Enggan Mengaku Terpesona [2]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Inanna Grace

Aku memilih mengenakan jumpsuit hitam tanpa lengan yang panjangnya sekitar lima sentimeter di atas mata kaki. Sebagai tambahan, aku juga memakai cardigan tipis asimetris lengan pendek berwarna ungu. Saat berganti pakaian, aku bersyukur karena Alistair memiliki ruang khusus yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan pakaian dan sepatu ini. Aku dan Zora tak terpikirkan membuat ruangan semacam ini.

"Ini benar-benar ide genius. Kamar nggak perlu diseseki sama lemari baju. Koleksi sepatuku pun aman damai," kataku dalam hati. Aku sempat berputar sejenak di ruangan itu.

"Nggak masalah kalau kamar di sini cuma ada satu. Tapi rumah ini memang nyaman banget. Andai kami kedatangan tamu, tinggal minta untuk menginap di hotel saja. Eh, tapi apa itu sopan? Kenapa aku malah memikirkan soal tamu segala, sih? Memangnya, siapa yang mau menginap di rumah ini?" Tampaknya, aku membuang banyak tenaga untuk memikirkan hal-hal yang sama sekali tak penting.

Aku berusaha fokus od isi lemari di rumah suamiku ini. Eh, ralat, di rumah kami ini. Seluruh barang-barang yang kukirim ke sini, sudah menemukan tempat penyimpanannya. Meski di rumah Papa masih ada puluhan pasang sepatu yang sengaja kutingalkan. Tadinya aku malah cemas kalau rumah Alistair tidak punya tempat untuk menampung pakaian dan sepatuku. Atau minimal dia mengkritik karena banyaknya barang-barangku. Namun ternyata aku sangat salah. Suamiku memiliki rumah indah yang tak terduga.

Aku berhenti di depan cermin persegi yang terpasang di salah satu dinding. Tanganku memegang pipiku yang berwarna merah. Memikirkan kalau Alistair adalah suamiku saja sudah mampu membuat merasa jengah. Pipi terasa hangat, seakan baru saja dihadiahi tembakan sinar matahari di puncak siang.

Termangu sejenak, akhirnya aku bergegas keluar. Alistair sedang menungguku dan berlama-lama untuk berdandan bukanlah hal yang patut kulakukan. Benar saja, Alistair tampak mondar-mandir di kamar saat aku bergabung.

"Aku sudah siap. Apakah pakaianku ... nggak masalah? Atau harus...."

"Aku juga cuma pakai celana jeans dan kaos. Ayo, aku sudah ditunggu, Na!"

Aku mengekor Alistair menuruni tangga. Lelaki itu tampak muram saat pamit pada Dini. Begitu juga setelah kami berada di jalan raya, di dalam mobil yang dikendarai Alistair. Sikap lelaki itu membuatku merasa serbasalah. Namun aku tak mau memikirkan ini-itu terlalu jauh, seperti kebiasaanku belakangan ini. Aku sekarang sudah berubah menjadi sosok Inanna Grace yang overthingking.

"Al, ada masalah besar, ya?" Aku tidak tahan terus berdiam diri. "Kamu tampak murung dan banyak pikiran."

Alistair mengangguk pelan. "Ada skandal yang melibatkan Front Office Manager dengan salah satu bawahannya. Sebenarnya, aku sudah mendengar desas-desus itu beberapa minggu lalu. Tapi kukira bukan hal yang serius. Aku masih mencari waktu untuk bicara dengan Rama, si Front Office Manager itu. Tapi sepertinya aku terlalu lama mengulur waktu. Sampai ada kejadian kayak begini."

Aku terdiam, tidak tahu bagaimana harus merespons kata-kata Alistair. Keheningan kembali mengambil alih. Dan aku sungguh tidak betah berlama-lama terperangkap kebisuan saat sedang bersama seseorang. Kecuali untuk orang-orang yang sangat kubenci. Akan tetapi, tentu saja Alistair tidak termasuk dalam daftar itu.

"Nggg ... apakah sesama karyawan nggak boleh terlibat asmara? Aku tahu sih, di berbagai kantor memang ada larangan seperti itu. Tapi apakah di hotel juga perlu diberlakukan larangan yang sama? Kalau iya, pertimbangannya apa?"

Mobil berhenti di lampu merah. Hotel milik keluarga Alistair masih cukup jauh. Kemacetan memerangkap dari berbagai penjuru. Dalam waktu setengah jam ke depan, belum tentu kami bisa tiba di tempat tujuan.

"Di Hotel Megalopolis nggak ada aturan seperti itu. Karena pihak hotel berharap para pegawainya punya etika tentang hal-hal seperti ini. Tapi tentu saja situasinya jadi berbeda karena Rama itu sudah menikah. Sudah punya anak juga, mungkin berumur dua tahunan."

Aku menghela napas. Mendadak terkenang pada Milly. Aku masih ingat ekspresinya saat menyalamiku di pelaminan tadi malam. Juga cubitannya di lenganku yang membuat meringis. Milly masih kesal karena menurutnya aku menyembunyikan rahasia besar yang tidak sepantasnya. Aku masih tak mau terbuka tentang cara perkenalanku dengan Alistair hingga diam-diam menyusun rencana pernikahan.

"Kenapa? Kamu sudah lapar? Atau menyesal ikut?" tegur Alistair setelah aku berdiam diri selama bbr saat.

"Bukan dua-duanya. Aku cuma teringat temanku. Ada yang pernah pacaran dengan suami orang. Aku dan yang lain sudah capek memintanya untuk memutuskan hubungan yang nggak punya masa depan seperti itu. Menurut kami, pacaran dengan suami orang itu benar-benar langkah putus asa, seolah dunia kekurangan laki-laki lajang saja. Cinta sih cinta, tapi harusnya tetap bisa berpikir logis. Tapi temanku tetap membandel." Aku menoleh ke kanan.

"Kalau boleh tahu, apa alasan temanmu itu?" tanya Alistair.

"Cinta memang buta tapi nggak pernah salah, itu argumennya. Memuliakan cinta sedemikian rupa sampai rasanya nggak masuk akal. Untungnya temanku nggak terlalu lama mengalami 'kebutaan'. Meski menurutku sih ... masih tergolong telat. Dia akhirnya menuruti saran kami setelah istri pacarnya melabrak. Waktu itu kami sedang menghadiri peresmian restoran baru di daerah Jakarta Pusat. Aku ikut merasa malu. Tapi karena dia temanku, aku harus membelanya, kan? Meskipun aku tetap menyayangkan kenapa sampai harus dipermalukan di depan umum dulu baru dia mau mundur."

Alistair menatapku sekilas. Dan mataku menangkap senyum tipis yang merekah di bibir merahnya. Aku mendadak bertanya-tanya, apakah aku pantas membocorkan rahasia Milly pada suamiku? Apakah itu tidak tergolong pengkhianatan? Ah, bahkan lidahku melakukan banyak pengkhianatan sejak tadi pagi.

"Bisa kamu jelaskan bagaimana kamu 'membela' temanmu itu, Na?"

Aku baru menyadari kalau seharusnya aku tidak pernah membuka mulut tentang insiden yang melibatkan Milly dan mantannya itu. Sayangnya, Alistair sudah telanjur menunjukkan ketertarikan. Setelah perbincangan kami tadi pagi, aku tahu bahwa suamiku memiliki kemampuan hebat untuk urusan membujuk lawan bicaranya. Kalau aku berniat menolak menjawab pertanyaannya, dia pasti akan membuatku berubah pikiran dengan cepat. Alistair bukan lawan yang seimbang buatku.

"Nggg ... kalau aku cerita, kamu pasti akan punya penilaian negatif pada temanku. Dan ... padaku," suaraku melirih.

"Nggak akan! Ceritakan padaku, Na. Tapi jangan cemas hingga cegukan, ya? Kurasa, kamu orang yang mengejutkan. Aku hanya perlu membiasakan diri," balas Alistair tenang.

Aku melongo. Mataku membulat. Kutatap Alistair dengan heran. "Kamu tahu kalau aku akan cegukan karena cemas?"

Tawa Alistair memenuhi udara. "Tentu saja. Bodoh kalau aku nggak tahu. Dalam waktu beberapa jam terakhir ini sudah tiga kali kamu cegukan. Dan itu terjadi tiap kali kita membahas sesuatu yang menurutku ... hmmm ... membuatmu cemas."

Aku menutup wajahku dengan tangan, tergelak pelan. Aku terbelah antara perasaan malu dan geli. Alistair tampaknya dengan mudah akan mengenali seluruh kebiasaan jelekku dalam waktu singkat. Seharusnya aku gentar dengan lelaki ini. Sayangnya, kenapa aku malah merasa bersemangat? Tidak sabar menunggu suamiku mengungkap kebiasaan apalagi yang kumiliki. Apakah ini pertanda kalau otakku sudah tak beres?

"Kenapa malah tertawa? Aku benar, kan? Nah, sekarang ceritakan tentang temanmu. Aku pengin mengenalmu lebih jauh, Ina. Karena sebelum ini kita tidak punya kesempatan bagus untuk melakukan itu," argumen Alistair.

Di detik yang bersamaan, jantungku terasa meronta-ronta dan menggemakan keriuhan yang menyumbat telinga. Aku menelan ludah, mati-matian bersikap normal. Meski sudah berkomitmen akan menjalani pernikahan ini dengan sungguh-sungguh –sesuatu yang seharusnya dilakukan seseorang jauh sebelum menikah- kata-kata Alistair mampu meronakan wajahku. Mungkin lama kelamaan pipiku akan berwarna merah permanen kalau terlalu sering tersipu-sipu karena ucapan Alistair.

"Oke. Singkat saja, ya? Intinya, aku ikut bertengkar demi membela temanku. Aku bilang ke perempuan yang melabrak temanku itu, kalau seharusnya dia menjaga suaminya baik-baik. Jangan cuma menyalahkan orang lain. Aku juga bilang, hubungan asmara itu kan mustahil terjalin kalau salah satu pihak menolak. Jadi, ya dua-duanya yang salah. Si suami dan selingkuhannya. Oh ya, jangan tanya siapa nama temanku itu, karena aku nggak akan memberitahumu."

"Hmm, kamu ternyata orang yang setia kawan. Tenang saja, aku tidak akan menanyakan siapa nama temanmu," puji Alistair.

Aku meringis. "Terima kasih. Semoga pujianmu memang tulus."

"Hei, tentu saja aku tulus," protes Alistair. "Aku orang yang objektif. Bukan karena kamu itu istriku, lantas mengaburkan penilaianku."

Istriku. Oh, Tuhan! Apakah aku akan pingsan sekarang?

"Apa aku harus mengucapkan terima kasih sekali lagi karena kamu memberi penilaian positif untukku?" aku mencoba bergurau. "Aku bukan cuma orang yang setia kawan tapi juga pahlawan pembela kebenaran untuk Zora. Keributan di Phoebe yang kuceritakan saat di rumah tadi dan bikin papaku marah besar? Itu karena aku membela adikku. Dan lawanku membuat cacat permanen karena cincinnya." Aku menarik lengan cardigan-ku ke atas. Menunjukkan bekas cincin Sonya.

Alistair menatap sekilas tanpa bicara. Setelahnya, lelaki itu kembali berkonsentrasi pada jalanan di depan kami.

"Oh ya, aku jadi penasaran. Kenapa harus ada rapat mendadak untuk membahas soal asmara karyawan hotel? Apa ada sesuatu yang penting? Kalau cuma salah satunya sudah menikah, kurasa mereka masih bisa diberi peringatan. Iya, kan?"

"Andai semudah itu," balas Alistair dengan suara yang terdengar murung. "Masalahnya, si karyawati yang bernama Evie ini sudah telanjur hamil."

"Walau sejak awal dia tahu kalau Rama itu suami orang?" aku mencari penegasan.

"Yup! Mustahil dia nggak tahu kalau Rama sudah menikah. Karena istri Rama ini dulu juga bekerja di hotel dan berteman baik dengan Evie. tapi setelah menikah dan punya anak, istrinya Rama ingin fokus mengurus keluarga. Dia memilih mundur dari hotel dan berjualan online. Itu yang kudengar," urai Alistair.

Sesaat, aku melongo dengan kepala terasa pengar. Itu kisah klise yang sudah terlalu sering kudengar. Pengkhianatan dengan orang yang dikenal baik, alias pasangan berselingkuh dengan orang dekatnya sendiri. Juga, pacaran lalu hamil, dengan sejumlah konsekuensi yang akan segera menempel laksana hantu.

Jika pihak perempuan sudah berbadan dua, menjalin hubungan asmara dengan orang yang sudah memiliki pasangan atau masih sendiri, tidak mengubah apa pun. Asmara yang sudah melampaui garis batas seperti itu sudah pasti menyisakan lubang besar yang butuh penyelesaian.

"Aku selalu heran, apa mereka yang memilih menjalani hubungan bebas itu nggak pernah mendengar kata 'kondom', 'alat kontrasepsi', atau 'pencegah kehamilan'?" komentarku, tak bisa menahan diri.

"Apa?" Alistair tampak kaget mendengar kata-kataku.

Aku menyeringai, sadar kalau ucapanku sudah membuat Alistair terperangah setengah mati. "Yahh ... aku adalah orang yang mengejutkan. Kamu tadi mengatakan itu," cetusku pasrah. "Seharusnya kamu nggak terlalu kaget kalau mendengar kata-kata mengejutkan yang meluncur dari bibirku."

Tawa geli Alistair menyusul kemudian. Aku melirik ke arahnya dengan sebal. Sama sekali tidak mengerti mengapa lelaki itu malah menertawakanku. Entah bagian mana ucapanku yang terdengar menggelikan.

"Maaf, ya. Tapi kata-katamu itu terlalu menggelitik. Bisa kamu jelaskan apa hubungan antara pasangan dengan cinta terlarang dan kondom? Maaf lagi, aku nggak bermaksud ... kurang ajar." Alistair tergelak lagi. Aku cemberut, tapi segera menyadari kalau itu tidak ada gunanya. Memangnya usiaku berapa sampai harus merajuk karena kata-kata seperti itu?

"Ina, maaf kalau kamu tersinggung. Aku nggak punya maksud jelek, bukan sengaja mau menertawakanmu. Kata-katamu memang lucu, kok," oceh Alistair lagi.

"Aku tidak menyalahkanmu," kataku akhirnya. Belum mampu mengenyahkan perasaan gemasku sepenuhnya.

"Jadi, kamu bisa jelaskan maksud kata-katamu tadi?" desaknya.

Aku mengedikkan bahu seraya membenahi posisi dudukku. Kami terjebak di antara antrean sederet kendaraan yang akan memasuki pintu tol.

"Bukan cuma untuk hubungan terlarang aja, sih. Terlarang dalam artian perselingkuhan. Ini terkait soal hamil di luar nikah," aku memulai.

"Hmm, oke. Lalu?"

"Kurasa, orang-orang yang sampai hamil karena hubungan yang kebablasan, sama sekali nggak mencintai dirinya sendiri. Sudah tahu kalau ada risiko, kenapa tidak mencegahnya? Kenapa malah menyusahkan diri dengan masalah baru? Rasanya manusia modern sangat tahu tentang adanya pencegah kehamilan, kan? Perempuan yang membiarkan dirinya hamil itu menurutku sangat ceroboh," kataku datar.

Aku berhasil mengganti kata "bodoh" yang nyaris meluncur dengan "ceroboh" di saat-saat terakhir. Mendadak, aku merasa ngeri dengan kata-kataku sendiri. Aku tidak berani membayangkan apa opini Alistair mendengar kalimatku barusan. "Eh, bukan berarti aku melakukan hal-hal seperti itu," imbuhku buru-buru, defensif.

"Kamu malah membuatku makin penasaran." Alistair membalas dengan kalem. Itu jawaban yang sama sekali tak kuduga. "Dan aku membutuhkan lebih banyak penjelasan. Satu lagi, aku nggak akan menuduhmu melakukan itu juga, kok. Santai saja."

Aku merasa bodoh, itu pasti. Meski memang prestasi akademikku tidak cemerlang, seharusnya aku tetap bisa mengucapkan kata-kata yang lebih cerdas. Yang tidak memancing kesalahpahaman dan interogasi lebih detail dari suamiku..

"Sori, aku bukan pendukung kehidupan bebas model begitu," aku merasa perlu membuat penekanan sekali lagi. "Oke, aku sangat suka mendatangi kelab-kelab trendi. Dan mungkin kamu nggak percaya kalau aku hanya pernah sekali mencoba mencicipi minuman beralkohol, muntah, bersumpah nggak akan melakukan hal itu lagi. Tapi buatku pacaran itu ada batasnya, ada marka yang nggak boleh dilanggar. Berhubungan seks itu salah satunya. Tapi itu prinsipku, aku nggak menghakimi orang yang berprinsip sebaliknya. Nggg ... tapi kalau seseorang nggak keberatan dengan itu, kurasa dia harus siap menghadapi risikonya.

"Ketika akhirnya hamil, itu bagian dari konsekuensi yang harus ditanggung. Melakukan hubungan suami istri tentu saja berisiko hamil, bukan malah dapat teve plasma. Aku pernah membaca meme soal itu." Aku berdeham, menyadari kalau sudah melantur dan bicara tak penting. "Sepengetahuanku, banyak perempuan yang menggunakan alasan kehamilan itu dengan sengaja untuk mengikat pasangannya. Aku pernah melihat contohnya beberapa kali. Maksudku, membaca berita atau menonton film tentang itu. Aku nggak tahu apakah ... ahhh ... kata-kataku makin kacau. Sudah ya, aku nggak mau kamu makin ngeri melihatku."

Aku cuma bisa melongo karena Alistair malah tertawa terbahak-bahak selama nyaris satu menit. Wajah dan lehernya memerah karenanya. Aku mengunci bibirku, mencegah agar lidahku tidak lagi melisankan kata-kata baru yang bisa memperparah tingkat rasa malu yang kuderita. Bibirku memang terlalu sering membahas hal-hal tak penting yang menggelikan. Aku nyaris selalu kesulitan mengendalikan lidahku dalam kesempatan tertentu. Tak selalu, sih. Namun, kali ini ocehanku yang mengerikan itu malah terlontar di depan Alistair.

Aku sangat yakin, Alistair kini menganggapku sebagai perempuan aneh yang punya opini salah kaprah. Apa yang bisa kulakukan untuk mengubah itu? Tidak ada. Inanna Grace memang perempuan bermulut besar yang sangat sering mempermalukan diri sendiri di hadapan dunia. Selama ini aku tidak pernah keberatan dengan hal itu, kenapa kini harus?

"Ina," panggil Alistair, membuatku menoleh ke kanan dengan perasaan malu setengah mati. Lelaki itu tersenyum lebar dengan wajah masih menyisakan jejak warna merah. "Kamu benar-benar perempuan unik. Jangan sungkan bicara apa adanya di depanku. Aku malah senang karena kamu mau berbagi tentang apa yang ada di benakmu. Aku nggak pernah bermasalah dengan kejujuran." Ini kali kedua Alistair menyinggung soal kejujuran.

Aku baru akan memberi respons saat tiba-tiba Alistair mengangkat tangan kirinya dan mengelus rambutku sekedip kemudian. Elusannya hanya bertahan selama dua denyut nadi, tapi membuat udara seakan menipis di sekitarku. Astaga, aku terkelu dan membatu. Ya Tuhan, jangan biarkan aku mati muda hanya gara-gara Alistair mengelus rambutku!

Lagu : Hanya Memuji (Marcell & Shanty)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro