meja penerima tamu berwarna gelap dengan lapisan kaca di bagian atas, disusun memanjang di salah satu area. Ada banyak lampu persegi aneka ukuran yang menerangi ruangan. Salah satu dinding dipenuhi batu-batu alam yang tersusun menawan.

"Tempat ini luar biasa," kataku pada diri sendiri. Aku sudah sering mendatangi hotel-hotel berbintang di berbagai kota. Namun aku tak terlalu sering terpesona seperti saat ini.

Enrico tampaknya mengurus segalanya dengan baik. Kami tidak perlu menunggu lama sebelum dipersilakan memasuki kamar yang sudah disiapkan. Sisi kekanakanku ingin menjerit dan melompat kegirangan melihat ruangan yang akan kami tempati selama lima hari ke depan. Kamar yang benar-benar membuatku melongo.

Aku dan Alistair akan menempati kamar tidur nan luas seperti yang kami miliki di rumah. Ada jendela lebar yang menyuguhkan keindahan kota Florence. Balkon nyaman dengan sofa rotan yang juga tampak nyaman. Dan yang paling mengejutkan adalah jacuzzi di kamar mandi yang luas. Ini benar-benar kemewahan yang luar biasa.

"Terima kasih ya Al, kamarnya betul-betul luar biasa," kataku sambil memegang kedua tangan suamiku. Sebuah dorongan asing yang tidak bisa kuhalau, membuatku berjinjit dan mengecup pipi kanannya. Satu detak jantung kemudian, kami berdua sama-sama mirip orang bodoh yang baru terkena serangan kaget. Wajah Alistair memerah tua, dan aku meyakini hal yang sama pun terjadi padaku.

"Aku... maaf...." lidahku terkelu. Aku berdoa sungguh-sungguh semoga tidak cegukan. Sayang, doaku tidak dikabulkan Tuhan.

Lagu: Menunggumu (Chrisye & Peterpan)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro